Resensi Buku Ulum Al-Qur’an Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag
Oleh Kelompok 8 kelas PAI IB
Abdurrojaq Muttaqin (210414017)
Faizal Nursahid (210414045)
Hilwa Ulwiyyah (210414052)
IDENTITAS BUKU
Judul : ULUM
AL-QUR’AN
Penulis : Prof.
Dr. Rosihon Anwar, M.Ag.
Penerbit : CV
PUSTAKA SETIA
Tahun Terbit : Maret 2012
Jumlah Halaman : 234
Halaman
ISI BUKU
Ulum Al-Qur’an
Ungkapan
“UlumAl-Qur’an” berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata, yaitu “Ulum” dan “Al-Qur’an”. Kata “Ulum” merupakan
bentuk jamak dari kata “Ilmu”. Ilmu yang dimaksud disini, sebagaimana
didefinisikan Abu Syahbah adalah sejumlah materi pembahasan yang dibatasi
kesatuan tema atau tujuan, sedangkan Al-Qur’an, sebagaimana didefinisikan ulama
ushul, ulama fiqh, dan ulama bahasa, adalah “Kalam Allah yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad yang lafazh-lafazhnya mengandung mukjizat, membacanya mempunyai
nilai ibadah, yang diturunkan secara mutawatir, dan yang ditulis pada
mushaf , mulai dari awal surat Al-Fatihah sampai akhir surat An-Nas. Dengan
demikian, secara bahasa, Ulum Al-Qur’an adalah ilmu (pembahasan-pembahasan)
yang berkaitan dengan Al-Qur’an. Mengingat banyaknya ilmu yang ada kaitan
dengan pembahasan Al-Qur’an,ruang lingkup pembahasan Ulum Al-Qur’an itu
jumlahnya sangat banyak. Bahkan, menurut Abu Bakar Al-‘Arabi, ilmu-ilmu
Al-Qur’an itu mencapai 77.450. Hitungan ini diperoleh dari hasil perkalian
jumlah kalimat Al-Qur’an dengan empat, karena masing-masing kalimat mempunyai
makna zahir, batin, had, dan mathla’.
Jumlah
itu akan semakin bertambah jika melihat urutan kalimat di dalam Al-Qur’an serta
hubungan antar urutan itu. Jika sisi itu yang dilihat, ruang lingkup pembahasan
Ulum Al-Qur’an tidak akan dapat dihitung (tak terhingga) lagi. Di antara
cabang-cabang (pokok bahasan) ‘Ulum Al-Qur’an adalah sebagai berikut : Ilmu
Adab Tilawat Al-Qur’an, Ilmu Tajwid, Ilmu Mawathin An-Nuzul, Ilmu
Tawarikh An-Nuzul, Ilmu Asbab An-Nuzul, Ilmu Qira’at, Ilmu Gharib Al-Qur’an,
Ilmu I’rab Al-Qur’an, Ilmu Wujuh wa An-Nazha’ir, Ilmu Ma’rifat Al-Muhkam wa
Al-Mutasyabih, Ilmu Nasikh wa Al-Mansukh, Ilmu Badai’u Al-Qur’an, Ilmu I’jaz
Al-Qur’an, Ilmu Tanasub Ayat Al-Qur’an, Ilmu Aqsam Al-Qur’an, Ilmu Amtsal
Al-Qur’an, dan Ilmu Jadal Al-Qur’an. Pada fase sebelum kodifikasi, ‘Ulum Al-Qur’an
kurang lebih sudah merupakan benih yang kemunculannya sangat dirasakan semenjak
Nabi masih ada. Hal itu ditandai dengan kegairahan para sahabat untuk
mempelajari Al-Qur’an dengan sungguh-sungguh. Terlebih lagi, di antara mereka
sebagaimana diceritakan oleh Abu Abdurrahman As-Sulami, ada kebiasaan untuk
tidak berpindah kepada ayat lain, sebelum benar-benar dapat memahami dan
mengamalkan ayat yang sedang dipelajarinya. Mereka mempelajari sekaligus
mengamalkan ayat yang sedang dipelajarinya.
Tampaknya, itulah sebabnya mengapa
Ibn ‘Umar memerlukan waktu delapan tahun hanya untuk menghapal surat
Al-Baqarah.
