Resensi Buku Mutiara Tafsir Al-Qur’an
Disusun oleh Kelompok 11 kelas PAI
1B:
Agung Gumilar RM (210414019)
Azmi Asyfia (210414039)
IDENTITAS BUKU :
Ø Judul Buku : MUTIARA TAFSIR AL-QUR’AN
Ø Penulis : Nashruddin Syarief
Ø Penerbit : TSAQIFA publishing
Ø Cetakan : Cetakan I
Ø Tahun Terbit : 5 Juli 2018
Ø Tebal Halaman : xvi + 284 Halaman
Ø ISBN : 978-602-70500-3-7
Buku
Mutiara Tafsir Al-Qur’an Adalah buku tafsir inovatif yang di tulis oleh Nashruddin
syarief dan di terbitkan di TSAQIFA publishing pada 5 Juli 2018. Buku Mutiara
Tafsir Al-Qur’an ini menyajikan kajian tafsir dengan pendekatan. Dan dalam buku
ini ayat ayat yang sudah jelas makna nya tidak akan di kutip penjelasan dari
para ulamanya. Sementara itu untuk sebagian besar ayat ayat yang di bahas
mengutip penjelasan dari para ulama ahli bahasa Al-Qur’an dan para ulama ahli
tafsir. Buku ini lebih mendahulukan ayat ayat pilihan layak untuk di ingat
sebagai penggugah jiwa, karna cukup banyak ayat ayat dalam buku ini yang
terkait dinamika kehidupan masyarakat sebagai jawaban atas problematikanya
menurut arahan Al-Qur’an. Pada kesempatan tugas resensi buku ini kami mungkin
hanya akan memaparkan beberapa Bab yang mungkin menarik untuk di bahas. Karna
dalam buku tafsir ini lebih condong Kepada
sebuah pemahaman maupun konflik yang akan di tafsirkan dan bisa diterapkan pada
kehidupan dinamika masyarakat. Kami memulai pembahasan ini di mulia dari Bab 1
yang bertemakan :
Dimulai
Dengan Basmalah
Basmalah adalah bacaan dari Bismillah yang arti nya dengen nama
Allah. Ucapan ini menunjukan bahwa nama yang pokok untuk Rabbul-‘alamin
adalah “ Allah “. Ada dua pendapat terkait asal kata “ Allah “ ini : Pertama,
Allah adalah isim Jamid ( tidak ada asal usul kata nya ), yang mesti tetap di
baca dengan Tafkhim ( Alloh dengan huruf ‘O’ ) dan tidak menghilangkan Alif
Lam nya, termasuk ketika mengucapkan Ya Allah ( aturan berlaku umum
dalam tata bahasa arab). Maka dari itu dalam ilmu tajwid lafadz ini di sebut Lafadz
Jalalah. Kedua, Allah adalah isim Musytaq yang berasal dari
kata Ilah, ta’Alluh, yang arti nya tunduk, ibadah, merintih, dan
mengikuti. Ketika menjadi nama Allah maka maksud nya adalah satu satunya yang
layak di ibadahi dan di ikuti. Persoalan “ Nama Tuhan “ ini bagi agama agama
lain sangat bermasalah. Untuk agama budaya, mereka jelas menghadapi masalah
ketika harus memutuskan siapa sebenar nya nama tuhan mereka, sehingga kemudian
mereka pun menentukan nya sendiri. Untuk agama yang pernah mengenal wahyu (
Yahudi, Kristen ), demikian juga bermasalah di karnakan mereka tidak memiliki
riwayat Qira’ah ( Bacaan ) harus seperti apa menyebut nama tuhan mereka.
Kembali kepada Bismillah. Bismillah merupakan penegasan bahwa Tuhan satu satu nya yang benar adalah Allah SWT, tidak ada Tuhan selain Dia. Sebab Hanya Allah SWT lah yang menjelaskan Langsung siapa nama-Nya, siapa diri-Nya, dan bagai mana sifat sifat-Nya. Sehingga menjadi petunjuk yang jelas bahwa agama dan tuhan selain Allah SWT itu hanyalah rekaan manusia sendiri. Dengan demikian Basmalah ini merupakan titik awal dari semua aktifitas muslim. Sehingga pada hakikat nya Basmalah ini adalah spirit dalam setiap aktifitas tersebut. Dengan nama Allah setiap muslim meyakinkan dirinya bahwa dia beramal untuk Allah SWT, satu satu nya tuhan yang layak di sembah dan di harapkan anugrah nya. Dengan nama Allah setiap muslim meyakini diri nya bahwa dia bekerja demi Allah, demi mengharap rizki-Nya, dan pahala surgawi-Nya, bukan untuk kesenangan duniawi semata yang seringkali harus dengan mengorbankan Akhirat dan menghalalkan yang haram. Dengan nama Allah juga setiap muslim meyakinkan diri nya bahwa dia bekerja untuk mengharapkan keridhoan Allah SWT, ketakutan yang ada pada diri nya pun hanya takut kepada Allah SWT, takut jika kerja nya tidak di terima oleh Allah SWT karna tidak berkualitas. Niat mulia seperti ini akan mengawali aktifitas seorang muslim yang senantiasa memulainya dengan Basmalah.
Semua
Milik Allah SWT
“ Kepunyaan Allah-lah segala apa
yang ada di langit dan apa yang ada di bumi ”
(
QS. Al-Baqarah :284 )
Ayat di atas setidanya diulang ulang
di 16 tempat dalam Al-Qur’an. Semua ayat tersebut menegaskan bahwa apa yang ada
di alam semesta ini adalah milik Allah SWT, tidak ada satupun yang dimiliki
oleh selain Nya, termasuk manusia. Bahkan tubuh dan harta milik manusia pun,
pemilik nya bukan manusia, melainkan Allah SWT. Semua hak milik yang di miliki
oleh manusia, itu hanya pola Istikhlaf saja; pinjaman, titipan, atau hak
guna pakai yang Allah titipkan, sebab di saat manusia meninggal, hak milik nya
kembali kepada Allah SWT. Kesalan terbesar manusia yang enggan atau malas
berinfaq di jalan Allah SWT adalah karna masalah harta yang di miliki nya
adalah merasa milik nya. Dia lupa bahwa harta itu hanya barang titipan dari
Allah SWT yang bersifat sementara. Dan suatu saat Allah SWT akan tarik kembali.
Dan menjadi suatu hal yang sah sah saja jika Sang pemilik sebenarnya (Allah
SWT) menghendaki agar harta tersebut di kelola sesuai yang di inginkan Nya
melalui Zakat, Infaq, dan Shadaqah. Terlebih fakta nya itu tidak mungkin
menghabiskan semua harta yang di titipkan kepadanya, dan bahkan jika di pahami
Allah akan mengganti berkali kali lipat
bagi mereka yang mengorbankan harta mereka hanya demi mendapatkan ridho Allah
SWT.
Orang yang menyadari apa yang ada di
dunia ini semua ya milik Allah juga tidak akan bersedih hati ketika musibah
menimpa nya. Dia malah akan berbahagia dengan kesabaran yang tinggi. Sebab dia
sadar sepenuh nya bahwa dirinya dan semua yang di miliki nya semula tidak dia
miliki, hanya Allah SWT yang kemudian memberinya titipan. Kalau kemudian hilang
atau berkurang itu tandanya Allah SWT sebagai Sang pemilik yang telah mengambil
nya kembali :
“
Dan berikanlah berita gembira kepada orang orang yang sabar, (yaitu) orang
orang yang apabila ditimpa musibah , mereka mengucapkan, ‘ Sungguh kami ini
kepunyaan Allah dan hanya kepada-Nya kami akan kembali. ” ( QS. Al-Baqarah :155-156 )
Ilmu Harus Sampai Takut
“ Sesungguhnya
yang takut kepada Allah di antara hamba hamba-Nya, hanyalah ulama ”
(
QS. Fathir : 28 )
Ulama itu artinya orang yang berilmu;
terlepas dari seberapa besar Ilmu mereka dan seberapa banyak jenis keilmuan
mereka. Dalam Al-Qur’an sendiri ditemukan dua kata ulama, yaitu :
“ Dan
apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, Bahwa para ulama bani israil
mengetahuinya ? ” ( QS. As-Syu’ara : 197 ).
“ Dan
demikian (pula) di anatra manusia, binatang binatang melata dan binatang
binatang ternak ada yang bermacam macam warna nya (dan jenisnya). Sesungguhnya
yang takut kepada Allah di antara hamba hamba Nya, hanyalah Ulama. Sesungguhnya
Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. ” (
QS. Fathir : 28 )
Dalam surah As-Syu’ara , kata ulama ada dalam susunan ayat ayat
tentang kitab. Ini mengisyaratkan bahwa ulama adalah mereka yang mengusai ilmu
kitab Allah atau yang menguasai ilmu ilmu agama. Semntara dalam surah Fathir,
kata ulama berada dalam susunan ayat ayat tentang keajaiban alam semesta. Ini
menjadi isyarat bahwa ulama yang di maksud ayat ini adalah mereka yang memiliki
ilmu seputar penelitian dan perenungan keajaiban pencipta alam semesta. Mereka
adalah para ilmuan, ulama, pelajar, atau masyarakat umum yang turut merenungkan
penciptaan Alam semesta sehingga melahirkan rasa takut kepada Allah SWT. Akan
tetapi kelebihan nya, ayat dalam surah Fathir ini sekaligus memberikan definisi
dari ulama itu sendiri, yakni kata Ulama adalah Mereka yang ‘ Takut
kepada Allah ’. artinya meski seseorang bukan berstatus sebagai ulama, tetapi
kalau ilmu nya yang terbatas itu mengantarkan pada rasa takut kepada Allah SWT
berarti dia adalah ulama. Demikian pula sebalik nya jika dia tidak memiliki
rasa takut dalam diri nya kepada Allah SWT, maka seseorang yang berilmu
seberapa besar dan banyak pun ilmu mereka, tidak layak di sebut ulama.
Wujud ketakutan kepada Allah SWT itu sendiri di jelaskan dalam ayat
selanjutnya dengan tiga kriteria : (1) senantiasa membaca kitab Allah, (2)
mendirikan Shalat, dan (3) berinfaq. Ketiga amalan tersebut tentunya dalam
wujud yang paling sempurnanya; membaca kitab sampai paham dan hafal, shalat
wajib sampai sunah, infaq wajib sampai sunah hanya bisa di amalkan jika
seseorang sudah takut kepada Allah SWT. Dan itu semua membutuhkan Ilmu. Maka
ilmu yang di cari, di pelajari, dan di kaji, harus selalu menjadikan setiap
orang memiliki rasa takut kepada Allah SWT. Jangan sampai ilmu yang di pelajari
penuh dengan kebohongan dan sia sia. Ilmu yang di pelajari dan di dalami harus
sampai mengantarkan setiap pencarinya kepada Allah SWT.
Syahwat
Melalaikan Shalat
“
Maka datanglah sesudah mereka, pengganti ( yang jelek ) yang menyia nyiakan
shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui
kesesatan ”
(
QS. Maryam : 59 )
Ayat ini erat kaitan nya dengan ayat
sebelum nya yang menyebutkan generasi yang baik, yakni mereka yang mengikuti
ajaran kenabian. Tandanya jika di bacakan kepada mereka ayat ayat Allah, mereka
menyungkur dengan bersujud dan menangis.
“ Mereka
itu adalah orang orang yang telah diberi nikmat oleh Allah SWT, yaitu para nabi
dari keturunan Adam, dan dari orang orang yang kami angkat bersama Nuh, dan
dari keturunan Ibrahim dan israel, dan dari orang orang yang telah kami beri
petunjuk dan telah kami pilih. Apabila dibacakan ayat ayat Allah Yang Maha
Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis. ” (
QS. Maryam : 58 ).
Kondisi tersebut berbeda sepenuh nya dengan genereasi sesudah nya
yang tidak mengikuti jejak langkah mereka. Mereka malah jadi generasi yang
sesat. Tanda nya adalah menyia nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsu.
Pelajaran yang hendak di sampaikan Allah SWT melalui ayat ini bahwasanya umat
Islam tidab boleh jadi generasi sesat, melainkan harus menjadi generasi yang
lebih baik. Dan terkait Syahwat, QS Ali Imran : 14 sudah cukup jelas
menerangkan nya. Al-Qur’an tidak menuntut agar syahwat di jauhi sepenuh nya,
melainkan sebatas dikendalikan sesuai aturan Syariat dan jangan sampai
melalikan diri dari kehidupan Akhirat. Sementara tentang adla’us shalat;
menyia nyiakan shalat, ada sebuah diskusi dikalangan para ulama terkait apa
maksud sebenar nya. Menurut Ibn Jarir At-Thabrani dan ini merupakan pendapat
mayoritas ulama, yang di maksud adla’us shalat adalah meninggalkan
shalat dan tidak melaksanakan nya sama sekali. Dan ulama sepakat menilai orang
seperti ini sebaga orang kafir berdasarkan sabda Nabi SAW : “ sesungguh nya
yang membedakan antara seseorang dan syirik juga kufur adalah meninggalkan
shalat ”. akan tetapi ulama lain nya ada yang menyatakan bahwa adla’us
shalat itu adalah lalai dalam maslah shalat, atau dengan kata lain tidak
shalat tepat pada waktu nya. Ini di antaranya berdasarkan sebuah atsar
dari Ibn Mas’ud ketika ia di tanya tentang mkasud ayat ayat yang menyinggung
pengamalan shalat. Ibn Mas’ud menjawab : “ Itu dalam hal waktunya.” Ketika
di tanya lagi, bukankah yang di salahkan shalat nya oleh Al-Qur’an itu maksud
nya orang yang meninggalkan shalat, Ibn Mas’ud menjawab : “ kalau sudah
seperti itu berarti kufur ”. pendapat yang sama juga di kemukakan oleh Umar
bin Abdul Aziz dan Al-Qasim bin mukhaimirah ( Tafsir Ibn Katsir ).
Menurut Al-Hafizh Ibn Katsir, disinggung nya shalat di sini bukan berarti tidak memandang penting amal amal lain nya. Akan tetapi shalat itu tiang nya agama, sehingga kalau dalam shalat nya saja sudah tidak benar, berarti dalam ibadah ibadah lainnya pun akan tidak benar. Kembali kepada pembahaan yang menyandingkan antara “menyia nyiakan shalat” dengan “memperturut syahwat” mengindikasikan sebuah hukum sebab dan akibat. Shalat akan disia siakan jika seseorang lebih mementingkan syahwat, demikian juga sebalik nya. Satu generasi akan memuliakan shalat jika mereka mampu mengendalikan syahwat pada jalan akhirat. Salah satu tandanya, sebagaimana di singgung pada ayat sebelum nya, mereka sudah menikmati lantunan ayat ayat Al-Qur’an sampai mampu menggugah jiwa nya dan bahkan memancing air matanya. Akhlaq seperti ini mustahil dirasakan oleh telingan telingan yang slalu mendengar lantunan musik syahwat atau hati yang masih terobsesi dengan hiburan hiburan syahwat. Sungguh jelas sekali Al-Qur’an memberikan pilihan kepada umat ini untuk memilih antara menjadi generasi shalih atau sesat.
Shalat
Pembuka Rizki
“ Dan
perintahkan kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam
mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, kamilah yang memberi rezeki
kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang orang yang bertaqwa ”
(
QS. Thaha : 132 )
Dalam
QS. Thaha : 131 Al Hafizh Ibn Katsir dalam kitab tafsir nya menjelaskan bahwa
ayat sebelum nya ( Thaha : 131 ) merupakan arahan kepada Nabi Muhammad SAW dan
kepada seluruh umatnya agar tidak terlalu fokus pada dunia. Hidup di dunia
harus zuhud; menjauhi foya foya dan tidak memperbanyak aksesoris dunia.
Sementara dalam ayat 132, Allah mengajarkan bahwa rizki itu Allah yang
mengaturnya. Shalat saja yang bener, juga perintahkan keluargamu untuk shalat,
niscaya rizki dari Allah SWT tidak akan sulit dicari. al-Hafizh Ibn Katsir, tampak jelas nyatanya dalam
kehidupan berkeluarga dewasa ini. Masing-masing dari kepala keluarga, juga
istrinya, umumnya hanya memikirkan masalah uang dan penghasilan. Urusan
pendidikan diserahkan kepada sekolah, masjid, dan madrasah saja. jangankan memikirkan pendidikan anak, mengatasi urusan makan
sehari-hari saja sibuknya bukan main.
Padahal Allah swt dalam ayat di atas sudah mengingatkan, kunci rizki itu ada dalam shalat. Shalat yang diamalkan dan diajarkan kepada semua anggota keluarga. Semakin abai orangtua dari shalat dan mendidikkan shalat kepada anak-anak, semakin susah rizki didapat. Maka dari itu, sudah harus diubah paradigma dari kepala, sekarang juga, bahwa yang terpenting dalam berkeluarga itu bukan urusan uang dan penghasilan, tetapi shalat, shalat, dan shalat. Jangan sampai lagi kesibukan mencari uang dan menambah penghasilan mengabaikan tugas memerintah dan mendidik shalat kepada anakistri. Jika shalat sudah hidup dalam keluarga, maka rizki akan datang mengikuti. Itu adalah janji Allah, terserah mau percaya atau tidak.
Jika Shalat Masih Terasa Berat
“
Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat.
Dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang orang yang
khusyuk ”
( QS.
Al-Baqarah : 45 )
Firman Allah SWT: “Dan
sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat" sebagian ulama
menyatakan tertuju kepada shalat secara khusus sebagiannya lagi menyatakan
tertuju kepada ajaran Allah dalam ayat ini secara keseluruhan. Demikian
al-Hafizh Ibn Katsir menjelaskan dalam kitab tafsirnya. Yang jelas dan pasti,
shalat itu akan terasa berat bagi orang orang yang tidak khusyu”. Orang-orang yang
khusyu? itu adalah mereka yang meyakini Sepenuh hati wahyu yang diturunkan oleh
Allah, demikian dikemukakan oleh shahabat Ibn “Abbas. Sementara Mujahid
menyatakan, mereka adalah yang beriman sebenar-benarnya. AbulAliyah
menambahkan, mereka adalah orang-orang yang takut, Menurut Mugatil ibn Hayyan,
mereka adalah orang-orang yang tawadlu. Ad-Dlahhak menjelaskan lebih detail,
mereka adalah orang-orang yang tunduk taat kepada Allah, takut akan siksa-Nya,
dan meyakini janji dan ancaman-Nya.
Khithab dalam ayat di atas, Ibn Jarir at-Thabari menegaskan, ditujukan kepada pemuka-pemuka agama Yahudi dan Kristen, sebab memang dari ayat ke-44 Allah swt sedang menyeru mereka. Jadi intinya, Ibn Jarir menjelaskan, para pemuka Yahudi dan Kristen diseru oleh Allah swt untuk memohon pertolongan kepada Allah swt dengan cara menyabarkan diri dalam ketaatan kepada-Nya dan mendirikan shalat sehingga bisa mencegah dari perbuatan fahsya dan munkar, juga mendekatkan diri pada keridlaan-Nya. Dimana shalat ftu akan sangat berat mendirikannya kecuali bagi mereka yang tawadlu' kepada Allah swt, tunduk taat kepada-Nya dan merasa hina saking takutnya kepada Allah. Jika memang mereka orang orang yang benar dan baik, pasti mereka tidak akan merasakan berat dalam mengamalkan shalat. Jika faktanya terasa berat aleh mereka, Itu berarti mereka hanya pintar bicara, tetapi bohong dalam keyakinan dan amal. Al-Hafizh Ibn Katsir menambahkan, karena redaksi ayatnya umum, maka tentunya ayat di atas tidak tertuju hanya kepada para pemuka agama Yahudi dan Kristen, melainkan umum mencakup semua umat, termasuk umat Islam. Artinya, jika shalat masih terasa berat dirasakan oleh seorang muslim: berat untuk dilaksanakan di awal waktunya, berat untuk dilaksanakan berjama'ah di masjid bagi kaum lelaki yang mendengar panggilan adzan, berat untuk dilaksanakan secara sempurna dengan rukun, syarat, dzikir, dan shalat-shalat sunatnya, berat untuk diamalkan dengan penuh ketenangan hati, itu pertanda yang jelas bahwa orang tersebut belum meyakini sepenuh hati wahyu yang diturunkan oleh Allah dan belum beriman dengan sebenar-benarnya. Atau dengan kata lain, orang tersebut masih sama statusnya dengan para pemuka Yahudi dan Kristen yang tidak beriman kepada Allah SWT.
Bukan
Shaum Kalau Tidak Taqwa
“
Hai orang orang yang beriman, diwajibkan atas kamu shaum sebagaimana diwajibkan
atas orang orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa ”
( QS.
Al-Baqarah : 183 )
Tujuan shaum untuk meraih tagwa,
umumnya kaum muslimin sudah mengetahuinya. Tetapi kalau tagwa itu tidak
berhasil diwujudkan melalui shaum, maka sebetulnya shaum sia-sia, jarang yang
sampai menyadari. Entah karena terlalu sering ayat di atas dibacakan dan dijelaskan
oleh para muballigh, atau hati yang sudah terlalu keras, sehingga nilai-nilai
mulia yang dikandung ayat di atas nyaris selalu & diabaikan. Setiap tahun
shaum dilaksanakan umat Islam, tetapi setiap tahun juga budaya disiplin dalam
ibadah tidak kunjung 4 terwujud. Setiap tahun shaum tidak pernah terlewatkan
dari agenda ibadahnya, tetapi setiap tahun juga ghibah, hasud, dan konfrontasi
& dengan sesama muslim tidak pernah terlewatkan juga. Setiap tahun shaum
Ramadan rutin dijalankan, tetapi setiap tahun juga korupsi dibudayakan di
setiap lini kehidupan masyarakat, mulai tingkat RT sampai pemerintah pusat,
mulai dari yayasan Islam sampai partaipartai Islam. Jika itu yang selalu
terjadi maka berarti shaum Ramadlan yang diamalkan setiap tahun sebetulnya belum
terhitung amal ibadah. Sebab shaum Ramadan disyari'atkan untuk meningkatkan
ketagwaan. Jika di setiap tahunnya ketagwaan itu tidak pernah terwujud, apalah
artinya shaum Ramadlan tersebut.
Dalam hal inilah urgensi sabda Nabi
saw yang menyatakan hanya dengan imanan (karena iman) dan ihfisaban
(mengharap keridlaan dan pahala-Nya) shaum Ramadlan akan benar-benar bernilai.
Jika setiap tahun shaum Ramadlan dilaksanakan, tetapi setiap tahun juga ketagwaan
tidak pernah ditingkatkan, maka kita semua wajib bertanya pada diri, sebenarnya
motif kita shaum Ramadlan apa? Apakah karena betul-betul imanan wa
ihtisaban, atau hanya sekedar formalitas agar bisa ikut meramaikan
lebaran? Apakah karena betul. betul untuk mencapai tagwa atau hanya sekedar
menghindar dari malu karena kalah oleh anak-anak kecil yang juga mampu
melaksanakan shaum Ramadlan? Orang yang bertagwa memang bukan orang yang suci
dari dosa, Bukan berarti kalau shaumnya benar-benar bernilai ibadah, otomatis
dosa tidak pernah terjamah. Orang bertagwa adakalanya berdosa, terjatuh dalam
kesalahan, dan berbuat keliru, tetapi mereka akan segera juga beristighfar dan
bertaubat (QS. Ali Imran (3) : 135).
Akan tetapi jika setiap dosa yang dilakukan dan senantiasa terulang tidak pernah terasa sebagai dosa, sehingga konsekuensinya tidak pernah istighfar dan ingin bertaubat, maka jelas itu pertanda ketagwaan tidak ada dalam diri. Lalu, haruskah shaum Ramadlan tahun ini pun akan dijalankan sebagai rutinitas belaka tanpa tagwa?
Sakit Tidak Harus Sembuh
Dan
berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang
yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, “Sungguh kami ini kepunyaan
Allah dan hanya kepada-Nya kami akan kembali,”
(QS. al-Baqarah : 155-156).
Tidak mustahil kita termasuk yang
lupa dengan ayat ini ketika sakit datang menimpa. Yang diingat oleh kita, sakit
harus segera disembuhkan. Padahal yang dituntut Allah swt hanya sabar.
Kriterianya, tawakka/ (menyerahkan urusan kepada Allah swt) dengan ikrar: “Inna
hil- Llahi wa inna ilaihi raji'un; sungguh kami ini kepunyaan Allah dan hanya
kepada-Nya kami akan kembali.” Bukan dengan stres, gelisah, atau galau karena
sakit yang ingin sesegera mungkin sembuh. Terkait ayat-ayat seperti ini maka
para shahabat mengkonfirmasi, apakah itu berarti berobat hukumnya haram? Maka
Nabi saw
“Berobatlah
karena sesungguhnya Allah tidak membuat penyakit kecuali Dia membuat obatnya.
Kecuali satu penyakit: tua” (Sunan Abi Dawud )
Terkait hadits
ini Imam al-'Azhim Abadi dalam “Aunul Ma bud menjelaskan:
Zhahirnya,
perintah di sini menunjukkan mubah dan rukhshah. Dan itu yg sesuai dengan
konteks kalimat, sebab pertanyaannya, secara pastinya, tentang kebolehan. Maka
yang mudah dipahami dari jawaban beliau adalah penjelasan kebolehannya. Ada sebagian
ulama yang menyatakan babwa perintah ini menunjukkan sunat, tetapi itu terlalu
jauh, karena sungguh ada pujian bagi yang tidak berobat dan minta dirugyah
disebabkan tawakkal kepada Allah. Ya memang benar, Rasulullah saw pernah
berobat, tetapi itu sebagai penjelasan bahwasanya itu boleh. Maka siapa yang
niatnya ingin sama dengan beliau, ia akan diberi pahala.”
Hadits tentang pujian bagi yang
tidak berobat dan minta diruqyah disebabkan tawakkal kepada Allah itu sendiri
diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih al-Bukhari kitab at-thibb
bab man iktawa au kawwa ghairuhu (tentang orang yang minta dikay atau
mengkay orang lainnya) no. 5705, Shahih Muslim kitab al-iman bab ad-dakl
'ala dukhul thawa'if minal-muskimin al-jannah bi ghairi hisab (tentang
masuknya sekelompok kaum muslimin ke surga tanpa dihisab/ disiksa) no. 549.
Hadits yang dimaksud adalah:
“ ..
lalu dikatakan kepadaku: Ini umatmu, Dari mereka akan ada yang masuk surga
sebanyak 70.000 orang tanpa dihisab.» ... Nabi saw keluar dan bersabda: “Mereka
adalah orang-orang yang tidak minta diruqyah (jampi), tidak percaya thiyarah
(sial), tidak minta dikayy (diobati dengan besi panas), dan mereka tawakkal
kepada Rabb.”
Syaikh
“Abdurrahman ibn Hasan dalam Fathul Majid Syarh Kitab di-Tauhid menjelaskan,
berdasarkan hadits ini di kalangan madzhab Hambali dipahami bahwa berobat itu
hukumnya mubah, , tetapi sebaiknya tidak. Madzhab Maliki menyatakan
sama, tetapi tidak ada yang lebih baik, kedua-duanya sama, berobat atau
tidak, sama sama boleh. Sementara madzhab Syafi'i dan Hanafi menyatakan sebatas
sunat. Artinya jumhur ulama tidak ada yang menyatakan berobat hukumnya wajib.
Dalam hal ini Syaikhul-Islam Ibn Taimiyyah berkata: “Tidak wajib
menurut jumbur ulama. Yang mewajibkan hanya sekelompok kecil ulama Syafi'i dan
Ahmad,”
Jangan
Lalai Dari Ayat Allah
“ Sesungguhnya orang-orang yang tidak
mengharapkan (tidak percaya akan) pertemuan dengan Kami, dan merasa puas dengan
kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan itu dan orang-orang yang
melalaikan ayat-ayat Kami, mereka itu tempatnya ialah neraka, disebabkan apa
yang selalu mereka kerjakan.”
( QS. Yunus : 7-8 ).
Ayat di atas memberitahukan empat
sifat yang saling berkaitan dari para penghuni neraka, yaitu: Pertama, tidak
mengharapkan pertemuan dengan Allah SWT. Artinya, mereka yang sudah putus asa
dengan akhirat dan pola pikirnya “bagaimana nanti saja” bukan “untuk nanti
harus bagaimana”. Harapan bertemu dengan Allah swt ini merupakan bentuk
keimanan dasar yang akan mempengaruhi baik jeleknya amal seseorang. Jika ia
tidak banyak berharap, maka amalnya akan jelek. Jika ia sangat yakin akan
bertemu dengan Allah swt niscaya amalnya akan baik
Jadikanlah
sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh
berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu', (yaitu) orang-orang yang meyakini
bahwa mereka akan menemui tuhannya dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya (QS.
Al-Bagarah : 45-46 ).
Kedua,
merasa puas dengan kehidupan dunia sehingga sama sekali tidak mementingkan
akhirat. Kehidupan dunia itu sendiri digambarkan dalam QS, Al-Hadid : 20
sebagai kehidupan yang berisi la'ib (permainan/wisata/sandiwara), lahwun
(hiburan), zinah (perhiasan), tafakhur (saling berbangga diri),
dan takatsur (memperbanyak harta dan anak). Siapa saja orang yang
hidupnya hanya diisi dengan lima hal tersebut, itulah orang yang radlu:
merasa puas dengan kehidupan dunia. Padahal sejatinya, bagi orang yang beriman
kehidupan sebenarnya itu adalah akhirat, dunia hanya sandiwara saja,
Dan
tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan
sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui (QS.
Al-'Ankabut : 64).
Ketiga, merasa tenteram dengan dunia
dan menilai bahwa kebahagiaan itu didapatkan ketika dunia dimiliki. Padahal
sejatinya ketenteraman itu hanya akan didapatkan dengan dzikrul Llah, bukan
dengan menikmati dunia (QS. Ar-Ra'd : 28). Yang seperti ini bukan ketenteraman
yang akan didapatkan, melainkan kecemasan dan kekhawatiran tiada ujung karena
takut dunianya menghilang (QS. Thaha : 124). (Yang akan mendapat hidayah Allah itu
adalah) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan dzikir
kepada Allah. Ingatlah, hanya dengan berdgikir kepada Allah-lah hati menjadi
tenteram (QS. Ar Rad : 28). Dan siapa yang berpaling dari dgikir
kepada-Ku, maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit (QS. Thaha (20)
: 124)
Keempat, melalaikan ayat-ayat Allah swt, baik yang gauliyyah (Al Qur'an) ataupun kauniyyah (alam semesta). Iman pada keberadaan al-Qur'an tetapi tidak sering membacanya, apalagi mengkajinya, Merenungkannya dan mengikuti majelis ta'lim yang membedahnya. Tahu ada peristiwa banjir, longsor, gunung meletus, gerhana, dan lain sebagainya, tetapi hanya sebatas tahu, tanpa mau merenungkan Sang Kreator di balik itu semua. Karakter seperti ini muncul disebabkan sifat sebelumnya, yakni putus asa dengan akhirat dan terlalu fokus pada dunia. Orang-orang seperti ini tidak peduli ada gerhana atau tidak ada gerhana, tidak peduli ada banjir atau tidak banjir, yang penting dirinya tidak terkena banjir. Orang seperti ini hanya akan mendapatkan neraka disebabkan tingkah polah mereka sendiri.
Haram
Memvonis Kafir
“..Dan
janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan “salam” kepadamu: “Kamu
bukan seorang mukmin” (lalu kamu membunuhnya)...”
( QS. An-Nisa' : 94 )
Ibn Katsir meriwayatkan beberapa
riwayat yang berbeda namun semakna terkait asbabun-nugul (latar belakang turun)
ayat ini. Di antaranya sebagaimana yang dijelaskan Ibn “Abbas, sebuah pasukan
diutus oleh Nabi saw untuk memerangi satu kaum yang membahayakan umat Islam.
Setibanya di tempat, kaum yang hendak diperangi tersebut sudah lari terlebih
dahulu. Hanya tinggal tersisa seseorang yang ketika ditemukan ia mengucapkan
syahadat. AlMigdad ibn al-Aswad kemudian membunuhnya karena berasumsi orang itu
hanya hendak melindungi dirinya sendiri dengan syahadat palsu. Seorang shahabat
lainnya saat itu menegur al-Migdad atas perbuatan cerobohnya, dan ia pun
melaporkannya kepada Rasulullah saw setibanya di Madinah. Rasul saw saat itu
langsung saja menegur al-Migdad, sebab sebagaimana sudah diajarkan Rasul saw,
tidak boleh membunuh seseorang yang sudah mengucapkan /a ilaha illallah.
Tentang kebenaran ucapan tersebut, hisabnya diserahkan kepada Allah swt saja.
Tidak lama dari itu, Rasul saw juga menjelaskan bahwa tidak mustahil orang yang
dibunuh tadi sama seperti para Shahabat dahulu ketika di Makkah, tidak berani
bersyahadat karena takut dibunuh orang kafir, dan baru berani bersyahadat
ketika orangorang kafir tidak ada. Di sinilah maka turun firman Allah SWT di
atas yang terjemah lengkapnya:
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka
telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan “salam”
kepadamu: “Kamu bukan seorang mukmin” (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud
mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di sisi Allah ada harta yang
banyak. Begitu jugalah keadaan kamu dahulu, lalu Allah menganugerahkan
nikmat-Nya atas kamu, maka telitilah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan.”
Terjemah “lalu kamu membunuhnya”
ditulis dalam kurung, sebab memang tidak ada teks arabnya pada ayat di atas.
Terjemah tersebut dipahami dari riwayat-riwayat yang menjadi asbabun-nuzul
ayat di atas. Ini sekaligus menjadi sebuah isyarat bahwa konsekuensi dari penilaian
“kafir/tidak beriman” yang ditujukan kepada seseorang yang bersyahadat/salam
tidak bisa dianggap sepele, sebab justru akan berdampak besar dengan
menimbulkan dampak hukum lanjutannya, yakni halal darahnya. Dalam hal ini maka
tabayyun (klarifikasi) berdasarkan Imu mutlak diperlukan. Kepada orang
yang zhahirnya kafir lalu bersyahadat saja tidak boleh disebut kafir, apalagi
kepada orang-orang yang memang dari asalnya sudah Islam. Haram memvonis kafir
kepada mereka.
Jika vonis kafir kepada sesama
muslim diobral terlalu murah, jangan heran jika kemudian banyak aksi kekerasan
dengan dalih jihad melawan orang-orang kafir, meski orang-orang kafir itu masuk
kategori yang haram dibunuh. Muncul kenekatan melawan polisi dengan senjata dan
bom hanya karena keyakinan bahwa polisi pasukan dari pemerintah yang kafir.
Meski sang pimpinannya mengaku tidak pernah memfatwakan harus berjihad
mengangkat senjata kepada polisi, pemerintah, atau orang-orang kafir yang ada
di Indonesia, dan hanya mengaku sebatas memfatwakan pemerintah sudah kafir
saja, ya memang demikianlah ayat di atas dan sababun nuzul-nya
memberikan pelajaran. Kekeliruan vonis kafir akan melahirkan aksi kejam
membunuh orang-orang yang divonis kafir.
Ancaman
Bagi Yang Memusuhi Umat Islam
Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang
mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya
mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata
(QS. Al-Ahzab : 58).
Ayat ini sebagaimana dijelaskan
al-Hafizh Ibn Katsir, ditujukan kepada siapa saja yang menyebarkan “aib,
merendahkan, dan menjelek-jelekkan kaum mu'minin laki-laki atau perempuan.
Padahal mereka sama sekali jauh dari semua tuduhan “aib, rendah, dan jelek
tersebut. Al-Hafizh Ibn Katsir menegaskan, contoh yang paling nyata adalah kaum
Syi'ah dan Rafidlah yang berani menjelek-jelekkan dan merendahkan para
shahabat. Padahal para shahabat sudah jelas dinyatakan oleh Allah swt diridlai
oleh-Nya dan Allah swt sendiri yang memuji keistimewaan kaum Muhajirin dan
Anshar ( QS. atTaubah : 100 ). Akan tetapi kaum Syi'ah/ Rafidlah
terang-terangan menghina mereka yang dimuliakan oleh Allah swt. Jika sampai
menyiksa dan menzhalimi kaum mu'minin secara fisik, bukan hanya secara psikis
dan mentalnya saja, maka Allah swt memberikan ancaman yang Lega juga dalam
firmanNya yang lain:
“Sesungguhnya
orang-orang yang menyiksa orang-orang yang mukmin laki-laki dan perempuan
kemudian mereka tidak bertaubat, maka bagi mereka adab Jahannam dan bagi mereka
adzab (neraka) yang membakar.” ( QS. al-Buruj : 10 ).
Ayat di atas latar belakang
kronologisnya (sabab muzul) ditujukan kepada pasukan penggali parit (ashabul
ukhdud) di Yaman pada zaman sebelum kenabian Muhammad saw yang membakar
hidup. hidup setiap orang yang beriman kepada Allah swt. Dengan lafazh ayat
yang umum seperti dalam surat al-Buruj tersebut, maka berarti ayat itu
ditujukan secara umum kepada siapa saja yang menyiksa kaum mu'minin, baik
dengan membakar, memukul, atau memenjarakan. Umat Islam Indonesia sering
menghadapi cobaan yang mirip seperti disitir ayat-ayat di atas. Mereka yang
sebenarnya selalu setia kepada NKRI dari mulai merebut kemerdekaannya, mendirikannya
dengan cara mempelopori peleburan dari RIS, sampai menjaganya dengan membina
kerukunan dan pembangunan, hari ini malah dituduh radikal, anti-Pancasila, anti
kebhinekaan, tidak menghargai kaum lintas agama, dan tuduhan-tuduhan
menyakitkan lainnya. Padahal mereka yang menuduh itu umumnya para pengemplang
pajak dan abai dari tax amnesty, sementara umat Islam selalu taat bayar
pajak. Beberapa tokoh umat Islam malah sampai dikriminalisasi dan akan
menghadapi serangkaian tuntutan makar atau perbuatan asusila. Umat Islam tentu
harus menghadapinya dengan bersabar dan tetap teguh berjuang. Apapun yang
terjadi, Allah swt tidak akan tinggal diam. Siksa yang pedih siap ditimpakan
oleh-Nya kepada siapa saja yang berani memusuhi umat Islam. Allahu Akbar!
Perhatikan
Generasimu
“Dan
hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di
belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertagwa kepada Allah
dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”
(QS. An-Nisa (41: 9)
Imam Ibn Katsir menjelaskan,
terdapat dua penafsiran terkait ayat ini: Pertama, ayat ini ditujukan kepada
orang-orang yang hadir di sekitar orang yang berwasiat ketika ajalnya terasa
mendekat. Allah swt memerintahkan kepada orang-orang yang hadir tersebut untuk
mengingatkan sang pembuat wasiat agar memperhatikan keturunan mereka. Jangan
sampai mereka meninggalkan keturunan mereka dalam keadaan lemah dan tidak
sejahtera, padahal mereka memiliki kekayaan yang cukup. Jangan sampai itu
terjadi disebabkan mereka timpang dalam wasiatnya, yakni terlalu besar
memberikan harta kepada selain keturunan mereka. Kepada mereka yang hadir dan
tahu apa yang dilakukan oleh pembuat wasiat tersebut Allah swt memerintahkan
mereka, hendaklah mereka bertagwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan
perkataan yang benar. Artinya jangan sampai mereka tidak menegur karena
segan/takut kepada sang pembuat wasiat, dan kalaupun hendak menegur, tegurlah
dengan teguran yang tepat. Hadits Sa'ad ibn Waggash yang dimaksud adalah:
“Wahai
Rasulullah, aku telah tertimpa penyakit sebagaimana yang anda lihat. Aku punya
harta yang banyak tetapi tidak ada yang mewarisiku keruali anak perempuanku
satu-satunya. Bolehkah aku bersedekah dengan dua pertiga hartaku?”
Beliau menjawab: “Tidak boleh.” Ia bertanya lagi: “Boleh aku
menyedekahkan setengahnya?” Beliau menjawab: “Tidak boleh.” Beliau
bersabda: “Sepertiga saja wahai Sa'ad, dan sepertiga itu sudah banyak.
Sesungguhnya engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya lebih baik
daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan fakir meminta-minta kepada
orang lain.” (Shahih al-Bukhari kitab managib al-Anshar )
Sementara penafsiran yang kedua,
menurut Imam Ibn Katsir, ayat ini ditujukan kepada wali-wali anak yatim.
Maksudnya, perlakukanlah mereka seperti anak keturunan mereka sendiri. Kalau
mereka takut jikalau anak keturunan mereka lemah dan tidak sejahtera ketika
ditinggalkan mati oleh mereka, maka hendaklah hal yang sama mereka berlakukan
juga kepada anak-anak orang lain yang kebetulan sedang mereka urus. Jangan
sampai mereka menyusahkan anakanak yatim tersebut, termasuk jangan sampai
mereka mengorupsi harta mereka yang ditinggalkan oleh orangtua mereka. Maka
dari itu, ayat sebelum dan sesudahnya memberikan peringatan yang keras kepada
mereka yang menjadi wali anak yatim dan mengorupsi harta milik anak yatim
tersebut. Kedua penafsiran tersebut bersumber dari shahabat Ibn “Abbas. Akan
tetapi untuk penafsiran kedua, Ibn Katsir cukup menilainya hasan.
Sementara penafsiran pertama, menurut Ibn Katsir, banyak ulama yang
menguatkannya. Terlebih dikuatkan oleh hadits shahih yang menyatakan bahwa
Rasul saw memerintahkan Sa'ad ibn Abi Waggash agar berwashiat kepada selain
ahli warisnya tidak lebih das 1/3. Artinya, Rasul saw yang waktu itu hadir di
saat Sa'ad berwasiat dan menegur Sa'ad, adalah salah satu bentuk pengamalan
dari aya' di atas.
Ayat ini sangat tepat dan sesuai
sekali dengan fakta yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Banyak orang
menyayangkan anak keturunan seseorang yang ditinggalkan mati oleh orangtuanya
dalam keadaan lemah dan sengsara. Padahal semestinya sikap “menyayangkan”
seperti itu jangan hanya diungkapkan sesudahnya, Sebelum itu terjadi semestinya
semua pihak yang terkait berusaha untuk mencegahnya. Mencegah agar
generasi-generasi yang akan datang tidak ditinggalkan dalam keadaan lemah dan
tidak sejahtera, Maka setiap yang akan membagikan waris dan wasiat harus siap
untuk diawasi dan ditegur jika seandainya ada yang keliru. Setiap pengurus anak
yatim juga harus profesional dan tidak korup. Mereka juga harus banyak dibantu
agar kelak anak-anak yatim yang mereka urus menjadi manusia-manusia yang
sejahtera. Termasuk anak-anak lainnya, baik itu anak-anak sendiri atau
anak-anak orang lain, setiap muslim harus peduli dengan keberlangsungan masa
depan mereka, khususnya terkait dengan kesejahteraan hidup mereka. Sudah tentu
bukan berarti kesejahteraan dalam agama tidak diperhatikan. Ini lebih
diprioritaskan. Teladannya adalah manusiamanusia agung yang diabadikan dalam
al-Qur an, di antaranya Nabi Ibrahim dan Ya'qub ‘alaihimas-salam:
Dan Ibrahim
telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Yakub. (Ibrahim
berkata): “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini
bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam”. Adakah
kamu hadir ketika Yakub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada
anak-anaknya: “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab: “Kami
akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishak,
(yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.” (QS.
al-Bagarah : 132-133). Hanya al-Qur'an tidak menghendaki umatnya berpola pikir
timpang: hanya memikirkan akhirat saja, tetapi dunia diabaikan, ataupun
sebaliknya. Kedua-duanya harus dipikirkan, sebab keshalihan akhirat sangat
tergantung juga dengan kesejahteraan duniawi. Wal-Llahu alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar