Senin, 20 Desember 2021

Resensi Buku Mutiara Tafsir Al-Qur’an

 

Resensi Buku Mutiara Tafsir Al-Qur’an

Disusun oleh Kelompok 11 kelas PAI 1B:

Agung Gumilar RM (210414019)

Azmi Asyfia             (210414039)

 

IDENTITAS BUKU :

Ø  Judul Buku                  : MUTIARA TAFSIR AL-QUR’AN

Ø  Penulis                        : Nashruddin Syarief

Ø  Penerbit                       : TSAQIFA publishing

Ø  Cetakan                       : Cetakan I

Ø  Tahun Terbit               : 5 Juli 2018

Ø  Tebal Halaman            : xvi + 284 Halaman

Ø  ISBN                           : 978-602-70500-3-7

       

     Buku Mutiara Tafsir Al-Qur’an Adalah buku tafsir inovatif yang di tulis oleh Nashruddin syarief dan di terbitkan di TSAQIFA publishing pada 5 Juli 2018. Buku Mutiara Tafsir Al-Qur’an ini menyajikan kajian tafsir dengan pendekatan. Dan dalam buku ini ayat ayat yang sudah jelas makna nya tidak akan di kutip penjelasan dari para ulamanya. Sementara itu untuk sebagian besar ayat ayat yang di bahas mengutip penjelasan dari para ulama ahli bahasa Al-Qur’an dan para ulama ahli tafsir. Buku ini lebih mendahulukan ayat ayat pilihan layak untuk di ingat sebagai penggugah jiwa, karna cukup banyak ayat ayat dalam buku ini yang terkait dinamika kehidupan masyarakat sebagai jawaban atas problematikanya menurut arahan Al-Qur’an. Pada kesempatan tugas resensi buku ini kami mungkin hanya akan memaparkan beberapa Bab yang mungkin menarik untuk di bahas. Karna dalam buku tafsir ini lebih condong   Kepada sebuah pemahaman maupun konflik yang akan di tafsirkan dan bisa diterapkan pada kehidupan dinamika masyarakat. Kami memulai pembahasan ini di mulia dari Bab 1 yang bertemakan :

Dimulai Dengan Basmalah

Basmalah adalah bacaan dari Bismillah yang arti nya dengen nama Allah. Ucapan ini menunjukan bahwa nama yang pokok untuk Rabbul-‘alamin adalah “ Allah “. Ada dua pendapat terkait asal kata “ Allah “ ini : Pertama, Allah adalah isim Jamid ( tidak ada asal usul kata nya ), yang mesti tetap di baca dengan Tafkhim ( Alloh dengan huruf ‘O’ ) dan tidak menghilangkan Alif Lam nya, termasuk ketika mengucapkan Ya Allah ( aturan berlaku umum dalam tata bahasa arab). Maka dari itu dalam ilmu tajwid lafadz ini di sebut Lafadz Jalalah. Kedua, Allah adalah isim Musytaq yang berasal dari kata Ilah, ta’Alluh, yang arti nya tunduk, ibadah, merintih, dan mengikuti. Ketika menjadi nama Allah maka maksud nya adalah satu satunya yang layak di ibadahi dan di ikuti. Persoalan “ Nama Tuhan “ ini bagi agama agama lain sangat bermasalah. Untuk agama budaya, mereka jelas menghadapi masalah ketika harus memutuskan siapa sebenar nya nama tuhan mereka, sehingga kemudian mereka pun menentukan nya sendiri. Untuk agama yang pernah mengenal wahyu ( Yahudi, Kristen ), demikian juga bermasalah di karnakan mereka tidak memiliki riwayat Qira’ah ( Bacaan ) harus seperti apa menyebut nama tuhan mereka.

Kembali kepada Bismillah. Bismillah merupakan penegasan bahwa Tuhan satu satu nya yang benar adalah Allah SWT, tidak ada Tuhan selain Dia. Sebab Hanya Allah SWT lah yang menjelaskan Langsung siapa nama-Nya, siapa diri-Nya, dan bagai mana sifat sifat-Nya. Sehingga menjadi petunjuk yang jelas bahwa agama dan tuhan selain Allah SWT itu hanyalah rekaan manusia sendiri. Dengan demikian Basmalah ini merupakan titik awal dari semua aktifitas muslim. Sehingga pada hakikat nya Basmalah ini adalah spirit dalam setiap aktifitas tersebut. Dengan nama Allah setiap muslim meyakinkan dirinya bahwa dia beramal untuk Allah SWT, satu satu nya tuhan yang layak di sembah dan di harapkan anugrah nya. Dengan nama Allah setiap muslim meyakini diri nya bahwa dia bekerja demi Allah, demi mengharap rizki-Nya, dan pahala surgawi-Nya, bukan untuk kesenangan duniawi semata yang seringkali harus dengan mengorbankan Akhirat dan menghalalkan yang haram. Dengan nama Allah juga setiap muslim meyakinkan diri nya bahwa dia bekerja untuk mengharapkan keridhoan Allah SWT, ketakutan yang ada pada diri nya pun hanya takut kepada Allah SWT, takut jika kerja nya tidak di terima oleh Allah SWT karna tidak berkualitas. Niat mulia seperti ini akan mengawali aktifitas seorang muslim yang senantiasa memulainya dengan Basmalah.

 

Semua Milik Allah SWT

            Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi ”

( QS. Al-Baqarah :284 )

            Ayat di atas setidanya diulang ulang di 16 tempat dalam Al-Qur’an. Semua ayat tersebut menegaskan bahwa apa yang ada di alam semesta ini adalah milik Allah SWT, tidak ada satupun yang dimiliki oleh selain Nya, termasuk manusia. Bahkan tubuh dan harta milik manusia pun, pemilik nya bukan manusia, melainkan Allah SWT. Semua hak milik yang di miliki oleh manusia, itu hanya pola Istikhlaf saja; pinjaman, titipan, atau hak guna pakai yang Allah titipkan, sebab di saat manusia meninggal, hak milik nya kembali kepada Allah SWT. Kesalan terbesar manusia yang enggan atau malas berinfaq di jalan Allah SWT adalah karna masalah harta yang di miliki nya adalah merasa milik nya. Dia lupa bahwa harta itu hanya barang titipan dari Allah SWT yang bersifat sementara. Dan suatu saat Allah SWT akan tarik kembali. Dan menjadi suatu hal yang sah sah saja jika Sang pemilik sebenarnya (Allah SWT) menghendaki agar harta tersebut di kelola sesuai yang di inginkan Nya melalui Zakat, Infaq, dan Shadaqah. Terlebih fakta nya itu tidak mungkin menghabiskan semua harta yang di titipkan kepadanya, dan bahkan jika di pahami Allah akan  mengganti berkali kali lipat bagi mereka yang mengorbankan harta mereka hanya demi mendapatkan ridho Allah SWT.

            Orang yang menyadari apa yang ada di dunia ini semua ya milik Allah juga tidak akan bersedih hati ketika musibah menimpa nya. Dia malah akan berbahagia dengan kesabaran yang tinggi. Sebab dia sadar sepenuh nya bahwa dirinya dan semua yang di miliki nya semula tidak dia miliki, hanya Allah SWT yang kemudian memberinya titipan. Kalau kemudian hilang atau berkurang itu tandanya Allah SWT sebagai Sang pemilik yang telah mengambil nya kembali :

“ Dan berikanlah berita gembira kepada orang orang yang sabar, (yaitu) orang orang yang apabila ditimpa musibah , mereka mengucapkan, ‘ Sungguh kami ini kepunyaan Allah dan hanya kepada-Nya kami akan kembali. ”  ( QS. Al-Baqarah :155-156 )

 

 Ilmu Harus Sampai Takut

“ Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba hamba-Nya, hanyalah ulama ”

( QS. Fathir : 28 )

Ulama itu artinya orang yang berilmu; terlepas dari seberapa besar Ilmu mereka dan seberapa banyak jenis keilmuan mereka. Dalam Al-Qur’an sendiri ditemukan dua kata ulama, yaitu :

“ Dan apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, Bahwa para ulama bani israil mengetahuinya ? ” ( QS. As-Syu’ara : 197 ).

“ Dan demikian (pula) di anatra manusia, binatang binatang melata dan binatang binatang ternak ada yang bermacam macam warna nya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba hamba Nya, hanyalah Ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. ” ( QS. Fathir : 28 )

Dalam surah As-Syu’ara , kata ulama ada dalam susunan ayat ayat tentang kitab. Ini mengisyaratkan bahwa ulama adalah mereka yang mengusai ilmu kitab Allah atau yang menguasai ilmu ilmu agama. Semntara dalam surah Fathir, kata ulama berada dalam susunan ayat ayat tentang keajaiban alam semesta. Ini menjadi isyarat bahwa ulama yang di maksud ayat ini adalah mereka yang memiliki ilmu seputar penelitian dan perenungan keajaiban pencipta alam semesta. Mereka adalah para ilmuan, ulama, pelajar, atau masyarakat umum yang turut merenungkan penciptaan Alam semesta sehingga melahirkan rasa takut kepada Allah SWT. Akan tetapi kelebihan nya, ayat dalam surah Fathir ini sekaligus memberikan definisi dari ulama itu sendiri, yakni kata Ulama adalah Mereka yang ‘ Takut kepada Allah ’. artinya meski seseorang bukan berstatus sebagai ulama, tetapi kalau ilmu nya yang terbatas itu mengantarkan pada rasa takut kepada Allah SWT berarti dia adalah ulama. Demikian pula sebalik nya jika dia tidak memiliki rasa takut dalam diri nya kepada Allah SWT, maka seseorang yang berilmu seberapa besar dan banyak pun ilmu mereka, tidak layak di sebut ulama.

Wujud ketakutan kepada Allah SWT itu sendiri di jelaskan dalam ayat selanjutnya dengan tiga kriteria : (1) senantiasa membaca kitab Allah, (2) mendirikan Shalat, dan (3) berinfaq. Ketiga amalan tersebut tentunya dalam wujud yang paling sempurnanya; membaca kitab sampai paham dan hafal, shalat wajib sampai sunah, infaq wajib sampai sunah hanya bisa di amalkan jika seseorang sudah takut kepada Allah SWT. Dan itu semua membutuhkan Ilmu. Maka ilmu yang di cari, di pelajari, dan di kaji, harus selalu menjadikan setiap orang memiliki rasa takut kepada Allah SWT. Jangan sampai ilmu yang di pelajari penuh dengan kebohongan dan sia sia. Ilmu yang di pelajari dan di dalami harus sampai mengantarkan setiap pencarinya kepada Allah SWT.

 

Syahwat Melalaikan Shalat

“ Maka datanglah sesudah mereka, pengganti ( yang jelek ) yang menyia nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan ”

( QS. Maryam : 59 )

            Ayat ini erat kaitan nya dengan ayat sebelum nya yang menyebutkan generasi yang baik, yakni mereka yang mengikuti ajaran kenabian. Tandanya jika di bacakan kepada mereka ayat ayat Allah, mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis.

Mereka itu adalah orang orang yang telah diberi nikmat oleh Allah SWT, yaitu para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang orang yang kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan israel, dan dari orang orang yang telah kami beri petunjuk dan telah kami pilih. Apabila dibacakan ayat ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis. ” ( QS. Maryam : 58 ).

Kondisi tersebut berbeda sepenuh nya dengan genereasi sesudah nya yang tidak mengikuti jejak langkah mereka. Mereka malah jadi generasi yang sesat. Tanda nya adalah menyia nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsu. Pelajaran yang hendak di sampaikan Allah SWT melalui ayat ini bahwasanya umat Islam tidab boleh jadi generasi sesat, melainkan harus menjadi generasi yang lebih baik. Dan terkait Syahwat, QS Ali Imran : 14 sudah cukup jelas menerangkan nya. Al-Qur’an tidak menuntut agar syahwat di jauhi sepenuh nya, melainkan sebatas dikendalikan sesuai aturan Syariat dan jangan sampai melalikan diri dari kehidupan Akhirat. Sementara tentang adla’us shalat; menyia nyiakan shalat, ada sebuah diskusi dikalangan para ulama terkait apa maksud sebenar nya. Menurut Ibn Jarir At-Thabrani dan ini merupakan pendapat mayoritas ulama, yang di maksud adla’us shalat adalah meninggalkan shalat dan tidak melaksanakan nya sama sekali. Dan ulama sepakat menilai orang seperti ini sebaga orang kafir berdasarkan sabda Nabi SAW : “ sesungguh nya yang membedakan antara seseorang dan syirik juga kufur adalah meninggalkan shalat ”. akan tetapi ulama lain nya ada yang menyatakan bahwa adla’us shalat itu adalah lalai dalam maslah shalat, atau dengan kata lain tidak shalat tepat pada waktu nya. Ini di antaranya berdasarkan sebuah atsar dari Ibn Mas’ud ketika ia di tanya tentang mkasud ayat ayat yang menyinggung pengamalan shalat. Ibn Mas’ud menjawab : “ Itu dalam hal waktunya.” Ketika di tanya lagi, bukankah yang di salahkan shalat nya oleh Al-Qur’an itu maksud nya orang yang meninggalkan shalat, Ibn Mas’ud menjawab : “ kalau sudah seperti itu berarti kufur ”. pendapat yang sama juga di kemukakan oleh Umar bin Abdul Aziz dan Al-Qasim bin mukhaimirah ( Tafsir Ibn Katsir ).

Menurut Al-Hafizh Ibn Katsir, disinggung nya shalat di sini bukan berarti tidak memandang penting amal amal lain nya. Akan tetapi shalat itu tiang nya agama, sehingga kalau dalam shalat nya saja sudah tidak benar, berarti dalam ibadah ibadah lainnya pun akan tidak benar. Kembali kepada pembahaan yang menyandingkan antara “menyia nyiakan shalat” dengan “memperturut syahwat” mengindikasikan sebuah hukum sebab dan akibat. Shalat akan disia siakan jika seseorang lebih mementingkan syahwat, demikian juga sebalik nya. Satu generasi akan memuliakan shalat jika mereka mampu mengendalikan syahwat pada jalan akhirat. Salah satu tandanya, sebagaimana di singgung pada ayat sebelum nya, mereka sudah menikmati lantunan ayat ayat Al-Qur’an sampai mampu menggugah jiwa nya dan bahkan memancing air matanya. Akhlaq seperti ini mustahil dirasakan oleh telingan telingan yang slalu mendengar lantunan musik syahwat atau hati yang masih terobsesi dengan hiburan hiburan syahwat. Sungguh jelas sekali Al-Qur’an memberikan pilihan kepada  umat ini untuk memilih antara menjadi generasi shalih atau sesat.

 

Shalat Pembuka Rizki

“ Dan perintahkan kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang orang yang bertaqwa ”

( QS. Thaha : 132 )

            Dalam QS. Thaha : 131 Al Hafizh Ibn Katsir dalam kitab tafsir nya menjelaskan bahwa ayat sebelum nya ( Thaha : 131 ) merupakan arahan kepada Nabi Muhammad SAW dan kepada seluruh umatnya agar tidak terlalu fokus pada dunia. Hidup di dunia harus zuhud; menjauhi foya foya dan tidak memperbanyak aksesoris dunia. Sementara dalam ayat 132, Allah mengajarkan bahwa rizki itu Allah yang mengaturnya. Shalat saja yang bener, juga perintahkan keluargamu untuk shalat, niscaya rizki dari Allah SWT tidak akan sulit dicari. al-Hafizh Ibn Katsir, tampak jelas nyatanya dalam kehidupan berkeluarga dewasa ini. Masing-masing dari kepala keluarga, juga istrinya, umumnya hanya memikirkan masalah uang dan penghasilan. Urusan pendidikan diserahkan kepada sekolah, masjid, dan madrasah saja. jangankan memikirkan pendidikan anak, mengatasi urusan makan sehari-hari saja sibuknya bukan main.

 

            Padahal Allah swt dalam ayat di atas sudah mengingatkan, kunci rizki itu ada dalam shalat. Shalat yang diamalkan dan diajarkan kepada semua anggota keluarga. Semakin abai orangtua dari shalat dan mendidikkan shalat kepada anak-anak, semakin susah rizki didapat. Maka dari itu, sudah harus diubah paradigma dari kepala, sekarang juga, bahwa yang terpenting dalam berkeluarga itu bukan urusan uang dan penghasilan, tetapi shalat, shalat, dan shalat. Jangan sampai lagi kesibukan mencari uang dan menambah penghasilan mengabaikan tugas memerintah dan mendidik shalat kepada anakistri. Jika shalat sudah hidup dalam keluarga, maka rizki akan datang mengikuti. Itu adalah janji Allah, terserah mau percaya atau tidak.


Jika Shalat Masih Terasa Berat 

“ Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat. Dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang orang yang khusyuk ”

( QS. Al-Baqarah : 45 )

            Firman Allah SWT: “Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat" sebagian ulama menyatakan tertuju kepada shalat secara khusus sebagiannya lagi menyatakan tertuju kepada ajaran Allah dalam ayat ini secara keseluruhan. Demikian al-Hafizh Ibn Katsir menjelaskan dalam kitab tafsirnya. Yang jelas dan pasti, shalat itu akan terasa berat bagi orang   orang yang tidak khusyu”. Orang-orang yang khusyu? itu adalah mereka yang meyakini Sepenuh hati wahyu yang diturunkan oleh Allah, demikian dikemukakan oleh shahabat Ibn “Abbas. Sementara Mujahid menyatakan, mereka adalah yang beriman sebenar-benarnya. AbulAliyah menambahkan, mereka adalah orang-orang yang takut, Menurut Mugatil ibn Hayyan, mereka adalah orang-orang yang tawadlu. Ad-Dlahhak menjelaskan lebih detail, mereka adalah orang-orang yang tunduk taat kepada Allah, takut akan siksa-Nya, dan meyakini janji dan ancaman-Nya.

            Khithab dalam ayat di atas, Ibn Jarir at-Thabari menegaskan, ditujukan kepada pemuka-pemuka agama Yahudi dan Kristen, sebab memang dari ayat ke-44 Allah swt sedang menyeru mereka. Jadi intinya, Ibn Jarir menjelaskan, para pemuka Yahudi dan Kristen diseru oleh Allah swt untuk memohon pertolongan kepada Allah swt dengan cara menyabarkan diri dalam ketaatan kepada-Nya dan mendirikan shalat sehingga bisa mencegah dari perbuatan fahsya dan munkar, juga mendekatkan diri pada keridlaan-Nya. Dimana shalat ftu akan sangat berat mendirikannya kecuali bagi mereka yang tawadlu' kepada Allah swt, tunduk taat kepada-Nya dan merasa hina saking takutnya kepada Allah. Jika memang mereka orang orang yang benar dan baik, pasti mereka tidak akan merasakan berat dalam mengamalkan shalat. Jika faktanya terasa berat aleh mereka, Itu berarti mereka hanya pintar bicara, tetapi bohong dalam keyakinan dan amal. Al-Hafizh Ibn Katsir menambahkan, karena redaksi ayatnya umum, maka tentunya ayat di atas tidak tertuju hanya kepada para pemuka agama Yahudi dan Kristen, melainkan umum mencakup semua umat, termasuk umat Islam. Artinya, jika shalat masih terasa berat dirasakan oleh seorang muslim: berat untuk dilaksanakan di awal waktunya, berat untuk dilaksanakan berjama'ah di masjid bagi kaum lelaki yang mendengar panggilan adzan, berat untuk dilaksanakan secara sempurna dengan rukun, syarat, dzikir, dan shalat-shalat sunatnya, berat untuk diamalkan dengan penuh ketenangan hati, itu pertanda yang jelas bahwa orang tersebut belum meyakini sepenuh hati wahyu yang diturunkan oleh Allah dan belum beriman dengan sebenar-benarnya. Atau dengan kata lain, orang tersebut masih sama statusnya dengan para pemuka Yahudi dan Kristen yang tidak beriman kepada Allah SWT.


Bukan Shaum Kalau Tidak Taqwa

“ Hai orang orang yang beriman, diwajibkan atas kamu shaum sebagaimana diwajibkan atas orang orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa ”

( QS. Al-Baqarah : 183 )

            Tujuan shaum untuk meraih tagwa, umumnya kaum muslimin sudah mengetahuinya. Tetapi kalau tagwa itu tidak berhasil diwujudkan melalui shaum, maka sebetulnya shaum sia-sia, jarang yang sampai menyadari. Entah karena terlalu sering ayat di atas dibacakan dan dijelaskan oleh para muballigh, atau hati yang sudah terlalu keras, sehingga nilai-nilai mulia yang dikandung ayat di atas nyaris selalu & diabaikan. Setiap tahun shaum dilaksanakan umat Islam, tetapi setiap tahun juga budaya disiplin dalam ibadah tidak kunjung 4 terwujud. Setiap tahun shaum tidak pernah terlewatkan dari agenda ibadahnya, tetapi setiap tahun juga ghibah, hasud, dan konfrontasi & dengan sesama muslim tidak pernah terlewatkan juga. Setiap tahun shaum Ramadan rutin dijalankan, tetapi setiap tahun juga korupsi dibudayakan di setiap lini kehidupan masyarakat, mulai tingkat RT sampai pemerintah pusat, mulai dari yayasan Islam sampai partaipartai Islam. Jika itu yang selalu terjadi maka berarti shaum Ramadlan yang diamalkan setiap tahun sebetulnya belum terhitung amal ibadah. Sebab shaum Ramadan disyari'atkan untuk meningkatkan ketagwaan. Jika di setiap tahunnya ketagwaan itu tidak pernah terwujud, apalah artinya shaum Ramadlan tersebut.

            Dalam hal inilah urgensi sabda Nabi saw yang menyatakan hanya dengan imanan (karena iman) dan ihfisaban (mengharap keridlaan dan pahala-Nya) shaum Ramadlan akan benar-benar bernilai. Jika setiap tahun shaum Ramadlan dilaksanakan, tetapi setiap tahun juga ketagwaan tidak pernah ditingkatkan, maka kita semua wajib bertanya pada diri, sebenarnya motif kita shaum Ramadlan apa? Apakah karena betul-betul imanan wa ihtisaban, atau hanya sekedar formalitas agar bisa ikut meramaikan lebaran? Apakah karena betul. betul untuk mencapai tagwa atau hanya sekedar menghindar dari malu karena kalah oleh anak-anak kecil yang juga mampu melaksanakan shaum Ramadlan? Orang yang bertagwa memang bukan orang yang suci dari dosa, Bukan berarti kalau shaumnya benar-benar bernilai ibadah, otomatis dosa tidak pernah terjamah. Orang bertagwa adakalanya berdosa, terjatuh dalam kesalahan, dan berbuat keliru, tetapi mereka akan segera juga beristighfar dan bertaubat (QS. Ali Imran (3) : 135).

            Akan tetapi jika setiap dosa yang dilakukan dan senantiasa terulang tidak pernah terasa sebagai dosa, sehingga konsekuensinya tidak pernah istighfar dan ingin bertaubat, maka jelas itu pertanda ketagwaan tidak ada dalam diri. Lalu, haruskah shaum Ramadlan tahun ini pun akan dijalankan sebagai rutinitas belaka tanpa tagwa?


 Sakit Tidak Harus Sembuh

Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, “Sungguh kami ini kepunyaan Allah dan hanya kepada-Nya kami akan kembali,”

(QS. al-Baqarah : 155-156). 

            Tidak mustahil kita termasuk yang lupa dengan ayat ini ketika sakit datang menimpa. Yang diingat oleh kita, sakit harus segera disembuhkan. Padahal yang dituntut Allah swt hanya sabar. Kriterianya, tawakka/ (menyerahkan urusan kepada Allah swt) dengan ikrar: “Inna hil- Llahi wa inna ilaihi raji'un; sungguh kami ini kepunyaan Allah dan hanya kepada-Nya kami akan kembali.” Bukan dengan stres, gelisah, atau galau karena sakit yang ingin sesegera mungkin sembuh. Terkait ayat-ayat seperti ini maka para shahabat mengkonfirmasi, apakah itu berarti berobat hukumnya haram? Maka Nabi saw

“Berobatlah karena sesungguhnya Allah tidak membuat penyakit kecuali Dia membuat obatnya. Kecuali satu penyakit: tua” (Sunan Abi Dawud )

Terkait hadits ini Imam al-'Azhim Abadi dalam “Aunul Ma bud menjelaskan:

Zhahirnya, perintah di sini menunjukkan mubah dan rukhshah. Dan itu yg sesuai dengan konteks kalimat, sebab pertanyaannya, secara pastinya, tentang kebolehan. Maka yang mudah dipahami dari jawaban beliau adalah penjelasan kebolehannya. Ada sebagian ulama yang menyatakan babwa perintah ini menunjukkan sunat, tetapi itu terlalu jauh, karena sungguh ada pujian bagi yang tidak berobat dan minta dirugyah disebabkan tawakkal kepada Allah. Ya memang benar, Rasulullah saw pernah berobat, tetapi itu sebagai penjelasan bahwasanya itu boleh. Maka siapa yang niatnya ingin sama dengan beliau, ia akan diberi pahala.”

            Hadits tentang pujian bagi yang tidak berobat dan minta diruqyah disebabkan tawakkal kepada Allah itu sendiri diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih al-Bukhari kitab at-thibb bab man iktawa au kawwa ghairuhu (tentang orang yang minta dikay atau mengkay orang lainnya) no. 5705, Shahih Muslim kitab al-iman bab ad-dakl 'ala dukhul thawa'if minal-muskimin al-jannah bi ghairi hisab (tentang masuknya sekelompok kaum muslimin ke surga tanpa dihisab/ disiksa) no. 549. Hadits yang dimaksud adalah:

“ .. lalu dikatakan kepadaku: Ini umatmu, Dari mereka akan ada yang masuk surga sebanyak 70.000 orang tanpa dihisab.» ... Nabi saw keluar dan bersabda: “Mereka adalah orang-orang yang tidak minta diruqyah (jampi), tidak percaya thiyarah (sial), tidak minta dikayy (diobati dengan besi panas), dan mereka tawakkal kepada Rabb.”

            Syaikh “Abdurrahman ibn Hasan dalam Fathul Majid Syarh Kitab di-Tauhid menjelaskan, berdasarkan hadits ini di kalangan madzhab Hambali dipahami bahwa berobat itu hukumnya mubah, , tetapi sebaiknya tidak. Madzhab Maliki menyatakan sama, tetapi tidak ada  yang lebih baik, kedua-duanya sama, berobat atau tidak, sama sama boleh. Sementara madzhab Syafi'i dan Hanafi menyatakan sebatas sunat. Artinya jumhur ulama tidak ada yang menyatakan berobat hukumnya wajib. Dalam hal ini Syaikhul-Islam Ibn Taimiyyah berkata: “Tidak wajib menurut jumbur ulama. Yang mewajibkan hanya sekelompok kecil ulama Syafi'i dan Ahmad,”


Jangan Lalai Dari Ayat Allah

 “ Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) pertemuan dengan Kami, dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan itu dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami, mereka itu tempatnya ialah neraka, disebabkan apa yang selalu mereka kerjakan.”

 ( QS. Yunus : 7-8 ).

            Ayat di atas memberitahukan empat sifat yang saling berkaitan dari para penghuni neraka, yaitu: Pertama, tidak mengharapkan pertemuan dengan Allah SWT. Artinya, mereka yang sudah putus asa dengan akhirat dan pola pikirnya “bagaimana nanti saja” bukan “untuk nanti harus bagaimana”. Harapan bertemu dengan Allah swt ini merupakan bentuk keimanan dasar yang akan mempengaruhi baik jeleknya amal seseorang. Jika ia tidak banyak berharap, maka amalnya akan jelek. Jika ia sangat yakin akan bertemu dengan Allah swt niscaya amalnya akan baik

Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu', (yaitu) orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui tuhannya dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya (QS. Al-Bagarah  : 45-46 ).

            Kedua, merasa puas dengan kehidupan dunia sehingga sama sekali tidak mementingkan akhirat. Kehidupan dunia itu sendiri digambarkan dalam QS, Al-Hadid : 20 sebagai kehidupan yang berisi la'ib (permainan/wisata/sandiwara), lahwun (hiburan), zinah (perhiasan), tafakhur (saling berbangga diri), dan takatsur (memperbanyak harta dan anak). Siapa saja orang yang hidupnya hanya diisi dengan lima hal tersebut, itulah orang yang radlu: merasa puas dengan kehidupan dunia. Padahal sejatinya, bagi orang yang beriman kehidupan sebenarnya itu adalah akhirat, dunia hanya sandiwara saja,

Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui (QS. Al-'Ankabut : 64).

            Ketiga, merasa tenteram dengan dunia dan menilai bahwa kebahagiaan itu didapatkan ketika dunia dimiliki. Padahal sejatinya ketenteraman itu hanya akan didapatkan dengan dzikrul Llah, bukan dengan menikmati dunia (QS. Ar-Ra'd : 28). Yang seperti ini bukan ketenteraman yang akan didapatkan, melainkan kecemasan dan kekhawatiran tiada ujung karena takut dunianya menghilang (QS. Thaha : 124).  (Yang akan mendapat hidayah Allah itu adalah) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan dzikir kepada Allah. Ingatlah, hanya dengan berdgikir kepada Allah-lah hati menjadi tenteram (QS. Ar Rad  : 28).  Dan siapa yang berpaling dari dgikir kepada-Ku, maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit (QS. Thaha (20) : 124)

            Keempat, melalaikan ayat-ayat Allah swt, baik yang gauliyyah (Al Qur'an) ataupun kauniyyah (alam semesta). Iman pada keberadaan al-Qur'an tetapi tidak sering membacanya, apalagi mengkajinya, Merenungkannya dan mengikuti majelis ta'lim yang membedahnya. Tahu ada peristiwa banjir, longsor, gunung meletus, gerhana, dan lain sebagainya, tetapi hanya sebatas tahu, tanpa mau merenungkan Sang Kreator di balik itu semua. Karakter seperti ini muncul disebabkan sifat sebelumnya, yakni putus asa dengan akhirat dan terlalu fokus pada dunia. Orang-orang seperti ini tidak peduli ada gerhana atau tidak ada gerhana, tidak peduli ada banjir atau tidak banjir, yang penting dirinya tidak terkena banjir. Orang seperti ini hanya akan mendapatkan neraka disebabkan tingkah polah mereka sendiri.


Haram Memvonis Kafir

“..Dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan “salam” kepadamu: “Kamu bukan seorang mukmin” (lalu kamu membunuhnya)...”

 ( QS. An-Nisa' : 94 )

            Ibn Katsir meriwayatkan beberapa riwayat yang berbeda namun semakna terkait asbabun-nugul (latar belakang turun) ayat ini. Di antaranya sebagaimana yang dijelaskan Ibn “Abbas, sebuah pasukan diutus oleh Nabi saw untuk memerangi satu kaum yang membahayakan umat Islam. Setibanya di tempat, kaum yang hendak diperangi tersebut sudah lari terlebih dahulu. Hanya tinggal tersisa seseorang yang ketika ditemukan ia mengucapkan syahadat. AlMigdad ibn al-Aswad kemudian membunuhnya karena berasumsi orang itu hanya hendak melindungi dirinya sendiri dengan syahadat palsu. Seorang shahabat lainnya saat itu menegur al-Migdad atas perbuatan cerobohnya, dan ia pun melaporkannya kepada Rasulullah saw setibanya di Madinah. Rasul saw saat itu langsung saja menegur al-Migdad, sebab sebagaimana sudah diajarkan Rasul saw, tidak boleh membunuh seseorang yang sudah mengucapkan /a ilaha illallah. Tentang kebenaran ucapan tersebut, hisabnya diserahkan kepada Allah swt saja. Tidak lama dari itu, Rasul saw juga menjelaskan bahwa tidak mustahil orang yang dibunuh tadi sama seperti para Shahabat dahulu ketika di Makkah, tidak berani bersyahadat karena takut dibunuh orang kafir, dan baru berani bersyahadat ketika orangorang kafir tidak ada. Di sinilah maka turun firman Allah SWT di atas yang terjemah lengkapnya:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan “salam” kepadamu: “Kamu bukan seorang mukmin” (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di sisi Allah ada harta yang banyak. Begitu jugalah keadaan kamu dahulu, lalu Allah menganugerahkan nikmat-Nya atas kamu, maka telitilah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

            Terjemah “lalu kamu membunuhnya” ditulis dalam kurung, sebab memang tidak ada teks arabnya pada ayat di atas. Terjemah tersebut dipahami dari riwayat-riwayat yang menjadi asbabun-nuzul ayat di atas. Ini sekaligus menjadi sebuah isyarat bahwa konsekuensi dari penilaian “kafir/tidak beriman” yang ditujukan kepada seseorang yang bersyahadat/salam tidak bisa dianggap sepele, sebab justru akan berdampak besar dengan menimbulkan dampak hukum lanjutannya, yakni halal darahnya. Dalam hal ini maka tabayyun (klarifikasi) berdasarkan Imu mutlak diperlukan. Kepada orang yang zhahirnya kafir lalu bersyahadat saja tidak boleh disebut kafir, apalagi kepada orang-orang yang memang dari asalnya sudah Islam. Haram memvonis kafir kepada mereka.

            Jika vonis kafir kepada sesama muslim diobral terlalu murah, jangan heran jika kemudian banyak aksi kekerasan dengan dalih jihad melawan orang-orang kafir, meski orang-orang kafir itu masuk kategori yang haram dibunuh. Muncul kenekatan melawan polisi dengan senjata dan bom hanya karena keyakinan bahwa polisi pasukan dari pemerintah yang kafir. Meski sang pimpinannya mengaku tidak pernah memfatwakan harus berjihad mengangkat senjata kepada polisi, pemerintah, atau orang-orang kafir yang ada di Indonesia, dan hanya mengaku sebatas memfatwakan pemerintah sudah kafir saja, ya memang demikianlah ayat di atas dan sababun nuzul-nya memberikan pelajaran. Kekeliruan vonis kafir akan melahirkan aksi kejam membunuh orang-orang yang divonis kafir.


Ancaman Bagi Yang Memusuhi Umat Islam

 Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata

(QS. Al-Ahzab : 58). 

            Ayat ini sebagaimana dijelaskan al-Hafizh Ibn Katsir, ditujukan kepada siapa saja yang menyebarkan “aib, merendahkan, dan menjelek-jelekkan kaum mu'minin laki-laki atau perempuan. Padahal mereka sama sekali jauh dari semua tuduhan “aib, rendah, dan jelek tersebut. Al-Hafizh Ibn Katsir menegaskan, contoh yang paling nyata adalah kaum Syi'ah dan Rafidlah yang berani menjelek-jelekkan dan merendahkan para shahabat. Padahal para shahabat sudah jelas dinyatakan oleh Allah swt diridlai oleh-Nya dan Allah swt sendiri yang memuji keistimewaan kaum Muhajirin dan Anshar ( QS. atTaubah : 100 ). Akan tetapi kaum Syi'ah/ Rafidlah terang-terangan menghina mereka yang dimuliakan oleh Allah swt. Jika sampai menyiksa dan menzhalimi kaum mu'minin secara fisik, bukan hanya secara psikis dan mentalnya saja, maka Allah swt memberikan ancaman yang Lega juga dalam firmanNya yang lain:

“Sesungguhnya orang-orang yang menyiksa orang-orang yang mukmin laki-laki dan perempuan kemudian mereka tidak bertaubat, maka bagi mereka adab Jahannam dan bagi mereka adzab (neraka) yang membakar.” ( QS. al-Buruj : 10 ).

            Ayat di atas latar belakang kronologisnya (sabab muzul) ditujukan kepada pasukan penggali parit (ashabul ukhdud) di Yaman pada zaman sebelum kenabian Muhammad saw yang membakar hidup. hidup setiap orang yang beriman kepada Allah swt. Dengan lafazh ayat yang umum seperti dalam surat al-Buruj tersebut, maka berarti ayat itu ditujukan secara umum kepada siapa saja yang menyiksa kaum mu'minin, baik dengan membakar, memukul, atau memenjarakan. Umat Islam Indonesia sering menghadapi cobaan yang mirip seperti disitir ayat-ayat di atas. Mereka yang sebenarnya selalu setia kepada NKRI dari mulai merebut kemerdekaannya, mendirikannya dengan cara mempelopori peleburan dari RIS, sampai menjaganya dengan membina kerukunan dan pembangunan, hari ini malah dituduh radikal, anti-Pancasila, anti kebhinekaan, tidak menghargai kaum lintas agama, dan tuduhan-tuduhan menyakitkan lainnya. Padahal mereka yang menuduh itu umumnya para pengemplang pajak dan abai dari tax amnesty, sementara umat Islam selalu taat bayar pajak. Beberapa tokoh umat Islam malah sampai dikriminalisasi dan akan menghadapi serangkaian tuntutan makar atau perbuatan asusila. Umat Islam tentu harus menghadapinya dengan bersabar dan tetap teguh berjuang. Apapun yang terjadi, Allah swt tidak akan tinggal diam. Siksa yang pedih siap ditimpakan oleh-Nya kepada siapa saja yang berani memusuhi umat Islam. Allahu Akbar!


Perhatikan Generasimu

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertagwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”

(QS. An-Nisa (41: 9) 

            Imam Ibn Katsir menjelaskan, terdapat dua penafsiran terkait ayat ini: Pertama, ayat ini ditujukan kepada orang-orang yang hadir di sekitar orang yang berwasiat ketika ajalnya terasa mendekat. Allah swt memerintahkan kepada orang-orang yang hadir tersebut untuk mengingatkan sang pembuat wasiat agar memperhatikan keturunan mereka. Jangan sampai mereka meninggalkan keturunan mereka dalam keadaan lemah dan tidak sejahtera, padahal mereka memiliki kekayaan yang cukup. Jangan sampai itu terjadi disebabkan mereka timpang dalam wasiatnya, yakni terlalu besar memberikan harta kepada selain keturunan mereka. Kepada mereka yang hadir dan tahu apa yang dilakukan oleh pembuat wasiat tersebut Allah swt memerintahkan mereka, hendaklah mereka bertagwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. Artinya jangan sampai mereka tidak menegur karena segan/takut kepada sang pembuat wasiat, dan kalaupun hendak menegur, tegurlah dengan teguran yang tepat. Hadits Sa'ad ibn Waggash yang dimaksud adalah:

“Wahai Rasulullah, aku telah tertimpa penyakit sebagaimana yang anda lihat. Aku punya harta yang banyak tetapi tidak ada yang mewarisiku keruali anak perempuanku satu-satunya. Bolehkah aku bersedekah dengan dua pertiga hartaku?” Beliau menjawab: “Tidak boleh.” Ia bertanya lagi: “Boleh aku menyedekahkan setengahnya?” Beliau menjawab: “Tidak boleh.” Beliau bersabda: “Sepertiga saja wahai Sa'ad, dan sepertiga itu sudah banyak. Sesungguhnya engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan fakir meminta-minta kepada orang lain.” (Shahih al-Bukhari kitab managib al-Anshar )

            Sementara penafsiran yang kedua, menurut Imam Ibn Katsir, ayat ini ditujukan kepada wali-wali anak yatim. Maksudnya, perlakukanlah mereka seperti anak keturunan mereka sendiri. Kalau mereka takut jikalau anak keturunan mereka lemah dan tidak sejahtera ketika ditinggalkan mati oleh mereka, maka hendaklah hal yang sama mereka berlakukan juga kepada anak-anak orang lain yang kebetulan sedang mereka urus. Jangan sampai mereka menyusahkan anakanak yatim tersebut, termasuk jangan sampai mereka mengorupsi harta mereka yang ditinggalkan oleh orangtua mereka. Maka dari itu, ayat sebelum dan sesudahnya memberikan peringatan yang keras kepada mereka yang menjadi wali anak yatim dan mengorupsi harta milik anak yatim tersebut. Kedua penafsiran tersebut bersumber dari shahabat Ibn “Abbas. Akan tetapi untuk penafsiran kedua, Ibn Katsir cukup menilainya hasan. Sementara penafsiran pertama, menurut Ibn Katsir, banyak ulama yang menguatkannya. Terlebih dikuatkan oleh hadits shahih yang menyatakan bahwa Rasul saw memerintahkan Sa'ad ibn Abi Waggash agar berwashiat kepada selain ahli warisnya tidak lebih das 1/3. Artinya, Rasul saw yang waktu itu hadir di saat Sa'ad berwasiat dan menegur Sa'ad, adalah salah satu bentuk pengamalan dari aya' di atas.

            Ayat ini sangat tepat dan sesuai sekali dengan fakta yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Banyak orang menyayangkan anak keturunan seseorang yang ditinggalkan mati oleh orangtuanya dalam keadaan lemah dan sengsara. Padahal semestinya sikap “menyayangkan” seperti itu jangan hanya diungkapkan sesudahnya, Sebelum itu terjadi semestinya semua pihak yang terkait berusaha untuk mencegahnya. Mencegah agar generasi-generasi yang akan datang tidak ditinggalkan dalam keadaan lemah dan tidak sejahtera, Maka setiap yang akan membagikan waris dan wasiat harus siap untuk diawasi dan ditegur jika seandainya ada yang keliru. Setiap pengurus anak yatim juga harus profesional dan tidak korup. Mereka juga harus banyak dibantu agar kelak anak-anak yatim yang mereka urus menjadi manusia-manusia yang sejahtera. Termasuk anak-anak lainnya, baik itu anak-anak sendiri atau anak-anak orang lain, setiap muslim harus peduli dengan keberlangsungan masa depan mereka, khususnya terkait dengan kesejahteraan hidup mereka. Sudah tentu bukan berarti kesejahteraan dalam agama tidak diperhatikan. Ini lebih diprioritaskan. Teladannya adalah manusiamanusia agung yang diabadikan dalam al-Qur an, di antaranya Nabi Ibrahim dan Ya'qub ‘alaihimas-salam:

            Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Yakub. (Ibrahim berkata): “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam”. Adakah kamu hadir ketika Yakub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab: “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishak, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.” (QS. al-Bagarah : 132-133). Hanya al-Qur'an tidak menghendaki umatnya berpola pikir timpang: hanya memikirkan akhirat saja, tetapi dunia diabaikan, ataupun sebaliknya. Kedua-duanya harus dipikirkan, sebab keshalihan akhirat sangat tergantung juga dengan kesejahteraan duniawi. Wal-Llahu alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Resensi Buku ‘Ulum Al-Quran (Memahami Otentifikasi Al-Qur'an)

  Resensi Buku ‘Ulum Al-Quran (Memahami Otentifikasi Al-Quran) Oleh Kelompok 10 kelas PAI IB: Annisa Septiani            (210414035) ...