Para
ulama telah berbeda pendapat di dalam menjelaskan kata Al-Qur’an dari sisi :
derivasi (istytiqaq), cara melafalkan (apakah memakai hamzah atau tidak), dan
apakah ia merupakan kata sifat atau kata jadian. Para ulama yang mengatakan
bahwa cara melafalkannya menggunakan hamzah pun telah terpacah menjadi dua
pendapat. Al-Qur’an diturunkan dalam tempo 22 tahun 2 bulan 22 hari, yaitu
mulai malam 17 Ramadhan tahun 41 dari kelahiran Nabi, sampai 9 Dzulhijjah Haji
Wada’ tahun 63 dari kelahiran Nabi atau tahun 10 H.
Proses turunnya Al-Qur’an kepada
Nabi Muhammad SAW. Adalah melalui tiga
tahapan, yaitu: Pertama, Al-Qur’an turun secara sekaligus dari Allah ke
lauh al-mahfuzh, yaitu suatu tempat yang
merupakan catatan tentang segala ketentuan dan kepastian Allah.
Kedua, Al-Qur’an diturunkan dari lauh al-mahfuzh itu ke bait al-izzah
(tempat yang berada di langit dunia.
Ketiga, Al-Qur’an diturunkan dari bait al-izzah ke dalam hati Nabi dengan
jalan berangsur-angsur sesuai dengan kebutuhan.
Di
kalangan ulama, terminologi pengumpulan Al-Qur’an (Jam’ Al-Qur’an)
memiliki dua konotasi: Konotasi penghapalan Al-Qur’an dan konotasi penulisannya
secara keseluruhan.
Rasm
Al-Qur’an adalah tata cara menuliskan Al-Qur’an yang ditetapkan pada masa
khalifah ‘Utsman bin ‘Affan. Istilah yang terakhir lahir bersamaan dengan
lahirnya mushaf Utsman, yaitu mushaf yang ditulis panitia empat yang terdiri
dari Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Al-‘Ash, dan ‘Abdurrahman
bin Al-Harits. Mushaf Utsman ditulis dengan kaidah-kaidah tertentu. Para ulama
meringkas kaidah-kaidah itu menjadi enam istilah, yaitu: Al-Hadzf, Al-Jiyadah,
Al-Hamzah, Badal, Washal dan Fashl, dan Kata yang
Dapat Dibaca Dua Bunyi.
Al-Qur’an
bukanlah merupakan sebuah “buku” dalam pengertian umum, karena ia tidak pernah
diformulasikan, tetapi diwahyukan secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad
SAW. Sejauh situasi-situasi menuntutnya. Al-Qur’an pun sangat menyadari
kenyataan ini sebagai suatu yang akan menimbulkan keusilan di kalangan
pembantahannya (Q.S. Al-Furqan [25]: 32). Seperti yang diyakini sampai sekarang,
pewahyuan Al-Qur’an secara total dalam sekali waktu secara sekaligus adalah
sesuatu yang tidak mungkin, karena pada kenyataannya Al-Qur’an diturunkan
sebagai petunjuk bagi kaum muslimin secara berangsur-angsur sesuai dengan
kebutuhan-kebutuhan yang timbul. Sebagian tugas untuk memahami pesan Al-Qur’an
sebagai suatu kesatuan adalah mempelajarinya dalam konteks latar belakangnya.
Latar belakang yang paling dekat adalah kegiatan perjuangan Nabi yang
berlangsung selama 23 tahun dibawah bimbingan Al-Qur’an. Terhadap perjuangan
Nabi yang secara keseluruhan sudah terpapar dalam sunnahnya, kita perlu
memahaminya dalam konteks perspektif melieu Arab pada masa awal penyebaran
Islam, karena aktivitas Nabi berada di dalamnya.
Ungkapan
asbab An-Nuzul merupakan bentuk idhafah dari kata “asbab” dan “nuzul”. Secara
etimologi, asbab An-Nuzul adalah sebab-sebab yang melatar belakangi terjadinya
sesuatu. Meskipun segala fenomena melatar belakangi terjadinya sesuatu bisa
disebut asbab An-Nuzul, namun pemakaian ungkapan asbab An-Nuzul khusus
dipergunakan menyatakan sebab-sebab yang
melatar belakangi turunnya Al-Qur’an, seperti halnya asbab wurud yang secara
khusus digunakan bagi sebab-sebab hadits.
