Senin, 20 Desember 2021

Resensi Buku Ulum Al-Qur’an Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag

Resensi Buku Ulum Al-Qur’an Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag

Oleh Kelompok 8 kelas PAI IB

Abdurrojaq Muttaqin  (210414017)

Faizal Nursahid           (210414045)

Hilwa Ulwiyyah          (210414052)

 


IDENTITAS BUKU

Judul : ULUM AL-QUR’AN

Penulis : Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag.

Penerbit : CV PUSTAKA SETIA

Tahun Terbit : Maret 2012

Jumlah Halaman : 234 Halaman

 


ISI BUKU

Ulum Al-Qur’an

            Ungkapan “UlumAl-Qur’an” berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata, yaitu  “Ulum” dan “Al-Qur’an”. Kata “Ulum” merupakan bentuk jamak dari kata “Ilmu”. Ilmu yang dimaksud disini, sebagaimana didefinisikan Abu Syahbah adalah sejumlah materi pembahasan yang dibatasi kesatuan tema atau tujuan, sedangkan Al-Qur’an, sebagaimana didefinisikan ulama ushul, ulama fiqh, dan ulama bahasa, adalah “Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad yang lafazh-lafazhnya mengandung mukjizat, membacanya mempunyai nilai ibadah, yang diturunkan secara mutawatir, dan yang ditulis pada mushaf , mulai dari awal surat Al-Fatihah sampai akhir surat An-Nas. Dengan demikian, secara bahasa, Ulum Al-Qur’an adalah ilmu (pembahasan-pembahasan) yang berkaitan dengan Al-Qur’an. Mengingat banyaknya ilmu yang ada kaitan dengan pembahasan Al-Qur’an,ruang lingkup pembahasan Ulum Al-Qur’an itu jumlahnya sangat banyak. Bahkan, menurut Abu Bakar Al-‘Arabi, ilmu-ilmu Al-Qur’an itu mencapai 77.450. Hitungan ini diperoleh dari hasil perkalian jumlah kalimat Al-Qur’an dengan empat, karena masing-masing kalimat mempunyai makna zahir, batin, had, dan mathla’.

            Jumlah itu akan semakin bertambah jika melihat urutan kalimat di dalam Al-Qur’an serta hubungan antar urutan itu. Jika sisi itu yang dilihat, ruang lingkup pembahasan Ulum Al-Qur’an tidak akan dapat dihitung (tak terhingga) lagi. Di antara cabang-cabang (pokok bahasan) ‘Ulum Al-Qur’an adalah sebagai berikut : Ilmu Adab Tilawat Al-Qur’an, Ilmu Tajwid, Ilmu Mawathin An-Nuzul, Ilmu Tawarikh An-Nuzul, Ilmu Asbab An-Nuzul, Ilmu Qira’at, Ilmu Gharib Al-Qur’an, Ilmu I’rab Al-Qur’an, Ilmu Wujuh wa An-Nazha’ir, Ilmu Ma’rifat Al-Muhkam wa Al-Mutasyabih, Ilmu Nasikh wa Al-Mansukh, Ilmu Badai’u Al-Qur’an, Ilmu I’jaz Al-Qur’an, Ilmu Tanasub Ayat Al-Qur’an, Ilmu Aqsam Al-Qur’an, Ilmu Amtsal Al-Qur’an, dan Ilmu Jadal Al-Qur’an. Pada fase sebelum kodifikasi, ‘Ulum Al-Qur’an kurang lebih sudah merupakan benih yang kemunculannya sangat dirasakan semenjak Nabi masih ada. Hal itu ditandai dengan kegairahan para sahabat untuk mempelajari Al-Qur’an dengan sungguh-sungguh. Terlebih lagi, di antara mereka sebagaimana diceritakan oleh Abu Abdurrahman As-Sulami, ada kebiasaan untuk tidak berpindah kepada ayat lain, sebelum benar-benar dapat memahami dan mengamalkan ayat yang sedang dipelajarinya. Mereka mempelajari sekaligus mengamalkan ayat yang sedang dipelajarinya.

Tampaknya, itulah sebabnya mengapa Ibn ‘Umar memerlukan waktu delapan tahun hanya untuk menghapal surat Al-Baqarah.

            Para ulama telah berbeda pendapat di dalam menjelaskan kata Al-Qur’an dari sisi : derivasi (istytiqaq), cara melafalkan (apakah memakai hamzah atau tidak), dan apakah ia merupakan kata sifat atau kata jadian. Para ulama yang mengatakan bahwa cara melafalkannya menggunakan hamzah pun telah terpacah menjadi dua pendapat. Al-Qur’an diturunkan dalam tempo 22 tahun 2 bulan 22 hari, yaitu mulai malam 17 Ramadhan tahun 41 dari kelahiran Nabi, sampai 9 Dzulhijjah Haji Wada’ tahun 63 dari kelahiran Nabi atau tahun 10 H.

Proses turunnya Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW. Adalah melalui  tiga tahapan, yaitu: Pertama, Al-Qur’an turun secara sekaligus dari Allah ke lauh al-mahfuzh, yaitu suatu  tempat yang merupakan catatan tentang segala ketentuan dan kepastian Allah.

Kedua, Al-Qur’an diturunkan dari lauh al-mahfuzh itu ke bait al-izzah (tempat yang berada di langit dunia.

Ketiga, Al-Qur’an diturunkan dari bait al-izzah ke dalam hati Nabi dengan jalan berangsur-angsur sesuai dengan kebutuhan.

            Di kalangan ulama, terminologi pengumpulan Al-Qur’an (Jam’ Al-Qur’an) memiliki dua konotasi: Konotasi penghapalan Al-Qur’an dan konotasi penulisannya secara keseluruhan.

            Rasm Al-Qur’an adalah tata cara menuliskan Al-Qur’an yang ditetapkan pada masa khalifah ‘Utsman bin ‘Affan. Istilah yang terakhir lahir bersamaan dengan lahirnya mushaf Utsman, yaitu mushaf yang ditulis panitia empat yang terdiri dari Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Al-‘Ash, dan ‘Abdurrahman bin Al-Harits. Mushaf Utsman ditulis dengan kaidah-kaidah tertentu. Para ulama meringkas kaidah-kaidah itu menjadi enam istilah, yaitu: Al-Hadzf, Al-Jiyadah, Al-Hamzah, Badal, Washal dan Fashl, dan Kata yang Dapat Dibaca Dua Bunyi.

            Al-Qur’an bukanlah merupakan sebuah “buku” dalam pengertian umum, karena ia tidak pernah diformulasikan, tetapi diwahyukan secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad SAW. Sejauh situasi-situasi menuntutnya. Al-Qur’an pun sangat menyadari kenyataan ini sebagai suatu yang akan menimbulkan keusilan di kalangan pembantahannya (Q.S. Al-Furqan [25]: 32). Seperti yang diyakini sampai sekarang, pewahyuan Al-Qur’an secara total dalam sekali waktu secara sekaligus adalah sesuatu yang tidak mungkin, karena pada kenyataannya Al-Qur’an diturunkan sebagai petunjuk bagi kaum muslimin secara berangsur-angsur sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan yang timbul. Sebagian tugas untuk memahami pesan Al-Qur’an sebagai suatu kesatuan adalah mempelajarinya dalam konteks latar belakangnya. Latar belakang yang paling dekat adalah kegiatan perjuangan Nabi yang berlangsung selama 23 tahun dibawah bimbingan Al-Qur’an. Terhadap perjuangan Nabi yang secara keseluruhan sudah terpapar dalam sunnahnya, kita perlu memahaminya dalam konteks perspektif melieu Arab pada masa awal penyebaran Islam, karena aktivitas Nabi berada di dalamnya.

            Ungkapan asbab An-Nuzul merupakan bentuk idhafah dari kata “asbab” dan “nuzul”. Secara etimologi, asbab An-Nuzul adalah sebab-sebab yang melatar belakangi terjadinya sesuatu. Meskipun segala fenomena melatar belakangi terjadinya sesuatu bisa disebut asbab An-Nuzul, namun pemakaian ungkapan asbab An-Nuzul khusus dipergunakan menyatakan   sebab-sebab yang melatar belakangi turunnya Al-Qur’an, seperti halnya asbab wurud yang secara khusus digunakan bagi sebab-sebab hadits.

            Az-Zarqani dan As-Suyuthi mensinyalir adanya kalangan yang berpendapat bahwa mengetahui asbab An-Nuzul merupakan hal yang sia-sia dalam memahami Al-Qur’an. Mereka beranggapan bahwa mencoba memahami Al-Qur’an dengan meletakkan ke dalam konteks historis adalah sama dengan membatasi pesan-pesannya pada ruang dan waktu tertentu. Namun, keberatan seperti ini tidak berdasar, karena tidak mungkin menguniversal pesan Al-Qur’an makna dan tempat pewahyuan, kecuali melalui pemahaman yang semestinya terhadap makna Al-Qur’an dalam konteks kesejarahannya.

            Sementara itu, mayoritas ulama sepakat bahwa konteks kesejahteraannya terakumulasi dalam riwayat-riwayat asbab An-Nuzul merupakan satu hal yang signifikan untuk memahami pesan-pesan Al-Qur’an.

            Judul-judul dari semua surat Al-Qur’an mengisyaratkan adanya notasi apakah surat itu diwahyukan pada masa Mekkah atau Madinah. Meskipun pemisahan historis ini sering dikaitkan dengan perbedaan sifat Nabi dan karakter muslim dikedua tempat itu, ia juga mengandung perinsip vital untuk memahami kronologi revelasi (pewahyuan) Al-Qur’an. Sayang sekali, komunitas muslim telah mencabut kembali tugas untuk merumuskan kronologi Al-Qur’an secara utuh. Sebab, barangkali usaha kearah itu dianggap berbahaya karna bisa-bisa wahyu yang abadi ini, jika diurai menurut terma-terma temporal akan mengubah apa yang telah diurutkan Nabi dan komunitas muslim awal.

            Bagi sarjana muslim modern, seperti Fazlur Rahman, Al-Qur’an hanya bisa dipahami dengan tepat dengan benar jika dilakukan dalam kerangka (frameword) kronologis. Ia mengatakan bahwa pemahaman mengenai quranic sitzim leben atau framework kronologi Al-Qur’an tidak bisa dielakkan. Meskipun tentu saja terdapat usaha-usaha kaum muslimin awal untuk mendalami suatu kronologis surat-surat Al-Qur’an secara menyeluruh, sub-disiplin dari studi-studi kronologi Al-Qur’an, pada dasarnya adalah produk kesarjanaan modern, (terutama) Barat.

            Para sarjana muslim mengemukakan empat perspektif dalam mendefinisikan terminology Makiyyah dan Madaniyyah. Keempat perspektif itu adalah: Masa turun (zaman an-nuzul), tempat turun (makan an-nuzul), objek pembicaraan (mukhathab) dan tema pembicaraan (maudu). Dalam menetapkan mana ayat-ayat Al-Qur’an yang termasuk kategori Makiyyah dan Madaniyyah, para sarjana muslim berpegang teguh pada dua perangkat pendekatan, yaitu; 1. Pendekatan Transmisi (Periwayatan) dan 2. Pendekatan Analogi (Qiyas). Salah satu persoalan ‘Ulum Al-Qur’an yang masih diperdebatkan sampai sekarang adalah kategorisasi muhkam-mutasyabih. Telaah dan perdebatan seputar masalah ini telah banyak mengisi lembaran khazanah keilmuan Islam, terutama menyangkut penafsiran Al-Qur’an. Perdebatan itu tidak saja melibatkan sarjana-sarjana muslim karena sarjana-sarjana Barat pun ikut mewarnainya.

            Diantara sarjana muslim yang cukup intens membicarakan persoalan muhkam-mutasyabih adalah ‘Ali bin Hamzah Al-Kisa’i (wafat antara tahun 179 H. dan 192 H). sarjana muslim yang terkenal sebagai pakar qira’ah ini memiliki Qur’an. Karya ini dianggap penting karena berupaya menghimpun teks-teks Al-Qur’an yang masuk ke dalam kategori mutasyabih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Resensi Buku ‘Ulum Al-Quran (Memahami Otentifikasi Al-Qur'an)

  Resensi Buku ‘Ulum Al-Quran (Memahami Otentifikasi Al-Quran) Oleh Kelompok 10 kelas PAI IB: Annisa Septiani            (210414035) ...