Senin, 20 Desember 2021

Resensi Buku Ulumul Qur'an Prof. Dr. H. Amroeni Drajat, M.Ag

Resensi Buku Pengantar Ilmu-Ilmu Al-Qur'an

Oleh Kelompok 2 kelas PAI IB:

Lisvia Nuravni         210414106 nlisvia@gmail.com

Nisa Komalasari      210414007 nissakomalasari@gmail.com

Putri Wulandari       210414009 wulandariajaa@gmail.com

 

Pada buku Ulumul Qur’an karya Prof. Dr. H. Amroeni Drajat, M.Ag ini dapat di simpulkan beberapa cakupan yang terdapat dalam bab 1-12 yakni: Ulum Al-Qur’an memiliki objek kajian yang sangat banyak. Namun dalam buku ini penyusun membatasi pembahasannya hanya pada materi-materi yang telah ditetapkan dalam silabus. Buku ini terdiri atas dua belas bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut:

-          Dalam Bab I, sebagai bab pembuka, maka pada bab pendahuluan ini memuat gambaran singkat kegunaan dan urgensi Ulum Al-Qur'an bagi umat Islam umumnya dan mahasiswa Islam khususnya. Di dalam bab ini juga dipaparkan tentang sistematika penyusunan buku ini dengan memberikan ulasan-ulasan singkat pada tiap babnya.

-          Dalam Bab II akan dibahas tentang pengertian Ulum Al-Qur'an, dalam hal ini diuraikan cabang-cabang (pokok-pokok bahasan) Ulum Al-Qur'an, disertai dengan keterangan singkat tiap cabang ilmu Ulum Al-Qur'an.Gambaran perkembangan Ulum Al-Qur'an dari waktu ke waktu dapat dijumpai pada sistematika kronologi para penulis Ulum Al-Qur'an.

-          Dalam Bab III akan dibahas tentang pengertian Al-Qur'an dan hikmah diwahyukan Al-Qur'an secara berangsur-angsur. Dijelaskan juga mengenai proses perjalanan penulisan Al-Qur'an yang dimulai sejak masa Nabi, dan perkembangan penulisan Al-Qur'an hingga pada masa Khulafa' al-Rasyidin. Kemudian bagaimana pemeliharaan Al-Qur'an setelah masa khalifah. Dalam bab ini, dijelaskan pula rasm Al-Qur'an, pe-ngertian rasm Al-Qur’an, pendapat tentang rasm Al-Qur'an, kaitan rasm Al-Qur'an dengan qira'at atau pola bacaannya. Di sini dilengkapi dengan skema singkat yang menggambarkan proses penulisan Al-Qur'an secara kronologis sejak dari pengumpulan mushaf sampai penulisannya secara sempurna.

-          Dalam Bab IV akan dibahas tentang asbab al-nuzul. Latar belakang diturunkannya suatu ayat Al-Qur'an biasanya disebabkan karena adanya peristiwa-peristiwa tertentu yang be-lum pernah terjadi sebelumnya. Nabi sering kali menghadapi hal-hal baru seperti ini yang sudah pasti membawa masalah baru, dan Nabi adalah sebagai sentral figur yang dituntut dapat memberikan solusinya. Dalam situasi Nabi tidak dapat memberikan pemecahannya inilah biasanya wahyu turun. Peristiwa-peristiwa yang menyebabkan turunnya wahyu inilah yang disebut asbab al-nuzul. Dalam bab ini penulis membahas tentang pengertian dan macam-macam asbab al-nuzul, ungkapan-ungkapan asbab al-nuzul, serta urgensi dan kegunaan asbab al-nuzul.

-          Dalam Bab V akan dibahas tentang keserasian Al-Qur'an, baik antar ayat-ayat Al-Qur'an, antar surah-surah Al-Qur'an juga menjadi kajian para ulama tafsir. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan munasabah Al-Qur'an itu, apa pula urgensi dan manfaatnya mengetahui semua itu. Di dalam bab ini pertanyaan-pertanyaan yang timbul itu akan terjawab. Di dalam bab ini penulis menjelaskan pengertian dan macam-macam munasabah, urgensi, dan kegunaan mempelajari munasabah.

-          Dalam Bab VI akan dibahas tentang Makkiyah dan Madaniyah. Ayat-ayat Al-Qur'an hanya terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu Makkiyah dan Madaniyah. Perbincangan sekitar masalah ini akan dibahas di dalam bab ini. Penjelasan sekitar Makkiyah dan Madaniyah ini meliputi pengertian, klasifikasi ayat-ayat dan surah-surah Madaniyah, ciri-ciri khas ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah. Juga silang pendapat mengenai kriteria-kriteria dalam menentukan surah-surah Makkiyah dan Madaniyah. Dijelaskan juga arti penting mempelajarinya. Dalam bab ini pula dilengkapi dengan daftar surah-surah Makkiyah dan Madaniyah secara skematis.

-          Dalam Bab VII akan dibahas tentang Muhkam dan Mutasyabih. Apa yang dimaksud dengan pengertian yang jelas dan nyata dari ayat Al-Qur'an? Apa pula yang dinamakan ayat-ayat yang memiliki makna ganda atau ambiguitas makna itu? Di dalam bab ini, penulis memaparkan tentang pengertian Muhkam dan Mutasyabih serta bagaimana sikap dan argumen-argumen yang dipedomani oleh ulama tafsir dalam menghadapi ayat-ayat Muhkam dan Mutasyabih serta Fawatih al-Suwar, sikap para ulama terhadap ayat-ayat Muhkam dan Mutasyabih, Fawatih al-Suwar. Pada bagian lain, diterangkan juga hikmah adanya ayat-ayat demikian.

-          Dalam Bab VIII akan dibahas tentang qira'at al-Qur'an. Membahas tentang pengertian, latar belakang timbulnya perbedaan qira'at, urgensi mempelajari qira'at dan pengaruh nya dalam istinbath hukum. Dibahas juga mengenai bentuk qira'at yang boleh dipegangi dan yang tidak boleh dipedomani. Dikemukakan pula beberapa contoh bacaan yang berbeda dan implikasinya dalam pemahaman dan pengambilan kesimpulan hukum. Para tokoh ahli baca yang terkenal juga disertakan di dalam bab ini.

-          Dalam Bab IX akan dibahas tentang i'jaz Al-Qur'an. Al-Qur'an merupakan mukjizat Nabi yang utama dan paling besar, dan dianggap sebagai mu'jizat khalidah, mukjizat abadi sepanjang masa. Tidak ada seorang pun yang meragukan ke-mukjizatan Al-Qur'an.Bagaimana sebenarnya seluk-beluk kemukjizatan Al-Qur'an tersebut. Di dalam bab ini penyusun menjelaskan mengenai pengertian dan macam-macam mukjizat, segi-segi kemukjizatan Al-Qur'an. Diuraikan pula beberapa sisi kemukjizatan Al-Qur'an dari segi ketinggian gaya sastra, dan kandungan ilmiah. Dikemukakan juga bagaimana tantangan Nabi terhadap para sastrawan Arab untuk menandingi ketinggian Al-Qur'an.

-          Dalam Bab X akan dibahas tentang tafsir, takwil, dan terjemah. Persoalan tafsir dan takwil selalu muncul di tengah-tengah kancah pembahasan ulama tafsir. Sebab itu, penyusun di dalam bab ini membicarakan tentang pengertian tafsir, takwil, dan terjemah. Para ulama tafsir berbeda pendapat mengenai tafsir dan takwil. Sebagian ulama tafsir menganggap bahwa antara tafsir dan takwil tidak ada bedanya, sebagian yang lain berpendirian bahwa antara tafsir dan takwil terdapat perbedaan yang jelas dalam bab ini, penyusun menguraikan persoalan ini. Kemudian, masalah terjemah Al-Qur'an juga dibahas di sini. Pembicaraan bab ini diakhiri dengan kajian mengenai klasifikasi tafsir. Pokok masalah terfokus pada pembicaraan mengenai model penafsiran. Banyak metode penafsiran yang dipakai oleh para mufasir, namun dalam bab ini penulis hanya mengulas tiga corak penafsiran, yaitu tafsir bi al-ma'tsur, tafsir bi al-ra'yi, dan tafsir al-isyari. Dilengkapi dengan beberapa contoh kitab tafsir yang terkenal dan ulasan-ulasan singkat terhadap sejumlah tafsir yang terkenal.

-          Dalam bab XI, akan dibahas tentang model penghitungan jumlah ayat Al-Qur'an yang merupakan analisis atas beberapa pendapat mufasir.

-          Adapun Bab XII adalah Bab Penutup, yang berisikan sejumlah kesimpulan dari uraian-uraian sebelumnya.

Penjelasan lebih lengkapnya akan dipaparkan sebagai berikut:

BAB 1 PENDAHULUAN

Al-Qur'an sebagai pedoman pertama dan utama umat Islam. Diturunkan dalam bahasa Arab. Namun yang menjadi masalah dan pangkal perbedaan adalah kapasitas manusia yang sangat terbatas dalam memahami Al-Qur'an. Karena pada kenyataannya tidak semua yang pandai bahasa Arab, sekalipun orang Arab sendiri, mampu memahami dan menangkap pesan llahi yang terkandung di dalam Al-Qur'an secara sempurna. Terlebih orang 'ajam (non-Arab). Bahkan sebagian para sahabat nabi, dan tabiin yang tergolong lebih dekat kepada masa nabi, masih ada yang keliru menangkap pesan Al-Qur'an. Beberapa kasus yang terjadi pada sebagian sahabat, dan tabiin, menunjukkan akan urgensi ilmu-ilmu Al-Qur'an sebagai sarana menggali pesan Tuhan, untuk mendapat pemahaman yang benar dan bimbingan yang lurus. Seperti cakupan Ulum Al-Qur'an banyak sekali, misalnya 'ilm asbab al-nuzul, 'ilm qira'at, serta muhkam dan mutasyabih. Sebenarnya, perhatian ulama dan ilmuwan terhadap kajian Ulum Al-Qur'an dapat dikatakan sudah cukup memadai, terutama yang berasal dari sumber Arab dan para orientalis juga banyak yang meneliti tentang Al-Qur'an. Sejumlah tokoh orientalis semacam Ignaz Goldziher (1850-1921), Theodore Noldeke (1836-1931), orientalis Jerman dan Regis Blachere (1900-1973), orientalis Perancis. Tetapi kemampuan bahasa menjadi faktor penghambat utama dalam memperoleh informasi dari sumber-sumber utama. Kendala yang dihadapi adalah kemampuan menguasai bahasa Arab dan Inggris. Pada umumnya penguasaan bahasa inilah yang menjadi kendala yang paling mendasar. Terlebih lagi yang menguasai dua bahasa sekaligus sangat terbatas. Urgensi bahasa Inggris sangat vital dalam memahami informasi dari sumber Barat, orientalis, baik sebagai perbandingan atau mengklarifikasi pandangan yang dianggap tidak proporsional.

BAB 2 ULUM AL-QUR’AN DAN PERKEMBANGAN

A.    Pengertian Ulum Al-Qur’an

Ulumul Al-Qur’an (Ilmu-ilmu Al-Qur’an). Kata 'ulum jamak dari 'ilm, artinya al-fahm wa al-idrak (paham dan menguasai). Ulum Al-Qur’an adalah sekumpulan ilmu yang membahas tentang berbagai segi dari Al-Qur’an.  Para ulama mendefinisikan Ulum Al-Qur’an sebagai, ilmu yang membahas hal-hal yang berhubungan dengan Al-Qur’an dari segi aspek turun, sistematika, pengumpulan dan penulisan, bacaan, tafsir, kemukjizatan, seta nasikh dan mansukh.

B.     Sejarah Perkembangan Ulum Al-Qur’an

Pada masa Nabi SAW segala masalah selalu dikembalikan kepadanya. Karena itu, kebutuhan ulum Al-Qur’an pada masa itu tidak dibutuhkan. Setelah Nabi SAW wafat dan kepemimpinan umat Islam berada ditangan Khulafa al-Rasyidin, mulai muncul adanya ilmu-ilmu Al-Qur’an. Khususnya dimulai ketika adanya perintah penulisan Al-Qur’an yang dipelopori oleh Utsman bin Affan. Karenanya, ilmu yang pertama kali tentulah ilmu rasm Al-Qur’an, berkaitan dengan tulis-menulis. Posisi Utsman berarti sebagai perintis awal ilmu-ilmu Al-Qur’an sehingga namanya tetap diabadikan dengan rasm al-Utsmani. Setelah itu, tampil Ali bin Abi Thalib sebagai pengganti Utsman.Lalu, Ali menugaskan Abu al-Aswad al-Duali merancang dan meletakkan kaidah-kaidah nahwu. Ilmu paramasastra ini muncul sebagai landasan yang bagus bagi timbulnya ilmu I'rab Al-Qur’an. Usaha pengembangan ilmu Al-Qur’an ini tetap berlanjut pada masa sahabat. Sesuai dengan kapabilitas, bobot dan kualitas sahabat, mereka konsen tersendiri, namun tujuan tetap sama menggali hikmah-hikmah yang ada didalam Al-Qur’an dan menyampaikan tafsir-tafsirnya kepada umat Islam. Usaha mereka berikutnya dilanjutkan oleh generasi tabi'in, begitu seterusnya sampai sekarang.

C.     Ruang Lingkup Pembahasan Ulum Al-Qur’an

Menurut T.M . Hasbi al-Shiddiqie, pokok-pokok pembahasan Ulum Al-Qur’an terfokus pada pembahasan-pembahasan yang berkaitan keenam hal berikut. Pertama, nuzul Al-Qur’an: waktu, tempat, dan latar belakang. Disini dibicarakan ayat-ayat yang diturunkan di Mekkah dan ayat-ayat yang turun di Madinah; kapan waktu turunnya, malam, siang, pagi, atau sore; apakah dalam perjalanan ataukah dalam rumah. Kedua, masalah sanad, apakah periwayatan itu disampaikan melalui jalur sanad yang mutawatir, ahad, syadz, rupa-rupa qira’at Nabi, para perawi, huffazh, dan cara menyikapinya. Ketiga, berkenaan dengan bacaan, apakah dalam membaca perlu di-waqaf-kan, disambung, juga mengenai ibtida', soal imalah, mad, idgham, dan sebagainya. Keempat, masalah lafadz, adakah lafadz ayat yang gharib, mu'arab, majaz, musytarak, mutaradif, isti'arah, dan tasybih. Kelima, kaitan makna dan hukum. Mengenai soal 'am, kash, mujmal, mufashshal, mantuq, muthlaq, muqayyad, mutasyabih, nasikh dan mansukh, serta muqaddam dan mu'akhar. Keenam, soal-soal makna Al-Qur’an yang berkaitan dengan lafadz yang meliputi fashl, washl, ijaz, ithnab, musawah, dan qashr.

D.    Cabang-cabang Ulum Al-Qur’an

T.M. Hasbi al-Shiddiqie menjelaskan, muatan-muatan yang dibahas didalam Ulum Al-Qur’an yang terpokok meliputi:

1.      Ilmu Mawathin al-Nuzul. Dengan ilmu ini diketahui, tempat, waktu, musim, awal ayat, dan akhir ayat.

2.      Ilmu Tawarikh al-Nuzul. Dengan ilmu ini diketahui masa turunnya ayat, tertib turunnya, satu demi satu dari awal turunnya, tertib turun surah sampai sempurna.

3.      Ilmu Asbab al-Nuzul. Menjelaskan sebab-sebab turun ayat.

4.      Ilmu Qira'at. Dengan ilmu Qira’at dapat diketahui ragam bacaan Al-Qur’an yang diterima Rasulullah.

5.      Ilmu Tajwid. Melalui ilmu tajwid, orang akan dapat mengetahui tempat mulai dan tempat berhenti dalam membaca Al-Qur’an, sehingga pembaca akan tahu dengan pasti, kapan harus mulai dan kapan mengakhiri bacaan.

6.      Ilmu Gharib Al-Qur’an. Melalui ilmu ini, kita akan mengetahui makna-makna yang aneh, ganjil, dan tidak wajar dari yang biasanya, juga tidak terdapat dalam percakapan sehari-hari.

7.      Ilmu I'rab Al-Qur’an. Dengan ilmu ini, orang akan dapat menguraikan posisi lafadz dalam suatu kalimat, apakah sesuatu lafadz menempati posisi sebagai subjek atau objek.

8.      Ilmu Wujuh wa al-Nadza'ir. Dengan ilmu ini, seseorang akan dapat menentukan makna yang tepat dari berbagai makna yang muncul dalam suatu ayat.

9.      Ilmu Muhkam dan Mutasyabih. Dengan ilmu ini akan diketahui mana-mana ayat yang muhkam, yaitu ayat-ayat yang memiliki makna jelas; dan mana-mana ayat yang Mutasyabih, yaitu ayat-ayat ambiguitas, samar-samar yang memiliki makna ganda.

10.  Ilmu Nasikh dan Mansukh. Dengan ilmu ini, seseorang akan dapat mengetahui mana-mana ayat diganti dan mengetahui perumpamaan-perumpamaan yang terkandung di dalam Al-Qur’an.

11.  Badi' Al-Qur’an. Melalui ilmu ini, ayat-ayat Al-Qur’an akan diketahui sisi keindahan gaya bahasa Al-Qur’an, ketinggian sastra Al-Qur’an dan keajaiban-keajaibannya.

12.  Ilmu Ijaz Al-Qur’an. Dengan menggunakan ilmu ini, seseorang akan dapat menerangkan kekuatan susunan lafadz, sehingga dipandang sebagai mukjizat, karena dapat melemahkan pakar bahasa Arab saat itu.

13.  Ilmu Munasabah. Dengan ilmu ini akan diketahui keserasian ayat-ayat, surah-surah yang ada didalam Al-Qur’an.

14.  Ilmu Aqsam Al-Qur’an. Dengan ilmu ini orang akan mengetahui maksud dan tujuan dari sumpah yang dinyatakan Allah.

15.  Ilmu Amtsilah Al-Qur’an. Dengan ilmu ini orang akan mengetahui perumpamaan-perumpamaan yang terkandung di dalam Al-Qur’an.

16.  Ilmu Jadal Al-Qur’an. Dengan ilmu ini akan diketahui tentang perdebatan-perdebatan yang terjadi di dalam Al-Qur’an.

17.  Ilmu Adab al-Tilawah. Dengan ilmu ini akan diketahui tentang tata cara pembacaan Al-Qur’an, sopan santun dalam membacanya.

BAB 3 SEJARAH DAN PENULISAN AL-QUR’AN

A.    Pengertian Al-Qur’an

Subhi al-Shahih mengemukakan pendapat dari berbagai para pakar Al-Qur’an sebagai berikut. Pertama, al-Syafi'i mengatakan, lafaz Al-Qur’an yang terkenal bukan musytaq dan bukan pula ber-hamzah. Lafaz itu sudah lazim digunakan untuk pengertian kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Kedua, al-Farra yang berpendapat, lafaz Al-Qur’an adalah pecahan dari atau mustaq dari kata qara'ain, bentuk plural dari qarinah yang berarti “kaitan” karena ayat-ayat Al-Qur’an satu sama lain saling berkaitan. Ketiga, al-Asy'ari dan para pengikutnya mengatakan bahwa lafaz Al-Qur’an adalah musytaq dari akar kata qarn. Ia mengemukakan contoh kalimat qarn al-sya'i yang berarti “menggabungkan sesuatu dengan sesuatu”. Jadi, kata qarn dalam hal ini bermakna “gabungan atau berkaitan”, karena surah-surah dan ayat-ayat saling berkait dan bergabung.  Sementara, al-Lihyani berpendapat, lafaz Al-Qur’an ditulis dengan huruf hamzah di tengahnya berdasarkan pola kata ghufran dan merupakan pecahan kata dari kata qa-ra-a yang berarti “membaca”. Lafaz Al-Qur’an digunakan untuk menamai sesuatu yang dibaca, yakni objek, dalam bentuk mashdar. Pendekatan ini lebih akurat dan lebih tepat, karena di dalam Bahasa Arab lafaz Al-Qur’an adalah bentuk mashdar yang maknanya sinonim dengan kata qira'ah yakni “bacaan”.

B.     Nama-nama Lain Al-Qur’an

Pertama, Al-Qur’an terkenal dengan sebutan al-furqan. Kata ini berasal juga dari Bahasa Aramia, berarti memisahkan atau membedakan. Penamaan dengan nama al-furqan mengindikasikan bahwa Al-Qur’an sebagai pembeda antara yang benar (al-haq) dan yang salah (al-bathil). Kedua, Al-Qur’an juga disebut sebagai al-Dzikr. Kata ini murni berasal dari bahasa Arab yang berarti kemuliaan. Ketiga, Al-Qur’an juga dinamakan dengan Tanzil, lafaz ini murni dari Bahasa Arab, yang berarti sesuatu yang diturunkan.

C.     Hikmah Diwahyukan Al-Qur’an Secara Berangsur-angsur

Menggali hikmah dibalik tahapan-tahapan turunnya Al-Qur’an. Hikmah yang penting ialah memenuhi kebutuhan dan keperluan Nabi dan kaum Muslim. Ada dua bentuk keperluan yang dibutuhkan oleh Rasulullah akan turunnya Al-Qur’an yang berangsur-angsur. Pertama, meneguhkan hati Nabi, karena setiap turun disertai suatu peristiwa tertentu. Kedua, mudah menghafalnya.

D.    Penulisan Al-Qur’an pada Masa Nabi

Pada masa Nabi Muhammad SAW masih hidup, penulisan Al-Qur’andalam satu buku komplet belum merupakan kebutuhan mendesak dan belum ada naskah yang sempurna. Sekalipun Nabi sendiri sekretaris khusus yang bertugas mencatat semua wahyu yang diturunkan kepadanya. Penulisan Al-Qur’an dalam satu naskah seperti yang ada sekarang baru terealisasikan pada masa Khulafa al-Rasyidin.

E.     Penulisan Al-Qur’an pada Masa Khulafa al-Rasyidin

Pada masa Khalifah Abu Bakar, Khalifah disibukan oleh para pembangkang. Dalam penumpasan inilah, banyak sahabat yang menjadi syahid, terutama mereka yang menyandang gelar sebagai huffazh Al-Qur’an. Pemghafal Al-Qur’an semakin menipis jumlahnya akibat peperangan di Yamamah. Umar bin Khattab dengan inisiatifnya  mengusulkan pengumpulan dan pembukuan Al-Qur’an kepada Abu Bakar. Kemudian Abu Bakar memerintahkan zaid bin Zubair untuk menyusun dan membukukan Al-Qur’an. Zaid bin Zubair mulai mengumpulkan Al-Qur’an yang masih berserakan di pelapah-pelah kurma, kepingan-kepingan batu, dan dari hafalan para penghafal Al-Qur’an. Penyebaran umat Islam pada masa Utsman bin Affan semakin meluas. Terjadi perbedaan membaca di daerah-daerah mereka mengklaim berasal dari Nabi. Utsman menemukan kejanggalan dan kesalahan dalam membaca Al-Qur’an, hal ini sangat memprihatinkan para sahabat. Utsman kemudian mengirimkan utusan kepada Hafsah untuk meminjamkan mushaf Abu Bakar. Kemudian Utsman Zaid bin Tsabit, ‘Abd Allah bin Zubair,  Sa'id bin ‘Ash, 'Abd al-Rahman bin Harits, bin Hisyam. Lalu memerintahkan mereka untuk menyalin dan memperbanyak mushaf, serta memerintahkan agar apa yang diperselisihkan Zaid dengan ketiga orang itu ditulis dalam bahasa Quraisy karena Al-Qur’an turun dengan logat, dialek mereka. Mereka melaksanakan tugas, setelah selesai, Utsman mengembalikan mushaf asli kepada Hafsah. Oleh sebab itu, didapati sekarang ini mushaf Al-Qur’an yang sesuai dengan yang asli yang telah diperjuangkan oleh Utsman dan dijadikan pedoman umat Islam.

F.      Pemeliharaan Al-Qur’an Setelah Khalifah Utsman bin Affan

 Dengan berangsur-angsur lenyaplah mushaf yang ditulis para sahabat dan tinggallah dalam pelukan masyarakat mushaf yang ditulis pada masa Khalifah Utsman atas perintahnya, yang kemudian dinamai dengan mushaf al-Imam. Dengan demikian, format terakhir dari Mushaf Utsmani tetap terjaga sampai sekarang. Jadi, sebenarnya tugas pemeliharaan Al-Qur’an itu, disamping jaminan langsung dari Allah SWT yang akan tetap menjaganya. Mekanisme pemeliharaan Al-Qur’an dikalangan umat Islam akan berlangsung secara otomatis, ketika terjadi suatu huruf pun yang menyimpang dari formula Utsmani, maka akan segera dapat terdeteksi dan diperbaiki.

G.    Rasm Al-Qur’an

1.      Pengertian Rasm Al-Qur’an

Kata rasm berasal dari akar kata rasama-yarsumu-rasmun. Se ara bahasa berarti menggambar atau melukis. Dalam pengertian istilah yang digunakan di dalam pembahasan ini ialah pola atau bentuk tulisan yang digunakan dalam penulisan mushaf Utsmani.

2.      Pendapat tentang Rasm Al-Qur’an

Sebagian kelompok menganggap bahwa rasm Utsmani yang dipakai untuk menulis Al-Qur’an harus bersifat taukifi dan harus benar-benar disucikan. Kelompok kedua berpendapat bahwa rasm Utsmani bukan tauqifi dari Nabi, tetapi sesuatu penulisan yang hanya disetujui oleh Utsman dan diterima baik oleh umat Islam, sehingga menjadi sesuatu keharusan yang mesti diikuti dan tidak boleh dilanggar.

Kelompok ketiga berpendapat, rasm Utsmani hanyalah istilah, mengenai tata cara, tidak ada salahnya jika menyalahi, bila seorang menggunakan sesuatu rasm tentu untuk imla dan rasm yang tersiar luas diantara mereka.

3.      Kaitan Rasm Utsmani dan Qira'at

Kaitan antara rasm Utsmani dengan cara membaca sangat erat. Hal ini karena mushaf Utsmani tidak memakai lambang-lambang yang memudahkan dalam membaca seperti yang ada sekarang. Mushaf Utsmani tidak dilengkapi dengan tanda baca seperti titik dan syakal. Hal ini karena mengikuti sifat watak orang-orang Arab yang masih murni, sehingga mereka tidak memerlukan adanya tanda-tanda baca itu.

 

BAB 4 ASBAB AL-NUZUL

A.    Pengertian dan Macam-macam Asbab al-Nuzul

Secara bahasa, asbab al-nuzul dapat diartikan sebagai sebab-sebab turunnya suatu ayat. Shubhi al-Shalih men definisikan asbab al-nuzul sebagai sesuatu yang menjadi sebab turunnya suatu ayat atau beberapa ayat, atau suatu per tanyaan yang menjadi sebab turunnya ayat sebagai jawaban, atau sebagai penjelasan yang diturunkan pada waktu terjadi nya suatu peristiwa.

B.     Ungkapan-ungkapan Yang Digunakan Asbab Al-Nuzul

Terdapat beberapa bentuk redaksi dari asbab al-nuzul. Bentuk redaksi yang menerangkan sebab nuzul itu terkadang berupa pernyataan tegas mengenai sebab, dan terkadang pula berupa pernyataan yang mengandung kemungkinan mengenainya. Bentuk redaksi yang tegas, umpamanya, seorang pe rawi mengatakan "sebab nuzul ayat ini adalah begini," atau menggunakan fa ta' qibiyah yang kira-kira bermakna "maka" yang menunjukkan urutan peristiwa yang dirangkaikan de ngan turunnya ayat, sesudah ia menyebutkan peristiwa atau pertanyaan. Atau, misalnya, Rasulullah ditanya tentang suatu masalah, begini, maka turunlah ayat ini."

C.     Urgensi dan Kegunaan Asbab al-Nuzul

Ada beberapa hikmah dan kegunaan mengetahui asbab al-nuzul suatu ayat. Qaththan, misalnya, merangkumkan pentingnya mengetahui asbab al-nuzul di antaranya:

1.      Mengetahui hikmah diundangkannya suatu hukum dan perhatian syara' terhadap kepentingan umum dalam menghadapi suatu peristiwa.

2.      Dapat membatasi hukum yang diturunkan dengan sebab yang terjadi, apabila hukum itu dinyatakan dalam bentuk pernyataan umum. Ini bagi mereka yang berpedoman bahwa yang menjadi pegangan adalah sebab yang khusus dan bukannya lafaz umum.

3.      Apabila lafaz yang diturunkan berbentuk umum dan terdapat dalil atas pengkhususannya, maka pengetahuan mengenai asbab al-nuzul membatasi pengkhususan itu hanya terhadap yang selain bentuk sebab.

4.      Mengetahui asbab al-nuzul adalah cara terbaik untuk memahami makna Al-Qur'an dan menyingkap makna yang tersembunyi dalam ayat-ayat yang tidak dapat ditafsirkan tanpa mengetahui asbab al-nuzul-nya.

5.      Sebab nuzul menerangkan kepada siapa ayat itu ditujukan sehingga tidak serta-merta dapat ditujukan kepada orang lain.

 

BAB 5 MUNASABAH AL-QUR’AN

A.    Pengertian Munasabah

Secara etimologis, munasabah berarti Al Musyakalah, saling keserupaan dan al-muqarabah, saling berdekatan. Secara terminologis, Al Biqa’i menjelaskan munasabah ialah suatu ilmu untuk mengetahui alasan-alasan sistematis perurutan bagian-bagian Al-Qur’an.

B.     Macam-macam Munasabah

Pertama, munasabah antara ayat di awal surah dan ayat di akhir surah. Misalnya awal surah al-mukminun. Kedua, keserasian awal surah dengan akhir surah sebelumnya. Misalnya surah al-quraisy. Ketiga, keserasian keistimewaan tiap-tiap surah yang dimulai dengan huruf muqatha'ah seperti surah qaf. Keempat, munasabah (keserasian) al-tandzir, al-isthrad dan al-takhallus. Pengertian lebih lengkapnya:

-          Munasabah al-tandzir yaitu menghubungkan suatu keserasian dengan keserasian lain yang dilakukan oleh pemikir misalnya surah al-anfal ayat 4 dan 5.

-          Munasabah al-isthrad yaitu perpindahan dari suatu perkataan ke perkataan lain karena ada hubungannya.

-           Munasabah al-takhallus yaitu mengalihkan pembicaraan kepada masalah lain yang kelihatannya sepintas tidak ada hubungan dengan masalah pertama, tetapi bila direnungkan lebih dalam sebenarnya masih terdapat hubungan misalnya surah al isra ayat 1 dengan ayat 2 bila direnungkan sebenarnya mempunyai hubungan serasi antara keduanya.

Sebagian ulama menganggap bahwa munasabah dengan al-isithrad dengan munasabah al-takhallus adalah dua munasabah yang sama. Namun al-suyuthi dalam al itqan menjelaskan pendapat ulama lain yang membedakan antara keduanya. Pada al-takhallus masalah yang dibicarakan ditinggalkan seluruhnya dan langsung berpindah ke masalah lain. Sementara pada al-istithrad masalah yang sedang dibicarakan yang pertama masih tetap dipertahankan secara keseluruhan tetapi disebut kembali secara sepintas setelah itu baru beralih kepada masalah baru. Namun dari segenap uraian tentang munasabah di atas secara garis besar munasabah ada dua yaitu munasabah ayat dengan ayat dan munasabah surah dengan surah.

C.     Metodologi Penelitian Munasabah dalam Al-Qur’an

Urgensi dan kegunaan mempelajari munasabah sangat penting dan perlu adanya suatu metodologi dalam menelitiannya. Untuk meneliti keserasian atau munasabah susunan ayat dan surah dalam Al-Qur’an diperlukan pemikiran yang mendalam disamping metode yang jelas. Burhan al din al Biqa’i dalam Nazham al-durar mengutip pendapat abu fadhl tentang langkah-langkah yang harus ditempuh untuk mencari dan meneliti munasabah dalam Al-Qur’an. Langkah-langkah umum yang dapat dipedomani dalam meneliti munasabah ayat dengan ayat:

-          Melihat tujuan yang akan dicapai seseorang.

-          Memperhatikan apa saja yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut (muqaddimah).

-          Memperhatikan tingkat muqaddimah itu dalam hal dekat atau jauhnya dalam mencapai tujuan yang dimaksud.

-          Ketika meneliti uraian dalam surah itu perhatikan keharusan-keharusan yang dituntut oleh aturan keindahan bahasa balaghah yang dapat menimbulkan perhatian dalam memahaminya. Menurut al Biqa’i bila seseorang melakukan kaidah umum tersebut maka ia akan mengetahui keserasian atau munasabah susunan Alquran baik ayat per ayat maupun surah per surah.

Sekalipun Al Biqa’i telah mengemukakan langkah-langkah penelitian dalam memahami munasabah, namun dalam menemukan susunan Al-Qur’an bukanlah hal yang mudah. Hal ini karena disamping merupakan usaha untuk memahami kehalusan dan keindahan bahasa Al-Qur’an juga memahami kandungan Al-Qur’an sekaligus. Dalam konteks ini barangkali dapat dipahami pernyataan Ja’far Ibn Muhammad bahwa pemahaman Al-Qur’an dapat dilakukan melalui empat cara:

-          Melalui teksnya

-          Melalui pemahaman isyarah

-          Melalui pengungkapan keindahan bahasa

-          Melalui pemahaman akan hakikatnya

 

BAB 6 MAKKIYAH DAN MADANIYAH

A.    Pengertian Makkiyah dan Madaniyah

Kata al-makki berasal dari kata “Mekkah” dan al-madani berasal dari kata “Madinah”. Kedua kata tersebut telah dimasuki “ya’” nisbah sehingga menjadi al-makkiy atau al-makkiyah dan al-madaniy atau al-madaniyah. Secara harfiah, al-makki atau al-makkiyah berarti “yang bersifat Mekkah” atau “yang berasal dari Mekkah”, sedangkan al-madaniy atau al-madaniyah berarti “yang bersifat Madinah” atau “yang berasal dari Madinah”. Maka ayat atau surah yang turun di Mekkah disebut dengan al-makkiyah dan yang diturunkan di Madinah disebut dengan al-madaniyah. Secara istilah al-makki wa al-madani berarti “suatu ilmu yang membahas tentang tempat dan periode turunnya surah atau ayat Al-Qur’an, baik Mekkah ataupun Madinah”. Ayat atau surah yang turun pada periode Mekkah disebut dengan ayat/surah makkiyah dan ayat/surah yang turun pada periode Madinah disebut dengan ayat madaniyah.

B.     Sejumlah Ciri Surah Makkiyah

 Ciri-ciri umum surah-surah Makkiyah:

-          Surah yang didalamnya terdapat Sajdah

-          Surah yang didalamnya terdapat lafadz kalla, sekali-kali tidak. Umumnya terdapat pada bagian pertengahan sampai akhir Al-Qur’an

-          Surah yang didalamnya terdapat seruan dan tidak terdapat seruan yaa ayyuhannas dan tidak terdapat ya ayyuhalladzina amanu

-          Surah yang didalamnya terdapat kisah para nabi dan umat umat terdahulu kecuali Al-Baqarah

-          Surah yang didalamnya terdapat kisah Nabi Adam dan iblis kecuali surah Al-Baqarah

-          Surah yang diawali dengan huruf hijaiyah seperti Alif Lam Mim, Alif Lam Ra dan Nun kecuali 2 Surah Al-Baqarah dan Ali Imran. Para ulama berpendapat mengenai surah Al-Rad sebagian berpendapat surah Makkiyah

-          Ayat-ayat maupun surah-surahnya itu sendiri pada umumnya pendek dan ringkas uraian sedikit keras dan hangat pada dan nada suaranya tegas

-          Dakwah mengenai pokok-pokok keimanan, hari akhirat, gambaran surga dan neraka

-          Dakwah mengenai budi pekerti, kebajikan, moralitas, sanggahan dan bantahan terhadap pikiran kaum musyrik

-          Terdapat pernyataan sumpah yang lazim dinyatakan oleh orang-orang Arab

C.     Beberapa Ciri Surah Madaniyah 

Ciri-ciri surah Madaniyah:

-          Surah yang didalamnya terdapat izin perang atau yang menerangkan soal peperangan dan menjelaskan hukum-hukum nya

-          Surah yang didalamnya terdapat pembagian hukum harta pusaka, hukum hadd, fara’id, hukum sipil, hukum sosial dan hukum antar negara dan hubungan internasional

-          Surah yang di dalam terdapat uraian kaum munafik, kecuali surah Al-Ankabut yang Makkiyah, selain sebelas surah pada pendahuluannya adalah Madaniyah

-          Bantahan terhadap Ahl Kitab dan seruan agar mereka mau meninggalkan sikap berlebihan dalam mempertahankan agamanya

-          Umumnya memiliki surah yang panjang susunan kalimatnya bernada tenang dan lembut

-          Berisi penjelasan penjelasan tentang bukti-bukti dan dalil-dalil mengenai kebenaran agama Islam secara perinci

D.    Ijmak Ulama Berkenaan dengan Makkiyah dan Madaniyah

Para ulama berusaha dengan cermat dan teliti menentukan surah-surah Makkiyah dan Madaniyah. Mereka berpendapat yang penting dipelajari sejauh yang menyangkut masalah Makkiyah dan Madaniyah ialah surah-surah yang diturunkan di Mekah; surah-surah yang diturunkan di Madinah, surah-surah yang diperselisihkan; ayat-ayat Makkiyah yang terdapat di dalam surah surah Madaniyah, ayat-ayat Madaniyah yang terdapat dalam surah surah Makkiyah, ayat-ayat yang diturunkan di Madinah namun hukumnya Madani, begitu juga sebaliknya ayat-ayat yang diturunkan di Madinah namun hukumnya Makki, yang serupa dengan yang diturunkan di Mekah dalam kelompok Madani yang serupa dengan Madinah dalam kelompok maki yang dibawa dari Mekah ke Madinah yang dibawa dari Madinah ke Mekkah, yang turun di siang hari dan di malam hari dan turun di musim panas dan musim dingin dan yang turun dalam kondisi menetap dan yang dalam musafir atau perjalanan.

E.     Faedah Mengetahui Makkiyah dan Madaniyah

Apabila dikaji manfaat dan kegunaan yang dikandung dalam ilmu Makkiyah dan Madaniah Maka akan banyak ditemukan manfaatnya seperti yang diterangkan Qhatan:

-          Sebagai alat bantu dalam memahami Al-Qur’an sebab pengetahuan ini memberikan kontribusi penting dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan benar. Sebab mengetahui tempat turun, kapan diturunkan dan mengenai apa diturunkan. Pengetahuan ini akan menjadi pegangan para mufasir untuk mengetahui mana ayat yang Mansukh dan Naskh.

-          Meresapi gaya bahasa Al-Qur’an dan memanfaatkan keindahan dan kelenturan gaya bahasa tersebut dalam metode dakwah, sebab setiap situasi dan kondisi memiliki bahasa dakwah yang berbeda. Dengan demikian sebagai acuan dalam retorika berdakwah. Sebab mengetahui dengan pasti seruan pembicaraan setiap ayat Al-Qur’an.

-          Mengetahui sejarah Nabi Muhammad SAW secara komprehensif melalui ayat-ayat Al-Qur’an baik ketika nabi berada di Mekkah ataupun di Madinah. Pengetahuan historis peri kehidupan Nabi yang digali dari ayat-ayat tersebut akan sangat berguna sekali dalam menentukan metode dakwah yang sesuai sehingga dapat memastikan sikap terhadap siapa seruan ditunjukkan.

F.      Pedoman Menentukan Makkiyah dan Madaniyah

Khususnya dalam menentukan Makkiyah dan Madaniyah para ulama bersandar kepada dua metode yang pertama sima’i aqli yaitu metode pendengaran sebagaimana adanya yang kedua qiyas ijtihad yaitu analogi hasil ijtihad.

-          Cara pertama didasarkan pada riwayat Sahih para sahabat. Karena mereka hidup di sekeliling Nabi, sehingga mengetahui saat turunnya wahyu. Sebagian besar menentukan Makkiyah dan Madaniyah melalui metode pertama ini. Qathi Abu Bakar Ibn Thayyib dalam al-intishar menegaskan pengetahuan tentang surah Makki dan Madani mengacu pada hafalan para sahabat dan tabiin. Tidak ada satu keterangan pun yang datang dari Nabi mengenai hal itu sebab Ia tidak diperintahkan untuk itu dan Allah tidak menjadikan ilmu pengetahuannya dan pengetahuan mengenai sejarah naskh dan mansukh itu wajib bagi ahli ilmu tetapi mengetahui tersebut tetapi pengetahuan tersebut tidak harus diperoleh melalui dari Nabi.

-          Cara kedua dengan menggunakan cara analogi atau qiyas. Apabila dalam surah Makkiyah terdapat satu ayat yang mengandung sifat Madaniyah atau mengandung peristiwa Madaniyah maka dikatakan bahwa ayat itu Madani. Begitu sebaliknya jika dalam surah Madaniyah terdapat suatu kandungan sifat Makkiyah atau berkenaan dengan peristiwa Makkiyah maka dikatakan sebagai Surah Makkiyah. Apabila satu surah terdapat ciri Makkiyah maka surah itu adalah surah Makkiyah inilah yang disebut qiyas ijtihadi.

BAB 7 AL-MUHKAM DAN AL-MUTASYABIH

A.    Pengertian Muhkam dan Mutasyabih

Derivasi kata muhkam berasal dari Ihkam secara bahasa bermakna kekukuhan, kesempurnaan, kesaksamaan dan pencegahan. Namun semua pengertian ini pada dasarnya kembali pada makna pencegahan. Ahkam al-amr berarti ia menyempurnakan suatu hal dan mencegahnya dari kerusakan. Ahkam al-fars berarti ia membuat kekang pada mulut kuda untuk mencegah dari goncangan. Kata mutasyabih berasal dari kata tasyabuh secara bahasa berarti keserupaan dan kesamaan. Biasanya membawa pada kesamaan antara dua hal tasyabaha dan isytabaha berarti dua hal yang masing-masing menyerupai lainnya. Dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang menggunakan kedua kata ini atau kata jadian nya yaitu Qur’an Surah hud ayat 11. Secara istilah para ulama berbeda pendapat dalam merumuskan definisi muhkam dan mutasyabih. Al suyuthi misalnya, mengemukakan 18 definisi muhkam dan mutasyabih yang diberikan pada ulama. Al-zarqani mengemukakan 11 definisi yang sebagiannya dikutip dari Al suyuthi di antara definisi yang dikemukakan oleh Al-zarqani berikut ini:

-          Muhkam ialah ayat yang jelas maksudnya dan nyata tidak mengandung kemungkinan naskh. Mutasyabih ialah ayat yang tersembunyi maknanya tidak di ketahui maknanya baik secara rasional, aqli maupun naqli. Inilah ayat-ayat yang hanya Allah SWT yang mengetahui nya seperti ayat-ayat tentang datangnya hari kiamat dan huruf-huruf terputus di awal surah surah. Pendapat ini dikaitkan kepada al-alusi bagi para pemimpin bangsa Mazhab Hanafi.

-          Muhkam ialah ayat yang diketahui maksudnya baik secara nyata maupun melalui takwil. Mutasyabih ialah ayat yang hanya Allah SWT yang mengetahui maksudnya seperti datangnya hari kiamat, keluarnya Dajjal dan huruf-huruf yang terputus di awal surah. Pendapat ini di dasarkan kepada ahli Sunnah sebagai pendapat yang dianggap tepat menurut mereka. 

-          Muhkam ialah ayat yang tidak mengandung kecuali suatu kemungkinan makna takwil. Adapun mutasyabih ialah ayat yang mengandung banyak kemungkinan makna takwil. Pendapat ini dibangsakan kepada Ibn Abbas dan Kebanyakan ahli Ushul fiqih mengikutinya.

-          Muhkam ialah ayat yang berdiri sendiri dan tidak memerlukan keterangan. Mutasyabih ialah ayat yang tidak berdiri sendiri tetapi mempunyai ambiguitas pemaknaan sehingga memerlukan keterangan penjelas lain. Kadang-kadang diterangkan dengan ayat atau keterangan tertentu dan diterangkan dengan ayat atau keterangan yang lain pula karena terjadinya perbedaan dalam menakwilnya. Pendapat ini diceritakan dari Imam Ahmad.

-          Muhkam ialah ayat yang saksama susunannya dan urutannya yang membawa kepada kebangkitan makna yang tepat tanpa pertentangan. Sementara mutasyabih ialah ayat yang makna seharusnya tidak terjangkau dari segi bahasa kecuali bila ada terdapat indikasi atau melalui konteksnya. Jika pengertian ini yang dipedomani makalah ilmu Tasya rak termasuk ke dalam lafal mutasyabih. Pendapat ini didasarkan kepada Imam al-haramain.

-          Muhkam ialah ayat yang jelas maknanya dan tidak terdapat unsur isykal kepelikan atau kerumitan. Mutasyabih lawannya yaitu mengandung unsur yang pelik dan rumit terdiri atas lafal Naskh dan lafal zhahir. Mutasyabih terdiri atas isim-isim kata-kata benda musytarak dan lafal lafal mubhamat samar-samar ini adalah pendapat Al-Thibi.

-          Muhkam ialah ayat yang menunjukkan maknanya kuat yaitu lafal Nash dan lafal Zhahir. Mutasyabih ayat yang tunjukkan maknanya tidak kuat itu lafal mujmal lafal yang bersifat global dan memerlukan perincian, muawwal lafal yang perlu ditakwilkan agar dipahami dan musykil maknanya mengandung kebaikan dan maknanya sulit diketahui. Pendapat ini dibangsakan kepada Imam Al Razi. 

B.      Sikap Ulama Terhadap Ayat-ayat Muhkamat dan Mutasyabih

Di atas dijelaskan bahwa ayat-ayat mutasyabihat itu beragam jenis dan bentuknya. Dalam bagian ini akan dibahas secara khusus ayat-ayat mutasyabihat yang menyangkut sifat-sifat Tuhan dan istilah as-suyuthi ayat Al Shifah menyebutkan dengan mutasyabih al-shifah. Ayat-ayat yang termasuk dalam kategori ini banyak diantaranya Q.S Thaha ayat 5, Q.S Al Fajr ayat 22, Q.S Al An'am ayat 61, Q.S az-zumar ayat 56, Q.S ar-rahman ayat 27, Q.S Thaha ayat 39, Q.S al-fath ayat 10, Q.S ali imran ayat 28. Dalam ayat-ayat tersebut terdapat kata kata bersemayam datang diatas wajah mata tangan dan diri yang di bangsa kan kepada sifat Allah. Kata-kata ini menunjukkan keadaan tempat dan anggota yang layak bagi makhluk yang baru. Karena dalam ayat-ayat tersebut dibangsakan kepada Allah yang qadim (absolut) maka sulit dipahami maksud sebenarnya. Karena itu ayat-ayat tersebut dinamakan mutasi apabila al-shifat. Lalu ada madzhaf kalaf yaitu ulama yang menakwilkan lafal yang makna lainnya mustahil kepada makna yang layak dengan zat Allah SWT. Karena itu mereka disebut mu’awwilah atau madzhab ta’wil. Mereka mengartikan istiwa dengan ketinggian yang abstrak berupa pengendalian Allah SWT terhadap alam ini tanpa merasa kepayahan. Kedatangan Allah SWT diartikan dengan kedatangan perintahnya, Allah SWT berada di atas hamba-nya dengan Allah SWT Maha Tinggi bukan berada di suatu tempat. Sisi Allah dengan hak Allah, wajah dengan dzat, mata dengan pengawasan, tangan dengan kekuasaan dan diri dengan siksa. Demikian sistem penafsiran ayat-ayat mutasyabih yang ditempuh ulama khalaf. Semua lafal yang mengandung makna cinta, murka dan malu bagi Allah ditakwilkan dengan makna majaz yang terdekat. Disamping itu masih ada pendapat ketiga. Sebagaimana yang dikemukakan oleh al-suyuthi bahwa Ibn Daqiq Al-‘Id mengemukakan pendapat yang menengahi kedua macam diatas. Ibn daqiq berpendapat bahwa jika takwil itu dekat dengan bahasa Arab, maka tidak dimungkiri dan jika takut itu jauh maka kita tawaqquf (menangguhkannya). Kita meyakini maknanya menurut cara yang dimaksudkan cara mensucikan Tuhan dari sesuatu yang tidak pantas baginya. Sesuatu yang maknanya dari lafal lafal tersebut ini nyata dan dapat dipahami dari percakapan orang Arab kita terima yang demikian tanpa tawaqquf.

C.     Fawatih Al-Suwar

Salah satu ciri ayat-ayat Makkiyah adalah menggunakan huruf-huruf potongan (muqhaththa’ah) atau pembuka surah-surah (fawatih Al-suwar). Pembuka surah-surah itu dapat digolongkan ke dalam beberapa bentuk. Pertama terdiri dari 1 huruf yakni surah shad, surah qaf dan surah al-qalam yang dimulai dengan huruf nun. Kedua, terdiri dari dua huruf, terdapat pada sepuluh surah, tujuh di antaranya disebut hawamim yaitu surah-surah yang diawali dengan Ha dan Mim. Surah-surah ini adalah surah Ghafir, Fushshilat, al-Syura, al-Zukhruf, al-Dukhan, al-Jatsiyah, dan al-Ahqaf. Khusus pada surah al-Syura, pembukaannya tergabung antara   حم عسق. Surah lain adalah surah Thaha, Tha-sin, dan Yasin. Ketiga, terdiri dari tiga huruf terdapat pada tiga belas tempat. Enam di antaranya dengan huruf alif lam mim, yaitu surah al-Baqarah, Ali Imran, al-'Ankabut, al-Rum, Luqman, dan al-Sajdah. Lima dengan huruf alif lam ra, yaitu pada surah Yunus, Hud, Yusuf, Ibrahim dan al-Hijr. Dua susunan hurufnya terdapat pada pembukaan surah al-Syu'ara' dan al-Qashshash. Keempat, terdiri dari empat huruf, yaitu المص pada surah al-A'raf, dan l terdapat pada surah al-Ra'd. Kelima, terdiri atas lima huruf, yang terdapat pada satu tempat saja, yaitu كحيعص, yaitu pada surah Maryam. Menurut al-Suyuthi, huruf-huruf pembuka tersebut masuk ke dalam kajian mutasyabihat. Para ulama berbeda pendapat dalam memahami dan menafsirkannya. Pertama, kelompok yang meyakininya sebagai rahasia Tuhan dan hanya dapat diketahui oleh Allah SWT. Al-Suyuthi memandang pendapat ini sebagai pendapat yang dipilih. Ibn al-Mundzir meriwayatkan bahwa ketika al-Sya'bi ditanya tentang pembuka-pembuka surah ini.

D.    Hikmah Adanya Ayat-ayat Demikian

Ayat-ayat Al-Qur'an, baik yang muhkam maupun mutasyâbihât semuanya datang dari Allah. Jika yang muhkam maknanya mudah dan dapat dipahami, sementara yang mutasyabihat maknanya samar dan tidak semua orang bisa menangkapnya. Mengapa tidak sekalian saja diturunkan muhkam, sehingga semua orang dengan mudah memahaminya? Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu diketahui apa hikmah dan rahasia keberadaan ayat-ayat mutasyabihat dalam Al-Qur'an. Para ulama telah banyak mengkaji hikmah ini, empat di antaranya disebutkan oleh al-Suyûthi dalam kitabnya al-Itqan. Pertama, ayat-ayat mutasyabihat ini mengharuskan upaya yang lebih banyak untuk mengungkap maksudnya sehingga menambah pahala bagi orang yang mengkajinya. Kedua, sekiranya seluruh Al-Qur'an muhkam tentunya hanya ada satu mazhab. Sebab itu, kejelasannya akan membatalkan semua mazhab di luarnya. Adapun jika yang demikian, tidak dapat diterima semua dan tidak memanfaatkannya. Selanjutnya, pengikut semua mazhab akan memperhatikan dan merenungkannya, sekiranya mereka terus menggali, maka ayat-ayat muhkam menjadi penafsirnya. Ketiga, jika Al-Qur'an mengandung ayat-ayat mutasyabihat, maka untuk memahaminya diperlukan cara penafsiran dan tarjih antara satu dengan lainnya. Hal ini memerlukan berbagai ilmu seperti ilmu bahasa, ilmu gramatika, ilm al-ma'ani, 'ilm al-bayan, dan ushul al-fikh. Sekiranya hal itu tidak demikian, sudah barang tentu ilmu-ilmu tersebut tidak muncul. Keempat, Al-Qur'an berisi dakwah terhadap orang-orang tertentu dan umum. Orang-orang awam biasanya tidak menyukai hal-hal yang bersifat abstrak. Jika mereka mendengar pertama kalinya tentang sesuatu wujud tanpa berwujud fisik dan berbentuk, mereka menyangka hal itu tidak benar, dan akhirnya mereka terjerumus ke dalam ta'thil (peniadaan sifat-sifat Allah). Karena itu, sebaiknyalah kepada mereka disampaikan lafal-lafal yang menunjukkan pengertian-pengertian yang sesuai dengan imajinasi dan khayal mereka. Ketika itu bercampur antara kebenaran empirik dan hakikat. Bagian pertama adalah ayat-ayat mutasyabihat yang dengannya mereka diajak bicara pada tahap permulaan. Pada akhirnya, bagian kedua berupa ayat-ayat Muhkamat menyingkapkan hakikat sebenarnya.

BAB 8 QIRA’AT AL-QUR’AN

A.    Pengertian Qira’at

Qira'at adalah bentuk jamak dari qird'ah, yang secara bahasa berarti bacaan. Suatu mashab yang dianut oleh seorang imam qurd at yang berbeda dengan lainnya dalam pengucapan Al-Qur'an serta sepakat sepakat riwayat dan jalur jalur daripadanya, baik perbedaan ini dalam pengucapan huruf-huruf maupun dalam pengacapan keadaan-keadaannya. Menurut al-Muqri, qira ar adalah seorang yang mengeTahui qird'an-qira'ah dan diriwayatkan kepada orang lain secara lisan. Menurut al-Muqri, qira ar adalah seorang yang mengetahui qird'an-qira'ah dan diriwayatkan kepada orang lain secara lisan.

B.     Latar Belakang Timbulnya Perbedaan Qira’at

Qira'ah yang tidak memenuhi syarat disebut qiraah yang lemah, ganjil, dan batal, sekalipun diriwayatkan oleh imam qira'ah yang tujuh maupun yang lebih besar dari mereka. Pendapat ini dianggap benar oleh imam yang meneliti di kalangan Salaf dan Khalaf. dan rasm mushaf Utamani, Qina'ah ini populer di kalangan ahl qira'ah, dan mereka tidak memandangnya sebagai qina'ah yang salah atau ganjil. Ibn Abd al-Barr mengutip ijma' kaum Muslim atas larangan membaca qira'ah syadzdzah dan tidak boleh jadi makmum bagi yang membacanya dalam shalat. Keterang an ini menegaskan kedudukan qira'ah syadzdzah yang tidak berstatus sebagai Al-Qur'an, dan membacanya tidak termasuk ibadah.

C.     Urgensi Mempelajari Qira’at dan Pengaruh dalam Istinbath Hukum

Perbedaan antara satu qira'ah dan qira'ah lainnya bisa terjadi pada huruf, bentuk kata, susunan kalimat, i'ah serta penambahan dan pengurangan kata. Perbedaan-perbedaan ini sedikit banyaknya membawa perbedaan makna. Karena itu, para ulama fikih membangun hukum batalnya wudhu bagi orang yang disentuh (lain jenis) dan tidak batalnya atas dasar perbedaan qind ah pada kamu sentuh' dan kamu “saling menyentuh. Demikian juga hukum bolehnya mencam puri perempuan yang sedang haid ketika terputus haidnya dan larangannya hingga la mandi didasarkan perbedaan mereka da lam bacaan hingga mereka suci.”  Berdasarkan qira'ah Hamzah dan al-Kisa'l, jumhur ulama menafsirkan bacaan yang tidak bertasydid dengan makna bacaan yang berta sydid, Perbedaan antara qira'ah dan juga memenga ruhi perbedaan dalam istinbath hukum. Perbedaan cara membaca pada ayat ini membawa pe ngaruh besar dalam istinbath, pengambilan hukum kedua kaki dalam wudhu. Syi'ah Imâmiyah berpegang pada qira'ah jar (kasrah lam), sehingga mereka mewajibkan menyapu kedua kaki dalam wudhu.

BAB 9 I’JAZ AL-QUR’AN

A.    Pengertian dan Jenis-jenis Mukjizat

Dalam konteks permasalahan ini, yang dimaksud dengan ijaz ialah menampakkan kebenaran Nabi yang mengaku sebagai Rasul dengan menunjukkan kelemahan orang Arab dalam menghadapi mukjizat terbesar Nabi, yaitu Al-Qur'an. Nabi Muhammad SAW menggunakan Al-Qur'an untuk menantang orang-orang Arab yarug pada saat itu berada pada tingkat fashihah dan balighah yang tinggi. Paling tidak ada tiga fase yang digunakan Nabi dalam menantung orang-orang Arab untuk menandingi Al-Qur'an. Pertama, menantang mereka bahkan juga terhadap golong an jin untuk membuat tandingan dengan seluruh Al-Qur'an. Untuk membuat yang serupa dengan Al-Qur'an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain  Kedua Nabi menantang mereka untuk membuat sepuluh surah yang serupa dan panggilah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang besar ke mereka yang kamu seru itu tidak menerima seruanmu itu, maka Ketauliah, sungguhnya Al-Qur'an itu diturunkan dengan ilmu Ketiga, menantang mereka dengan membuat satu surah saja seperti Al-Qur'an, firman Allah SWT. Dan jika kamu tetap dalam keraguan tentang Al-Quran yang Kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad), buatlah salah satu surah saja yang semisal Al-Qur'an itu dan ajakan penolong penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang memang benar ternyata, potensi-potensi dan kemampuan yang mereka miliki tidak sanggup menjawab tantangan di atas. Menurut Manna Khalil al-Quththän, kemukjizatan Al Qur'an bagi bangsa-bangsa lain juga tetap berlaku sepanjang masa, dan selalu ada dalam posisi tantangan yang tegar. Sementara itu, Muhammad Ali al-Shabani menyatakan, bahwa maksud dari kemukjizatan itu sebenarnya bukan pada kelemahan bangsa Arab dalam menandingi Al-Qur'an, karena setiap orang yang berakal sehat pasti mereka tahu.

B.     Segi-segi Kemukjizatan Al-Qur'an

Ternyata Aspek kemukjizatan Al-Qur'an sangat menarik perhatian ulama Al-Qur'an, dan mereka menilal dari sudut pandang kecenderungan mereka. Ada pun menurut tokoh Syi'ah lainnya, al-Murtadha, mengatakan bahwa shirfah ialah Allah SWT mencabut ilmu mereka yang diperlukan untuk menghadapi Al Qur'an Pendapat tentang shirfah ini ditolak oleh Al-Qur’an sendiri, maka dengan sendirinya pendapat mengenai shirfah ini batil Allah SWT berfirman   Katakanlah, "sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa dengan Al-Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain" Ayat ini menunjukkan kelemahan mereka, meskipun kemampuan, sekiranya kemampuan mereka sudah di cabut, maka apalah artinya tantangan untuk mengumpulkan manusia dan jin yang telah hilang kemampuannya. Kedua, kelompok lain berpendapat, mukjizat Al-Qur'an terletak pada segi halighan yang tinggi. Ketiga, kemukjizatan Al-Qur’an terletak pada kandungan badi yang unik, beda dengan yang sudah dikenal di kalangan orang arab seperti fashilah dan maqtha. Keempat, kelompok lain mengatakan bahwa kemukjizatan Al Qur'an terletak pada pengungkapannya akan kabar-kabar yang gaib yang hanya diketahui melalui wahyu, dan hal-hal mengenai penciptaan makhluk yang tidak mungkin diterang kan oleh seorang yang ummi dan tidak berhubungan dengan ahl kitab, Namun argumen pendapat ini sangat lemah, dan ditolak Sebab kelompok ini hanya menganggap ayat-ayat yang menceritakan hal-hal gaib dan penciptaan makhluk saja yang dianggap sebagai mukjizat. Kelima sebagian ulama mengatakan Al-Qur'an sebagai mukjizat karena di dalamnya terkandung aneka macam ilmu, dan hikmah yang sangat mendalam.

BAB 11 MODEL PENGHITUNGAN JUMLAH AYAT AL-QUR'AN: ANALISIS TERHADAP BEBERAPA PENDAPAT MUFASIR

A.    Pendahuluan

Al-Qur'an adalah petunjuk manusia di dunia demi untuk kebahagiaan umat manusia di dunia dan akhirat. Dari sisi formulasi bentuk Al-Qur'an sejak masa penyusunan di masa Khalifah 'Utsmân hingga sekarang masih tetap apa adanya. Untuk menjadikan Al-Qur'an sebagai pedoman dan dapat diaplikasikan umat manusia di dunia ini, maka siapa saja yang hendak memedomaninya dituntut pemahaman yang benar terhadap ayat-ayat Al-Qur'an. Dalam memahami ayat-ayatnya, seseorang memerlukan alat bantu yang dapat digunakan untuk mengantarkan kepada pemahaman yang diinginkan pemberi wahyu. Alat-alat bantu tersebut lazim dikenal dengan nama Ulum Al-Qur'an. Ilmu-ilmu yang digunakan untuk menyampaikan penafsir kepada pemahaman yang tepat selalu berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Para ulama tafsir menggali ilmu-ilmu Al-Qur'an dan mengkajinya dari berbagai dimensinya, baik yang bersifat serius seperti tentang asbab nuzul, munasabah, makki dan madani, dan nasikh dan mansukh, maupun yang bersifat sebagai pelengkap namun memiliki kaitan dengan Al-Qur'an terdapat kajian khusus tentang titik dalam Al-Qur'an al-Nuqthah fi Al-Qur'an. Salah satu tujuan dari tulisan ini adalah untuk memini-malisasi tingkat kebingungan atas munculnya persoalan-per-soalan sekitar jumlah ayat yang ada dalam Al-Qur'an.Penge-lompokan ayat-ayat yang serupa ini diharapkan akan dapat membantu dan menjadi dasar bagi penetapan jumlah perhitungan ayat Al-Qur'an secara kuantitatif. Sementara substansi dari isi Al-Qur'an sendiri tidak ada perubahan sama sekali.

B.     Latar Belakang Timbulnya Perbedaan dalam Menetapkan Jumlah Ayat Al-Qur'an

Menurut informasi yang dapat dikumpulkan, bahwa paling tidak ada beberapa sudut pandang yang menjadi latar belakang perbedaan tentang jumlah ayat Al-Qur'an.Yang pertama, terkait dengan pola perhitungan yang digunakan. Sebab Al-Qur'an yang pada intinya tidak ada pengurangan pendapat tentang jumlah ayatnya. Dari sisi penghitungan maka dijumpai ada pola hitung menurut perhitungan manu-al dan menurut kelompok serta pandangan individual ulama Al-Qur'an. Jika perhitungan ayat Al-Qur'an dihitung menurut perhi-tungan manual, maka akan dijumpai jumlahnya ada 6236 ayat. Namun jika mengikuti pola perhitungan yang dilakukan oleh kelompok Ahmadiyah, maka akan lebih banyak lagi. Menurut kelompok Ahmadiyah, dengan menggunakan pola hitungan manual maka akan dijumpai jumlah ayat yang lebih banyak lagi sebanyak 112 ayat. Jadi menurut perhitungan Ahmadiyah jumlah ayat sebanyak 6236+122=6358. Hal itu dimungkinkan, karena kelompok ini memasukkan basmallah yang terdapat pada awal surah dihitung sebagai satu ayat yang mandiri. Sementara itu, menurut Abi al-Hasan dalam kitab Aqidah al-Naji halaman 99 jumlah ayat Al-Qur'an sebanyak 6666 ayat. Tetapi pola penghitungan yang dilakukan bukan berdasarkan atas perhitungan manual, melainkan perhitungan tematik kelompok ayat. Abu al-Hasan menggunakan perhitungan berdasarkan atas pengelompokan ayat sebagai berikut. Kelompok ayat tentang amar makruf sebanyak 1000 ayat. Kelompok ayat tentang nahi mungkar sebanyak 1000 ayat. Kelompok ayat tentang al-wa'du sebanyak 1000 ayat, dan kelompok ayat tentang al-wd'idu sebanyak 1000 ayat. Kelompok ayat tentang perbandingan dengan sesuatu sebanyak 1000 ayat, dan kelompok ayat tentang kisah dan khabar sebanyak 1000 ayat, ditambah lagi dengan kelompok ayat tentang halal dan haram sebanyak 500 ayat. Kemudian ditambah lagi dengan kelompok ayat tentang doa dan tasbih sebanyak 500 ayat, lalu dilengkapi dengan 66 ayat tentang nasikh dan mansukh. Jadi, menurut perhitungan ayat berdasarkan pengelompokan inilah dijum-pai jumah ayat sebanyak 6666 seperti yang selama ini populer di tengah masyarakat. Kedua, adanya perbedaan imam yang meriwayatkan Al-Qur'an.Misalnya Al-Qur'an dengan riwayat 'Ashim berbeda dari yang diriwayatkan oleh Qalun. Ketiga penyebab lain terjadinya perbedaan dalam menen-tukan jumlah ayat pada Al-Qur'an adalah karena adanya ayat-ayat yang sama persis dan tidak terdapat perbedaan sama sekali. Dalam istilah Ulum Al-Qur'an disebut dengan al-ayat al-mutasyabihah al-alfadh. Ayat-ayat yang sama pada Al-Qur'an terdapat pada berbagai tempat. Adakalanya terdapat pada surah yang sama. Ada juga ayat yang sama dan terdapat pada dua surah yang berbeda. Demikian pula terdapat ayat yang sama terdapat pada berbagai surah yang berlainan. Berdasarkan atas persoalan itu, maka pada tulisan ini akan dipaparkan kelompok ayat-ayat yang serupa tersebut. Pada gilirannya nanti dengan mengetahui kelompok ayat yang sama akan membantu memberikan sebagian jawaban bagi adanya perbedaan jumlah ayat Al-Qur'an. Untuk itu, akan dipaparkan model pengelompokan ayat ke dalam empat kategori model perhitungan jumlah ayat. Pertama, jumlah ayat Al-Qur'an sesuai jumlah ayat yang disebutkan pada pembukaan tiap surah. Kedua, perhitungan ayat Al-Qur'an dengan tidak memasukkan ayat-ayat Al-Qur'an yang sama persis pada tiap surah. Ketiga, perhitungan yang tidak memasukkan ayat yang sama persis pada dua surah berbeda. Keempat, perhitungan dengan tidak memasukkan ayat yang sama pada tiga surah atau lebih.

-          Model Pertama: Penghitungan Ayat Al-Qur'an

Al-Qur'an yang akan dijadikan objek penelitian penghi-tungan jumlah ayat Al-Qur'an al-Karim dan terjemahnya dalam bahasa Indonesia. Model perhitungan pertama ini dilakukan dengan cara manual, yaitu dengan cara menjumlahkan ayat-ayat yang terdapat pada Al-Qur'an berdasarkan atas jumlah ayat seperti yang disebutkan pada tiap awal surah. Seperti dapat dilihat pada Al-Qur'an mushaf 'Ustmani, Basmallah yang berfungsi sebagai pembatas antarsurah dan tidak dihitung sebagai ayat secara mandiri sebanyak 112 buah. Jumlah tersebut diperoleh dari 114 surah dikurangi dengan Basmallah yang terdapat pada surah al-Fatihah dan satu lagi karena ketiadaan Basmallah pada surah al-Bara'ah atau al-Taubah. Sementara itu, golongan Ahmadiyah memasukkan Basmallah yang terdapat pada awal surah dianggap sebagai satu ayat mandiri. Dengan demikian, maka jumlah ayat-ayat menurut perhitungan Ahmadiyah menjadi 6236+112=6348 ayat.

-          Kelompok Ayat-ayat yang Sama Persis yang Terdapat pada Satu Surah

Yang dimaksud dengan ayat yang sama persis adalah ayat-ayat Al-Qur'an yang mandiri, bukan merupakan pengulangan dari bagian ayat pada ayat lain, sehingga yang dihitung sebagai satu ayat adalah ayat-ayat yang sama persis. Jadi, meskipun memiliki keserupaan namun ada sedikit perbedaan, hanya perbedaan satu huruf tidak dihitung sebagai ayat yang dimaksud. Misalnya pada surah al-Shaffat (37) ayat 110 Bunyi tersebut mirip dengan surah al-shaffat ayat 80, 121 dan 131 yang terdapat pada adanya tambahan inna di depannya.

-          Ayat yang Sama dan Terdapat dalam Satu Surah

Surah al-Baqarah (2) ayat 47 dan 122

C.     Kegunaan Kajian

Pertama, memudahkan para penghafal AI-Qur'an dalam mengantisipasi ayat-ayat serupa sehingga dapat mewaspadai-nya untuk tidak terjadi kesalahan dan pengulangan dalam menghafal. Kedua, membantu para pengkaji Al-Qur'an dalam mema hami hasil dari takhrijayat yang terdapat pada surah yang ber-beda. Dalam Al-Qur'an terdapat ayat-ayat yang sama persis namun terdapat pada surah yang berbeda. Jika yang diketahui hanya satu pada satu tempat, padahal ayat serupa terdapat pada surah lain, maka dengan mengetahui hasil penelitian ini orang akan terhindar dari kesalahpahaman. Ketiga, dari penelitian ini dapat juga digunakan untuk mengetahui perbandingan terjemahan dari ayat yang serupa namun dengan redaksi terjemahan ayat yang berbeda. Keempat, memberikan ketenangan dan ketenteraman umat dalam menyakini Al-Qur'an sebagai pedoman hidupnya. Sebab dengan memahami pola penghitungan ayat yang digunakan, maka orang akan memahami letak perbedaan yang ada. Konsekuensi logis dari adanya pemahaman ini akan memantapkan keimanan dan keyakinan umat terhadap autentisitas Al-Qur'an. Kelima, menepis keraguan umat terhadap AI-Qur'an manakala terjadi hembusan fitnah yang dilontarkan oleh kalangan yang tidak menyukai umat ini.

BAB 12 PENUTUP

Memahami Al-Qur’an memerlukan ilmu yakni Ulum Al-Qur’an. Pada buku yang kami resume ini semoga bisa mempersingkat membaca point point penting yang terdapat pada buku ini. Dapat dikatakan bahwa buku ini sebagai pengenalan dasar dan pengantar awal. Kajian lebih lanjut dan mendalam dapat merujuk ke berbagai literatur-literatur yang terkait. Betapa pun terbatasnya uraian yang dipaparkan di sini, informasi yang termuat di dalamnya sangat penting. Secara sepintas, mengandung pengetahuan yang sangat urgen dan perlu. Pengertian, kajian dan cabang-cabang Ulum Al-Qur'an, misalnya, ternyata bagaikan lautan ilmu. Dalam membicarakan mukjizat Al-Qur'an, terbukti menyangkut berbagai segi kemukjizatan yang dapat dibangsakan kepada Al-Qur'an. Asbab al-Nuzul bukan hanya sekadar mengetahui arti sekilas, sebab turun suatu ayat Al-Qur'an, tetapi juga menyangkut implikasi dan pengaruhnya dalam pemahaman. Begitu juga dalam membicarakan Muhkam dan Mutasyabihat dsb.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Resensi Buku ‘Ulum Al-Quran (Memahami Otentifikasi Al-Qur'an)

  Resensi Buku ‘Ulum Al-Quran (Memahami Otentifikasi Al-Quran) Oleh Kelompok 10 kelas PAI IB: Annisa Septiani            (210414035) ...