Az-Zarqani
dan As-Suyuthi mensinyalir adanya kalangan yang berpendapat bahwa mengetahui
asbab An-Nuzul merupakan hal yang sia-sia dalam memahami Al-Qur’an. Mereka
beranggapan bahwa mencoba memahami Al-Qur’an dengan meletakkan ke dalam konteks
historis adalah sama dengan membatasi pesan-pesannya pada ruang dan waktu
tertentu. Namun, keberatan seperti ini tidak berdasar, karena tidak mungkin
menguniversal pesan Al-Qur’an makna dan tempat pewahyuan, kecuali melalui
pemahaman yang semestinya terhadap makna Al-Qur’an dalam konteks
kesejarahannya.
Sementara
itu, mayoritas ulama sepakat bahwa konteks kesejahteraannya terakumulasi dalam
riwayat-riwayat asbab An-Nuzul merupakan satu hal yang signifikan untuk
memahami pesan-pesan Al-Qur’an.
Judul-judul
dari semua surat Al-Qur’an mengisyaratkan adanya notasi apakah surat itu
diwahyukan pada masa Mekkah atau Madinah. Meskipun pemisahan historis ini
sering dikaitkan dengan perbedaan sifat Nabi dan karakter muslim dikedua tempat
itu, ia juga mengandung perinsip vital untuk memahami kronologi revelasi
(pewahyuan) Al-Qur’an. Sayang sekali, komunitas muslim telah mencabut kembali
tugas untuk merumuskan kronologi Al-Qur’an secara utuh. Sebab, barangkali usaha
kearah itu dianggap berbahaya karna bisa-bisa wahyu yang abadi ini, jika diurai
menurut terma-terma temporal akan mengubah apa yang telah diurutkan Nabi dan
komunitas muslim awal.
Bagi
sarjana muslim modern, seperti Fazlur Rahman, Al-Qur’an hanya bisa dipahami
dengan tepat dengan benar jika dilakukan dalam kerangka (frameword) kronologis.
Ia mengatakan bahwa pemahaman mengenai quranic sitzim leben atau framework
kronologi Al-Qur’an tidak bisa dielakkan. Meskipun tentu saja terdapat
usaha-usaha kaum muslimin awal untuk mendalami suatu kronologis surat-surat
Al-Qur’an secara menyeluruh, sub-disiplin dari studi-studi kronologi Al-Qur’an,
pada dasarnya adalah produk kesarjanaan modern, (terutama) Barat.
Para
sarjana muslim mengemukakan empat perspektif dalam mendefinisikan terminology
Makiyyah dan Madaniyyah. Keempat perspektif itu adalah: Masa turun (zaman
an-nuzul), tempat turun (makan an-nuzul), objek pembicaraan (mukhathab)
dan tema pembicaraan (maudu). Dalam menetapkan mana ayat-ayat Al-Qur’an
yang termasuk kategori Makiyyah dan Madaniyyah, para sarjana muslim berpegang
teguh pada dua perangkat pendekatan, yaitu; 1. Pendekatan Transmisi
(Periwayatan) dan 2. Pendekatan Analogi (Qiyas). Salah satu
persoalan ‘Ulum Al-Qur’an yang masih diperdebatkan sampai sekarang adalah
kategorisasi muhkam-mutasyabih. Telaah dan perdebatan seputar masalah
ini telah banyak mengisi lembaran khazanah keilmuan Islam, terutama menyangkut
penafsiran Al-Qur’an. Perdebatan itu tidak saja melibatkan sarjana-sarjana
muslim karena sarjana-sarjana Barat pun ikut mewarnainya.
Diantara
sarjana muslim yang cukup intens membicarakan persoalan muhkam-mutasyabih
adalah ‘Ali bin Hamzah Al-Kisa’i (wafat antara tahun 179 H. dan 192 H). sarjana
muslim yang terkenal sebagai pakar qira’ah ini memiliki Qur’an. Karya ini
dianggap penting karena berupaya menghimpun teks-teks Al-Qur’an yang masuk ke
dalam kategori mutasyabih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar