Senin, 20 Desember 2021

Resensi Buku Ulumul Qur’an Dr. H. Nurdin, M.Ag

Resensi Buku Ulumul Qur’an Dr. H. Nurdin, M.Ag

Disusun oleh Kelompok 3 kelas PAI IB:

Alif Nur Shobari              (210414028)

Ahmad Flandi Kusuma    (210414021)

 

IDENTITAS BUKU

Judul buku: Ulumul Qur'an

Penulis: Dr. H. Nurdin, M.Ag

 


BAB I

PENDAHULUAN

Al-Qur‟an bagi kaum muslimin adalah kalamullah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan malaikat Jibril. Kitab suci ini memiliki kekuatan luar biasa yang berada diluar kemampuan manusia. Sebagaimana Firman Allah “sesungguhnya kami turunkan Al-Qur‟an ini kepada sebuah gunung, maka kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut (gentar) kepada Allah SWT, dan perumpamaan-perumpamaan itu kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir”.

Al-Qur‟an berada tepat di jantung kepercayaan muslim dan berbagai pengalaman keagamaan. Tanpa pemahaman yang semestinya terhadap Al-Qur‟an, kehidupan, pemikiran dan kebudayaan kaum muslimin tentunya akan sulit dipahami.

Allah SWT menurunkan Al-Qur‟an kepada Rasul kita Muhammad SAW untuk membimbing manusia, sebagai penyempurnaan kitab-kitab samawi sebelumnya, dan berfungsi sebagai petunjuk bagi umat manusia serta pembeda antara haq dan yang bathil. Uniknya, Al-Qur‟an tidak turun secara serta merta, melainkan dengan bertahap dan berangsur-angsur selama kurang lebih 23 tahun.

Al-Qur‟an semenjak diturunkan Allah SWT melalui perantaraan malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW, hingga saat ini masih utuh dan masih terjaga keasliannya, karena Allah SWT telah menjamin kemurniaan dan kesucian Al-Qur‟an, akan selamat dari usahausaha pemalsuan, penambahan atau pengurangan-pengurangan baik dari segi bahasa, dialek dan tulisannya, sebagaimana Firman Allah SWT yaitu :

 ا نا نحن نزلنا الذ كروا نا له لحفظون                                                                                            

Artinya : “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur‟an, dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya”. (QS. Al-Hijr:9

Al-Qur‟an adalah sebuah keajaiban yang luar biasa yang diberikan Allah SWT, kepada Nabi-Nya yang mulia. Kemudian diteruskan kepada umatnya yang beriman untuk dijadikan sebagai pedoman yang abadi dalam hidup dan kehidupan.

 

BAB II

 SEJARAH TURUN DAN PEMELIHARAAN AL-QUR’AN

A. Devinisi Al-Qur’an

Al-Qur‟an secara etimologi merupakan bentuk mashdar dari kata kerja (fi‟il) yaitu “qara‟a” yang diartikan sebagai “membaca”. Dengan demikian bila diartikan dengan Al-Qur‟an bermakna “bacaan” atau “yang dibaca” (maqru‟). Dalam manuskrip Al-Qur‟an beraksara kufi yang awal, kata ini ditulis tanpa menggunakan hamzah yakni Al-Qur‟an, dan hal ini telah menyebabkan sejumlah kecil sarjana muslim memandang bahwa terma itu diturunkan dari akar kata qarana yaitu “menggabungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain” atau mengumpulkan”, dan Al-Qur‟an berarti “kumpulan” atau “gabungan”.

 Sedangkan menurut terminologi Al-Qur‟an adalah “kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya, melalui perantaraan malaikat Jibril yang lafadz-lafadznya mengandung mukjizat, membacanya mempunyai nilai ibadah, yang diturunkan secara mutawatir, dan yang ditulis pada mushaf, mulai dari surat Al-Fatihah dan diakhiri surat An-Nas.5

Al-Qur‟an adalah firman Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril yang diturunkan secara berangsur-angsur dalam masa 22 tahun 2 bulan 22 hari atau selama 23 tahun (13 tahun di kota Mekkah dan 10 tahun di kota Madinah) yaitu mulai 17 Ramadhan tahun 41 dari kelahiran Nabi Muhammad SAW, sampai 9 Dzulhijjah Haji Wada‟ tahun 63 dari kelahiran Nabi atau tahun 10 H.

 

B. Pemeliharaan Al-Qur’an

1.   Pemeliharaan Al-Qur’an Pada Masa Rasulullah SAW

Allah menghendaki wahyu yang diturunkan-Nya itu terpelihara keorisilannya selama-lamanya. Ada dua cara yang dicatat oleh sejarah dalam hal pemeliharaan Al-Qur‟anul pada masa Rasulullah SAW diantaranya adalah dengan menghafal dan menuliskannya.

Diantara sahabat-sahabat yang menjadi para penulis wahyu pada masa Rasulullah ialah Ubay ibn Ka‟ab (w.645), Mu‟adz ibn Jabal (w.639), Zaid Ibn Tsabit, Abu Zaid Al-Ashari (w.15H), Ali bin Abi Talib, Sa‟ad Ibn Ubayd (w.637), Abu Al-Darda (w.652), Ubayd Ibn Muawiyah, Tamim Al-Dari (w.660), Abd Allah Ibn Mas‟ud (w.625),Salim Ibn Ma‟qil (w.633),Ubadah ibn Shamit, Abu Ayyub (w.672), dan Mujammi‟ Ibn Jariyah. Dengan demikian terdapatlah dimasa Rasulullah SAW tiga unsur yang dapat memelihara Al-Qur‟an, diantaranya adalah karena hafalan para sahabat yang menghafal Al-Qur‟an, naskah-naskah yang ditulis untuk nabi, dan naskah-naskah yang ditulis oleh mereka yang pandai menulis dan membaca untuk mereka masing-masing.

2.   Pemeliharaan Al-Quran Pada Masa Abu Bakar Sampai Umar Bin Khatab

Selepas Rasulullah SAW wafat, pemerintah Islam dipegang oleh Abu Bakar, yang dilantik menjadi khalifah pada tahun ke-11 hijrah. Pada zaman beliau menjadi khalifah, ada beberapa peristiwa-peristiwa besar berkenaan dengan kemurtadan sebagai orang arab, karena itu beliau menyiapkan pasukan dan mengirimkan untuk memerangi orang-orang murtad itu. Diantara peperangan- peperangan yang terkenal yang terjadi pada masa kekhalifahan Abu Bakar yang paling terkenal adalah perang Yamamah. Menurut suatu riwayat dikatakan bahwa pada perang tersebut dari kalangan muslim yang syahid sebanyak 1.000 orang, diantara yang syahid terdapat 70 orang Qori‟ dan hafizh al-qur‟an dan ada yang berpendapat lebih dari itu. 27 Hal ini menimbulkan kekhawatiran di hati Saidina Abu Bakar akan hilangnya Al-Quran. Bahkan atas saran dan desakan Saidina Umar, Abu Bakar mengambil keputusan untuk mengumpulkan/menyusun Al-Qur‟an. Kemudian Abubakar memerintahkan Zaid bin Thabit (penulis atau sekretaris Nabi) untuk menjalankan tugas tersebut dengan mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur‟an dari daun, pelepah kurma, batu, tanah keras, tulang unta ataupun dari sahabat-sahabat yang menghafalnya. Kemudian dibandingkan satu sama lainnya dengan pengawasan Abubakar dan Umar serta tokoh sahabat lainnya, sehingga mencapai target yang sejalan dengan tuntutan Allah dan Rasulnya. Sehingga Al-Quran ditulis secara mutawatir dalam mushaf sesuai dengan ketetapan Nabi SAW.

3.   Ustman bin Affan dan Ali Bin Abi Thalib

Khalifah Ustman kemudian mengutus seseorang kepada Hafshah agar Hafshah mengirimkan lembaran-lembaran Al-Qur`an yang ada padanya kepada Utsman untuk disalin, dan setelah itu akan dikembalikan lagi. Hafshah pun mengirimkan lembaran-lembaran Al-Qur`an itu kepada Utsman. Oleh Utsman dibentuklah satu panitia, terdiri dari Zaid bin Tsabit (sebagai ketua/sebagai penulis Al-Qur‟an), Abdullah bin Zubair, Said bin al-„Ash (sahabat yang pintar bahasa arab dan sekaligus pendekte dalam hal penulisan Al-Qur‟an), dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam.

Tugas Panitia ini ialah membukukan Al-Qur‟an yaitu menyalin dari lembaran-lembaran tersebut menjadi sebuah buku. Jumlah salinan yang telah dicopy sebanyak tujuh buah. Tujuh salinan tersebut dikirimkan masing-masing satu copy ke kota Makkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah dan satu ditinggalkan di Madinah untuk usman sendiri. Mushhaf inilah yang kemudian dikenal dengan nama Mushhaf Utsmani. Kemudian Utsman memerintahkan Al-Qur`an yang ditulis oleh sebagian kaum muslimin yang bertentangan dengan Mushhaf Utsmani yang mutawatir tersebut untuk dibakar. Maka dari mushaf yang ditulis di zaman Ustman itulah kaum muslimin di seluruh pelosok menyalin Al-Qur`an itu dengan tidak berlawanan dengan apa yang ditulis dalam mushaf-mushaf yang ditulis dimasa tersebut.

Pada masa pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib, tidak ada perubahan yang didapatkan dan pada intinya mushaf tersebut tetap seperti zaman Usman Bin Affan.

 

BAB III

ILMU-ILMU AL-QUR’AN

A.  Asbabun Nuzul

 1. Definisi Asbabun Nuzul

 Secara etimologis asbâbun (سثاب ( adalah bentuk jamak dari sabab (سثة ( dengan arti sebab. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sebab adalah hal yang menyebabkan sesuatu; lantaran; karena dan (asal) mula.32 Nuzûl artinya turun, sedangkan turun adalah bergerak dari atas ke bawah; bergerak ke tempat yang lebih rendah daripada tempat semula.

Jika dihubungkan dengan Quran, turun harus dipahami secara majazi (metaforis), bukan hakiki, yaitu اٱظهار) menampakkan) atau الم اٱ (memberitahukan) atau اٱفهام) memahamkan). Dengan pemahaman secara metaforis tersebut Nuzûl Quran berarti peroses penampakan, pemberitahuan dan pemahaman Quran kepada Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian secara terminologis, yang dimaksud dengan asbabun nuzul adalah hal yang menjadi sebab turunnya satu ayat kelompok ayat atau satu surat Quran kepada Nabi Muhammad SAW. Hal yang menjadi sebab itu bisa suatu peristiwa yang terjadi pada masa Nabi atau pertanyaan yang diajukan kepada beliau. Dalam bentuk pristiwa misalnya, apa yang diriwayatkan oleh Bukhari dari jalur „Ikrimah dari Ibn Abbas bahwasanya Hilal ibn Umayyah mengadukan kepada Rasulullah SAW bahwa isterinya berzina dengan Syarik ibn Samhak, lalu Nabi memintanya menunjukkan bukti dengan menghadirkan empat orang saksi. Kalau tidak, justru punggung Hilal yang akan dicambuk. Hilal menyatakan kepada Nabi, apakah jika seseorang mendapatkan isterinya sedang berzina dengan seorang laki-laki, dia harus pergi mencari saksi terlebih dahulu? Nabi tetap dengan keputusannya, yaitu apabila Hilal tidak dapat menghadirkan empat orang saksi, maka justru dia sendirilah yang akan di kukum.

Karena tidak dapat berbuat apa-apa lagi, maka Hilal berharap Allah akan menurunkan ayat yang akan membebaskan dirinya dari hukuman karena dia merasa benar. Hilal berkata: “Demi Allah, Dzat yang mengutus engkau dengan haq, sesungguhnya aku benar dan mudah-mudahan Allah menurunkan sesuatu yang menghindarkanku dari hukum cambuk”. Maka turunlah Jibril AS membawa surat An-Nur 6-9 sebagai petunjuk bagaimana seharusnya menyelesaikan masalah seperti ini. Allah SWT berfirman:

 “Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la›nat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah, sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orangorang yang dusta. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orangorang yang benar.”(Q.S. AnNur 24: 6-9).

2. Fungsi Memahami Asbab al-Nuzul

 Adapun fungsi memahami asbab al-nuzul antara lain: Mengetahui hikmah dan rahasia diundangkannya suatu hukum dan perhatian syara‟ terhadap kepentingan umum, tanpa membedakan etnik, jenis kelamin dan agama. Jika dianalisa secara cermat, proses penetapan hukum berlangsung secara manusiawi, seperti penghapusan minuman keras, misalnya ayat-ayat al-Qur‟an turun dalam empat kali tahapan, yaitu:

Pertama

       “Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezki yang baik. Sesunggguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan...” (QS. An-Nahl/16: 67).

 Kedua

       “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”.(QS. Al-Baqarah/2: 219).

Ketiga

       “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.” (QS. An-Nisa‟/4: 43)

 Keempat

       “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah ter-masuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatanperbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. AlMa‟idah/5: 90).

       Pengetahuan asbab al-nuzul dapat mengkhususkan (takhsis) hukum terbatas pada sebab, terutama ulama yang menganut kaidah “sabab khusus”. Sebagai contoh, turunnya ayat-ayat Zhihar pada permulaan surat al-Mujadalah, yaitu dalam kasus Aus ibn al-Shamit yang menzhihar istrinya, Khaulah binti Hakam ibn Tsa‟labah. Hukum yang terkandung di dalam ayat-ayat ini khusus bagi keduanya dan tidak berlaku bagi orang lain. Yang paling penting ialah, asbab al-nuzul dapat membantu memahami apakah suatu ayat berlaku umum atau berlaku khusus, selanjutnya dalam hal apa ayat itu diperankan. Maksud yang sesungguhnya suatu ayat dapat difahami melalui pengenalan asbab al-nuzul.

                3. Cara-cara Mengetahui Asbab al-Nuzul

                 Asbab al-Nuzul diketahui melalui riwayat yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Tetapi tidak semua riwayat yang disandarkan kepadanya dapat dipegang atau diterima. Riwayat yang dapat dipegang ialah riwayat-riwayat yang memenuhi syarat-syarat tertentu sebagaimana ditetapkan para ahli hadits. Secara khusus dari riwayat asbab al-nuzul ialah riwayat dari orang yang terlibat dan mengalami peristiwa yang diriwayatkannya (yaitu pada saat wahyu itu diturunkan). Riwayat yang berasal dari tabi‟in yang tidak merujuk kepada Rasulullah dan para sahabatnya, dianggap lemah (dha‟if). Sebab itu, seseorang tidak dapat begitu saja menerima pendapat seorang penulis. Karena itu kita harus mempunyai pengetahuan tentang siapa yang meriwayatkan peristiwa tersebut, dan apakah waktu itu ia memang sunguh-sungguh menyaksikan dan kemudian siap yang menyampaikannya kepada kita.

                4. Jenis-jenis Asbab al-Nuzul

                 Mengenai jenis-jenis asbab al-nuzul dapat dikatagorikan kedalam beberapa bentuk sebagai berikut:

 a. Sebagai tanggapan atas suatu peristiwa umum. Bentuk sebab turunnya ayat sebagai tanggapan terhadap suatu peristiwa, misalnya riwayat Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah pernah ke Al-Bathha, dan ketika turun dari gunung beliau berseru: “Wahai para sahabat, berkumpullah”. Ketika melihat orang-orang Quraiys yang juga ikut mengelilingi, maka beliaupun bersabda: “Apakah engkau akan percaya, apabila aku katakan bahwa musuh tengah mengancam dari balik punggung gunung, dan mereka bersiap-siap menyerang, entah di pagi hari ataupun di petang hari”. Mereka menjawab: “Ya, kami percaya karena kami belum pernah mendapatkan engkau berdusta.” Maka, Rasulullah bersabda, “Ketahuilah, bahwa sesung-guhnya aku memberi peringatan kepada kalian tentang siksa yang sangat pedih.” Lalu Rasulullah mengajak mereka beriman kepada Allah. Maka berkatalah pamannya sendiri yang bernama Abu Lahab, “Celaka engkau wahai Muhammad, apakah hanya untuk urusan ini kamu mengumpulkan kami? Maka Allah kemudian menurunkan Surat al-Lahab sebagai jawaban: “Binasalah kedua tangan Abu Lahab. Dan sesung-guhnya Dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak Dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ada tali dari sabut...” (QS. Al-Lahab/111: 1-5).

 b. Sebagai tanggapan atas peristiwa khusus. Contoh sebab turunnya ayat sebagai tanggapan atas suatu peristiwa khusus ialah turunnya surat Al-Baqarah ayat 158, sebagaimana telah diuraikan terdahulu.

 c. Sebagai jawaban terhadap pertanyaan kepada Nabi. Asbab al-nuzul lainnya ada dalam bentuk pertanyaan kepada Rasulullah, seperti turunnya Firman Allah:

"Allah mensyari‟atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masing-nya seperenam dari harta yang ditinggalkan.” (QS. An-Nisa‟/4: 11).

 Ayat tersebut turun untuk memberi jawaban secara tuntas terhadap pertanyaan Jabir kepada Nabi, sebagaimana diriwayatkan Jabir: “Rasulullah datang bersama Abu Bakar, berjalan kaki mengunjungiku (kerena sakit) di perkampungan Bani Salamah. Rasulullah menemukanku dalam keadaan tidak sadar, sehingga beliau meminta agar disediakan air, kemudian berwudhu, dan memercikkan sebagian kepada tubuhku. Lalu aku sadar, dan berkata:”Ya Rasulullah ! Apakah yang Allah diperintahkan bagiku berkenaan dengan harta benda milikku ?” Maka turunlah ayat di atas sebagai jawaban.

d. Sebagai jawaban dari pertanyaan Nabi Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa Rasulullah bertanya kepada kepada Malaikat Jibril, “Apa yang menghalangi kehadiranmu, sehingga lebih jarang muncul ketimbang masa-masa sebelumnya ?” Maka turunlah ayat di bawah ini sebagai jawaban atas pertanyaan Nabi kepada Malaikat Jibril:

 “Dan tidaklah kami (Jibril) turun, kecuali dengan perintah Tuhanmu. Kepunyaan-Nya-lah apa-apa yang ada di hadapan kita, apa-apa yang ada di belakang kita dan apa-apa yang ada di antara keduanya, dan tidaklah Tuhanmu lupa.” (QS. Maryam/19: 64)

                5. Urgensi Mengetahui Asbabun Nuzul

                 Mengetahui asbabun nuzul sangat penting dalam memahami ayatayat Al-Qur‟an, terutama menyangkut masalah hukum. Tanpa mengetahui asbabun nuzul seorang mufassir dapat melakukan kekeliruan dalam menetapkan hukum. Misalnya dalam kasus arah kiblat. Salah satu ayat tentang arah Kiblat berbunyi:

 “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke manapun kamu menghadap (shalat) di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (Q.S. Al-Baqarah 2:115)

                Tanpa mengetahui sabab an-nuzûl ayat tersebut seseorang bisa saja langsung menyimpulkan bahwa shalat tidak harus menghadap kiblat. Bukankah dengan jelas ayat di atas menyebutkan boleh shalat menghadap ke mana saja karena Allah ada di mana-mana. Padahal ayat tersebut turun dilatarbelakangi oleh beberapa kasus di mana para sahabat tidak dapat menentukan arah kiblat. Misalnya kasus yang dialami oleh Jâbir dan rombongan sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn Mardawaih. Mari kita kutip keterangan Jâbir: “Kami telah diutus oleh Rasulullah SAW dalam satu pasukan kecil. Sedang kami berada di tengah perjalanan kegelapan mencekam kami, sehingga kami tidak mengetahui arah kiblat. Segolongan di antara kami berkata: “Kami telah mengetahui arah kiblat, yaitu ke sana, ke arah utara. Maka mereka shalat dan membuat garis di tanah. Tatkala hari subuh dan mataharipun terbit, garis itu mengarah ke arah yang bukan arah kiblat. Tatkala kami kembali dari perjalanan dan kami tanyakan kepada Rasulullah SAW tentang peristiwa itu, maka Nabi diam dan turunlah ayat: “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke manapun kamu menghadap (shalat) di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (Q.S. Al-Baqarah 2:115).

                6. Penulisan Al-Qur-an

                 Penulisan Al Qur'an di masa Rasulullah saw. Atas perintah Nabi saw., Al Qur'an ditulis oleh penulis-penulis wahyu di atas pelepah kurma, kulit binatang, tulang dan batu. Semuanya ditulis teratur seperti yang Allah wahyukan dan belum terhimpun dalam satu mushaf. Di samping itu ada sekitar 26 sampai 40 orang sahabat yang menulis sendiri beberapa juz dan surat yang mereka hafal dari Rasulullah saw, di samping ada shahabat yang secara khusus menulis Al-Qur-an. Penulisan Al Qur'an di masa Abu Bakar As Shiddiq yaitu berdasarkan anjuran Umar ra., Abu Bakar ra. memerintahkan kepada Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan ayat-ayat Al Qur'an dari para penulis wahyu menjadi satu mushaf. Pada masa Umar Al-Qur-an tidak diperbanyak, karena motif menghimpun Al-Qur-an waktu itu bukan untuk kepentingan orang-orang yang hendak menghafalnya, namun hanya untuk menjaga keutuhan dan kemurnian Al-Qur-an saja. Namun demikian pada masa ini Al-Qur-an tetap mendapat penjagaan dan perlindungan. Penulisan Al Qur'an di masa Usman bin 'Affan. Untuk pertama kali Al Qur'an ditulis dalam satu mushaf. Penulisan ini disesuaikan dengan tulisan aslinya yang terdapat pada Hafshah bt. Umar. (hasil usaha pengumpulan di masa Abu Bakar ra.). Dalam penulisan ini sangat diperhatikan sekali perbedaan bacaan (untuk menghindari perselisihan di antara umat). Usman ra. memberikan tanggung jawab penulisan ini kepada Zaid Bin Tsabit, Abdullah Bin Zubair, Sa'id bin 'Ash dan Abdur-Rahman bin Al Haris bin Hisyam. Mushaf tersebut ditulis tanpa titik dan baris. Hasil penulisan tersebut satu disimpan Usman ra. dan sisanya yang lain disebar keberbagai penjuru negara Islam.

                B. Qatha’i dan Zanny Dalam Al-Qur’an

                1. Latar Belakang Lahirnya Qat‟i dan Zanny

       Pengelompokan ayat al-quran atas Qath‟i dan Zanny sebenarnya bukan hasil kerja Rasulullah pada masanya atau pada masa sahabat. Keduanya telah dijelaskan merupakan objek kajian yang terlepas daru pembahasan ulama-ulama tafsir. Qath‟i dan Zanni ditemukan dalam pembahasan Ushul Fiqh. Pada masa Rasulullah saw, istilah Qath‟i dan Zanny boleh dikatakan belum ada, sebab untuk memahami maksud ayat yang benar selalu ditanyakan kepada Rasulullah, sehingga dalam memahami ayat-ayat Al-Quran, Rasul tidak ada menggariskan kedua istilah ini dalam ibterpretasi ayat. Nabi tidak pernah mematokkan dalam satu bidang, misalnya harus diterima dan diamalkan tanpa perlu interpretasi dan pengapresiasian Nash yang ada. Dan dibidang yang lain, rasul menyuruh mengadakan analisa ayat. Kesemunya tidak pernah dilakukan Nabi. Pembahasan Qath‟i dan Zanny dalam terma-terma al-Quran seiring dengan era tertutupnya pintu Ijtihad. Imam Al Ghazali (1058-1111 H) menjelaskan, ulama terdahulu era sebelum ditutup ointu Ijtihad, terlalu bebas mengapresiaksikan nass dengan Manuver ijtihadnya terhadap ketentuan-ketentuan yang Qath‟i, karenanya pintu Ijtihad yang semulanya terbuka lebar ditutup demi kelestarian Nash Al-Quran

                2. Konsep Qath‟i dan Zanny

      Dua terminologi ini sebenarnya merupakan hal yang lebih populer dalam pembahasan Ushul Fiqh daripada pembicaraan tafsir al-Quran melalui mediasinya ulum a-Quran. Qath‟i dan Zanny merupakan hal yang pelik ketika merumuskan topik ini beralaskan kelangkaan informasi yang lazimnya diutarakan pada ulum al-Quran. Akan tetapi biloa berpaling pada konteks usul Fiqh. Topik ini merupakan top term yang disoroti ulama usul. Beranjak dari pendekatan Ushuliyah dapat didekati dan dicari mengenai konsep Qath‟i dan Zanny dalam al-Quran. Wahbah al-Zuhaily dalam kitabnya menjelaskan batasan Qath‟i sebagai berikut:Nas Qath‟i itu adalah suatu lafaz yang dijumpai dalam alQuran, yang menunjukan atas suatu pemahaman makna yang padanya tidak diperlukan suatu interpretasi laim. Kemudian Abd al-Wahab al-Khallaf juga menjelaskan Qath‟i Dilalah adalah suatu lafaz yang menunjukkan makna tertentu akan pemahaman yang ditunjukinya, tidak dimungkinkan adanya interpretasi lain atau bentuk pemahaman lainnya. Dari dua buah definisi diatas, bahwa lafal Qath‟i adalah lafaz yang sudah pasti maknanya sebagaimana jyang dimaksudkan nass. Sebagai contoh bilangan rakaat salat adalam determinasi ayat-ayat yang Qath‟i, tidak dapat dicarikan alasan mengapa harus dua, tiga, empat atau bahkan kurang dari standarisasi Tuhan, inilah yang dinamakan dengan Qath‟iyyah al-Dilalah.

                C. Makki dan Mandani

                1. Pengertian Makki dan Madani Perkembangan dan dinamika turunnya wahyu mendapatkan respon yang sangat beragam, begitu pula peristilahan-peristilahan yang muncul dari kajian terhadap al-Qur'an. Mulai dari istilah ayat, surat, asbabun nuzul, waqaf, washal dan lain sebagainya. Yang tak kalah menarik mengenai istilah yang disebutkan dalam studi al-Qur'an adalah Makki dan Madani. Ada juga yang menyebut dengan istilah Makkiyah dan Madaniyyah Kata Makki dan Madani merupakan bagian dari terma yang ada dalam kajian al-Qur'an, yang dimaksudkan untuk memberikan nama jenis surat/ayat dalam al-Qur'an. Keduanya lahir dari dua nama kota besar yang ada di Jazirah Arab, yaitu Makah dan Madinah. Selanjutnya dinisbahkan dengan isim sifat, yang ditandai dengan alamat ya‟ nisbah, maka jadilah kata Makki dan Madani. Surat Makiyah ialah wahyu yang turun kepada Muhammad sebelum hijrah, meskipun surat itu tidak turun di Makah. Sedangkan Madaniyah ialah surat/ayat yang turun kepada rasulullah setelah hijrah, walaupun surat atau ayat itu turun di Makah. Seperti yang turun pada saat fathu Makkah (penaklukan kota Makah), waktu haji wada' (perpisahan) atau dalam perjalanannya. Sedangkan disebut ilmu Makki dan Madani, karena ia merupakan bagian dari disiplin ilmu-ilmu al-Qur‟an („ulum al-Qur'an) yang sudah berdiri sendiri dan sitematis (mudawam) sebagai salah satu dari cabangcabang ilmu lainnya. Ilmu ini mempunyai keunikan tersendiri, karena menerangkan dua fase (periode) penting turunnya ayat atau surat dalam al-Qur‟an, yakni fase Makah dan fase Madinah begitu pula sebaliknya

                2. Pemetaan Ulama‟ Tentang Perbedaan Makki dan Madani Persepsi berbeda yang muncul dalam kajian Makki dan Madani, pada akhirnya menjadikan perbedaan pandangan oleh kalangan ulama. Klasifikasi yang dilakukan oleh Manna‟ Al-Qatthan memberikan gambaran bahwa untuk membedakan Makki dengan Madani, para ulama mempunyai tiga macam pandangan yang masing-masing mempunyai dasar. Pandangan para ulama ini tentunya tetap berkiblat pada sebuah argumentasi yang disesuaikan dengan kondisi keilmuan yang ada dalam kajian al-Qur'an. Ketiga pandangan itu sebetulnya hampir sama dengan pandangan atau teori yang telah disebutkan diatas.

                D. Muhkam dan Mutasyabih

                 1. Pengertian Muhkam dan Mutasyabih Kata muhkam berasal dari Ihkam yang secara bahasa berarti kekukuhan, kesempurnaan, keseksamaan dan pencegahan. Semua pengertian ini pada dasranya kembali kepada makna pencegahan. Ahkam al-amr berarti ia menyempurnakan suatu haldan mencegahnya dari kerusakan, Ahkam al-faras berarti ia membuat kekang pada mulut kuda untuk mencegahnya dari goncangan.54 Kata Mutasyabih berasal dari kata Tasyabuh yang secara etimologi berarti kerepuaan dan kesamaan yang biasanya membawa kepada kesamaan antara dua hal yang masing-masing menyerupai yang lainnya.

                 2. perbedaan Ulama dalam Kategori Muhkam dan Mutasyabih Para Ulama banyak berbeda pendapat tentang pengertian muhkam dan mutasyabih. Terdapat dua puluh pendapat mengenai kedua hal ini. AlSuyuthi misalnya telah mengemukakan delapan belas definisi atau makna muhkam mutasyabih yang diberikan para ulama. Sedangkan al-Zarqani mengemukakan sebelas definisi . Adapun pendapat yang lazim dan andal (sahih sejak awal islam sampai pada masa sekarang kita ini adalah:

 a. Al-Zarqani mengemukakan definisi muhkam adalah ayat yang jelas artinya lagi nyata yang tidak mengandung kemungkinan nasakh. Mutasyabih adalah ayat yang tersembunyi maknanya, tidak diketahui maknanya baik secara aqli maupun naqli, dan ayat-ayat ini hanya Allah yang mengetahuinya, seperti datangnya hari kiamat dan hurufhuruf yang terputus diawal surat. Pendapat ini dinisbatkan kepada pemimpin-pemimpin mazhab Hanafi.

 b. Imam al-Razi berpendapat bahwa muhkam adalah ayat yang tunjukan maknanya kuat, yaitu lafal nash dan lafal zahir. Mutasyabih ialah ayat yang tunjukan maknanya ridak kuat, yaitu lafal Mujmal , muawwal, dan musykil. Pendapat ini dinisbatkan kepada imam alRazi dan banyak peneliti yang memilihnya.

c. As-Suyuthi dalam nukunya al-Itqan menyebutkan bahwa muhkam adalah ayat yang jelas dengan sendirinya. Sedangkan Mutasyabih adalah ayat yang penjelasannya membutuhkan ayat lain

                E. Kisah-Kisah Dalam Al-Qur’an

                  Gambaran umum kisah-kisah dalam al-Quran Kalangan umat Islam yakin bila kisah-kisah al-Quran mengandung nilai filosofis, khususnya sebagai i‟tibar dalam kehidupan. Meskipun demikian, perlu mendapat perhatian, apakah kebenaran kisah tersebut dapat diterima oleh setiap orang, khusunya para nonmuslim ? disamping itu dalam tatnan keilmuan hal ini perlu mendapat tanggapan serius, sebab tidak selamanya kisah dapat dibuktikan melalui data ilmiah.

                F. Keummian Nabi Muhammad saw dan Rahasia Autentisitas AlQuran

                 1. Makna-makna ummi dalam al-Quran Secara etimologi pengertian Ummi adaalah orang yang tidak bisa menulis dan berhitung, seperti sabda Nabi saw: Artinya: “kita adalah ummat yang Ummi, kita tidak tahu menulis dan berhitung”.74 Menurut Ibnu Abbas Ummi adalah orang yang tidak percaya kepada Ummu al-Kitab (Al-Quran), Abu Ubaidillah berkata Ummi itu adalah Ahl Al-Kitab (Yahudi dan Nasrani) yang tidak mengetahui al-Kitab (Al-Quran). Menurut Ikrimah dan Al-Dahhak mereka adalah orang Kristiani Arab. Menurut Aliy mereka adalah orang-orang Majusi. Sedangkan menurut al-Qurtubi mereka adalahsebagian orang-orang Yahudi dan orang-orang Munafik. Al-Zujaj berkata Ummi adalah sifat yang dinisbatkan kepada seseorang yang tidak bisa membaca dan menulis sepertika ketika ia baru dilahirkan oleh ibunya. Hal serupa juga ditegaskan oleh Abu Ishaq

                2. Kebenaran Al-Quran Sebagai kitab suci umat islam al-Quran mempunyai fungsi yang cukup banyak, diantaranya menjadi petunjuk bagi seluruh umat manusia dan menjadi bukti kebenaran kenabian Muhammad saw. Kebenaran al-Quran sebagai kalamullah lebih menyakinkan lagi ketika diketahui bahwa Nabi Muhammd saw adalah seorang yang ummi, beliau juga hidup dan bermunkim ditengah-tengah masyarakat padang pasir yang relatif bekum mengenal peradaban seperti halnya orang Mesir, Persia, Yunani dan Romawi. Selain hal-hal diatas paling tidak ada tiga aspek dari al-Quran yang dapat menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad saw sebagai Nabi sekaligus menjadi bukti bahwa seluruh informasi yang disampaikan alQuran adalah benar bersumber dari Allah swt

                G. Amtsal Al-Qur’an

                1. Pengertian Amtsal Al-Qur’an Pengertian Amtsal Al-Qur‟an adalah kalimat yang menununjukkan persamaan sehingga dikatakan, ini adalah sepertinya dan perumpamaanny Amtsal adalah jamak dari pada matsal, yakni sesuatu yang dibuat untuk dijadikan perumpamaan. Matsal juga menunjukkan sifat, dan berita, serta digunakan untuk menunjukkan keadaan dan kisah yang mengagungkan, maka ditafsirkan dengan makna yang demikian lafadz. Zamakhsyai sebagaimana yang dikutip mana‟ khatan telah mengisyaratkan ketiga arti ini dalam kitabnya al-Khasyaf matsal dipinjam (dipakai) untuk menunjukkan keadaan, sifat atau khisaf jika dianggap penting dan mempunyai keanehan.  Menurut Abu Ali sebagaimana yang dikutip Ibnu manzur bahwa pengertian matsal bearti sifat tidak di kenal dalam bahasa arab, akan tetapi maknanya yang hakiki adalah perumpamaannya.

                2. Bentuk-bentuk Amtsal dalam Al-Qur’an Amtsal di dalam al-qur‟an memiliki beberapa bentuk :

a. Amtsal zahir musharahah, yaitu yang di dalamnya dijelaskan dengan lafadh amtsal atau sesuatu yang menunjukkan tasbih

b. Amtsal Kaminah Amtsal kaminah adalah yang didalamnya tidak disebutkan dengan jelas lafaz tamsil tetapi dia menunjukkan makna-makna yang indah, menarik dan mempunyai pengaruh tersendiri bila di pindahkan kepada yang serupa dengannya. Masal-masal ini adalah yang menyerupai masal-masal arab ataupun non arab yang telah dikenal dimasa itu, contohnya “sebaik-baik urusan adalah pertengahan

                3. Tujuan dan Kegunaan Amtsal Untuk mengetahui dan mendalami amtsal dalam al-qur‟qn penting, agar menjadi renungan, peringatan, nasihat, motivasi, ancaman dan cerminan. Sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Rum, ayat 58 dan surat Al-Ankabut, ayat 43: “dan sesungguhnya telah kami buat dalam alQur‟an ini segala macam perumpamaan untuk manusia”. dan “ Dan perumpamaan-perumpamaan ini kami buatkan untuk manusia, dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu”.

                H. Nasikh dan Mansukh dalam Al-Qur’an

                 1. Pengerian Nasikh dan Mansukh  Nasikh dan Mansukh adalah dari sudut pendekatan bahasa Nasikh berarti menghilangkan sesuatu atau menyiadakannya. Pengertian ini sesuai dengan firman Allah SWT surat al-Hajj, ayat 52   : Tiada kamu utus sebelum engkau seorang Rasul dan Nabi, melainkan apabila dia bercipta-cipta (didalam hatinya), maka setan berusaha menghalangi cita-citanya itu, lalu Allah menghapuskan usaha setan itu, kemudian Allah menetapkan ayat-ayatnya Allah Maha mengetahui dan Maha bijaksana.

                2. Pendapat Ulama tentang Nasihk. Nasikh tidak terjadi kecuali dalam perintah dan larangan walaupun dengan lafaz khabar. Adapun khabar yang bukan bermakna permohonan makna tidak termasuk padanya nasikh Persoalan nasikh telah menjadi perbincangan hangat dikalangkan ummat Islam. Perbincangan tersebut telah terjadi beberapa pendapat ada yang mengakui adanya nasikh dan ada yang yang tidak. Sementara yang mengakui adanya nasikh berbeda pendapat tentang sejumlah hukum nasikh serta bagaimana pemakaiannya: Jumhur Ulama, Imam as-Syafi’I, Abu Muslim al-Asfahani

                I. Qasam dalam Al-Qur’an

                 1. Devinisi Qasam dalam al-Qur’an Qasam adalah sumpah atau yamin merupakan dua kata yang sinonim yang mampunya makna yang sama. Qasam merupakan ikatan jiwa untuk tidak melakukan sesuatu atau untuk melakukan sesuatu, dengan makna yang dipandang besar oleh orang yang bersumpah, baik secara hakikat maupun secara itikat. Kata “al-hilf” diartikan juga dengan sumpah, yaitu sumpah yang bertujuan untuk menghilangkan pertentangan atau bantahan. Sedangkan al yamin merupakan sumpah yang dilakukan dengan cara memegang tangan kanan temen bersumpah.

                2. Ungkapan Qasam dalam Al-Qur’an Ungkapan qasam dalam al-Qur‟an ada yang bersifat zahil dan ada pula yang bersifat mudmar (tersembunyi). Adapun yang bersifat zahir adalah ungkapan qasam yang diketahui berdasarkan pernyataan yang ada, seperti pada ungkapan qasam yang memenuhi unsur-unsurnya secara jelas, walaupun diantaranya ada yang fi‟il qasamnya dibuang atau di hilangkan dan diganti dengan “ba”, “ta”, atau “wau”. Sedangkan qasam al-Qur‟an yang sifatnya mudmar ialah ungkapan yang tidak di ketahui dengan mudah didalam pernyataannya ada qasam, kecuali dengan melihat lafaz lain. Untuk mengetahui qasam dalam ungkapan seperti ini adalah dengan memperhatikan bentuk :

 a. Menggunakan lam yang merupakan jawab qasam (muqsam alaihi.

b. Dengan memahami makna yang muncul pada suatu pernyataan.

                J. Israiliyat dalam Tafsir Al-Qur’an

                 1. Latar Belakang

      Pada masa Rasulullah masih hidup, keharmonisan nuansa kehidupan beragama sangat dirasakan segenap umat Islam, tidak banyak kesulitan yang merekan hadapi dalam memahami al-Qur‟an dan dalam memecahkan berbagai problematika keagamaan yang timbul pada saat itu. Hal ini disebabkan karena dapat langsung menanyakannya kepada Rasulullah, selanjutnya Rasulullah menjelaskan makna yang terkandung dalam ayat tersebut. Kondisi sedemikian itu segera berubah setelah wafatnya Rasulullah. Persoalan-persoalan yang serupa menjadi otoritas tanggung jawab sahabat, namun kehati-hatian Qur‟an dengan pendapatnya, diantaranya adalah Sa‟id ibn Musayyab, Sali bin Abdullah bin Umar, alQasim bin Abi Bakar, Nafi‟, al Asma‟i dan lain-lain.

                2. Timbulnya Israiliyat

       Jauh sebelum datangnya Islam telah akulturasi Yahudi terhadap budaya Arab Jahiliyah. Pertemuan kedua budaya ini menjadi pada tahun 70 M, dimana arus imigrasi besar-besaran yang dilakukan kaum Yahudi ke Jazirah Arabia dalam upaya menyelamatkan diri dari ancaman dan siksaan yang datang dari Titus

                K. Mukjizat Al-Qur’an

                Pengetian Mukjizat

       Kata mukjizat terrivasi dari kata a‟jaza‟jaza-i‟jaz yang memiliki arti membuat seseorang atau sesuatu menjadi lemah dan tidak berdaya apapun. Sedangkan menurut Hasan Dhiyauddin, kata mukjizat merupakan isim fa‟il (pelaku pekerjaan) yang berderivasi dari kata al‟ajzu yang berarti antonim dari mampu (al-qudrah), sehingga diartikan sebagai sesuatu yang melemahkan penentangnya ketika terdapat sebuah tantangan, dan huruf ha‟ pada kata mukjizat dalam bahasa arab diartikan mubalaghah (superlatif).111 Pada kamus Besar bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan mukjizat berarti periristiwa ajaib yang sukar dijangkau oleh kemampuan akal manusia

 

BAB IV
Sumber sumber tafsir

                A. Tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an

                Al-Ma‟thur berasal daripada perkataan asal ‟athara yang bererti sesuatu yang dinukilkan. Hadithal-Ma‟thur pula bererti berita yang dinukilkan (diriwayatkan) daripada abad ke abad. Athar bererti al-Hadith (berita) atau al-Sunnah (tradisi) yang ditinggalkan. Secara terminologi, al-Ma‟thur dalam istilah ilmu tafsir bererti sesuatu yang diberitakan, baik berasal daripada ayat al-Qur‟an, hadith Rasulullah s.a.w., mahupun pendapat para sahabat dan tabi„in, yang digunakan dalam menjelaskan maksud al-Qur‟an.  Maka al-Tafsir bi Al-Ma‟thur membawa maksud usaha memahami ayat-ayat al-Qur‟an dengan mencari keterangan-keterangan dan perincianperinciannya daripada ayat-ayat al-Qur‟an itu sendiri, daripada sunnah Rasulullah s.a.w, daripada ucapan (keterangan) para sahabat, dan daripada penjelasan para tabi„in. Namun begitu, para ulama berbeza pendapat tentang status penafsiran al-Qur‟an berdasarkan penjelasan para tabi„in. Sebahagian mereka menggolongkan jenis penafsiran seperti itu sebagai al-tafsir bi Al-Ma‟thur, namun sebahagian yang lain menggolongkannya sebagai al-tafsir al-Ra‟yi. Fawdah, al-Zarkashi, alFarmawi, dan beberapa ahli ilmu tafsir lain menegaskan bahawa sesungguhnya yang dinukilkan dari penjelasan para tabi„in adalah termasuk al-Tafsir biAl-Mathur.  Disamping itu, apabila dilihat daripada beberapa kitab al-Tafsir bi al-Ma‟thur seperti Kitab Jami„al-Bayan fi Tafsir Al-Qur‟an karya Ibn Jarir al-Tabari, dapat dilihat bahawa dalamnya tidak ada nukilan daripada Rasulullah atau sahabat, tetapi banyak mengandungi nukilan riwayat yang berasal daripada para tabi„in. Oleh

Diantara kitab al-Tafsir bi al-Ma‟thur yang terkenal adalah:

 1. Tafsir yang dinisbahkan kepada Ibn Abbas

2. Tafsir Ibn Uyaynah

 3. TafsirIbn Abi Hatim

 4. Tafsir Abu al-Shaykh Ibn Hibban

 5. TafsirIbn Atiyah al-Andalusi, al-Muharrar wa al-Wajiz fi Tafsir al-kitab al-„Aziz.

6. Tafsir Abu al-Laythal-Samarqandi, Bahr al-„Ulum

7. Tafsir Abu Ishaq al-Tha„labi, al-Kashfwa al-Bayan „an Tafsir alQur‟an

8. Tafsir Ibn Jarir al-Tabari, Jami„ al-Bayan fi Tafsir Al-Qur‟an.

9. Tafsir Ibn Abi Shaybah 10. Tafsir Muhammad Husayn al-Baghawi, Ma„alim al-Tanzil

11. Tafsir Abi al-Fida‟ al-Hafiz Ibn Katsir, tafsir al-Qur‟an al-„Azim

12. Tafsir„Abd al-Rahman al-Tha„labi, al-Jawir al-Hasan fi tafsir AlQur‟an

13. TafsirJalal al-Din al-Sayuti, al-Durr al-Manthur fi Tafsir bi alMa‟thur.

14. Tafsir al-Shawkani, Fath al-Qadir


                B. Sumber-sumber Tafsir al-Ma`thur

                 1. Tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an.

       Tafsir Al-Qur‟an dengan Al-Qur‟an bererti penafsiran sesuatu ayat dalam al-Qur‟an yang masih bersifat mujmal atau mutlak dengan menggunakan ayat lain yang lebih khusus dan terperinci sebagai tafsiran Penafsiran al-Qur‟an dengan al-Qur‟an mutlak diperlukan kerana sesuatu masalah yang disebutkan secara ringkas pada suatu ayat dapat ditemukan perinciannya pada ayat yang lain. Suatu ketentuan yang berbentuk global (mujmal) dalam sesuatu masalah biasanya dijelaskan dalam masalah yang lain. Sesuatu yang umum dalam suatu ayat, ditakhsiskan (dijadikan khusus dalam ayat yang lain). Dan sesuatu yang berbentuk mutlak disusuli dengan keterangan yang muqayyad (terbatas). Oleh kerana itu, seseorang mufassir dalam menafsirkan sesuatu ayat harus melihat kemungkinan adanya keterangan tentang ayat tersebut dalam ayat ayat yang lain.

                2. Tafsir Al-Qur’an dengan Al-Sunah

       Pentafsiran al-Qur‟an melalui al-sunnah. Maka penafsiran yang ditempuhi adalah dengan jalan mencari tafsirannya daripada hadith-hadith nabi Muhammad s.a.w. Cara penafsiran seperti ini sah dan boleh dilakukan kerana fungsi Rasulullah sendiri adalah sebagai penjelas bagi manusia

                3. Tafsir Al-Qur’an dengan Perkataan Para Sahabat

       Penafsiran al-Qur‟an jika tidak ditemui tafsirannya dalam alQur‟an ataupun al-Sunnah. Hal ini ditempuhi oleh para mufassir dengan menganggap para sahabat adalah orang-orang yang paling dekat dengan Rasulullah s.a.w. sehingga merekalah yang paling mengetahui isi kandungan al-Qur‟an setelah nabi. Mereka mendengar secara langsung bagaimana Rasulullah s.a.w. menjelaskan ayat-ayat al-Qur‟an yang mujmal. Mereka mengetahui secara tepat konteks, situasi dan keadaan saat sesuatu ayat al-Qur‟an diturunkan. Mereka adalah para perintis dan pelopor pertama yang mendapat asuhan dan pendidikan secara langsung daripada Rasulullah s.a.w.126 Maka perkataan mereka dijadikan pedoman dalam mentafsirkan suatu ayat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Resensi Buku ‘Ulum Al-Quran (Memahami Otentifikasi Al-Qur'an)

  Resensi Buku ‘Ulum Al-Quran (Memahami Otentifikasi Al-Quran) Oleh Kelompok 10 kelas PAI IB: Annisa Septiani            (210414035) ...