Resensi Buku Ulumul Qur’an Dr. H. Nurdin, M.Ag
Disusun oleh
Kelompok 3 kelas PAI IB:
Alif Nur
Shobari (210414028)
Ahmad Flandi
Kusuma (210414021)
IDENTITAS BUKU
Judul buku: Ulumul Qur'an
Penulis: Dr.
H. Nurdin, M.Ag
BAB I
PENDAHULUAN
Al-Qur‟an bagi kaum muslimin
adalah kalamullah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan
malaikat Jibril. Kitab suci ini memiliki kekuatan luar biasa yang berada diluar
kemampuan manusia. Sebagaimana Firman Allah “sesungguhnya kami turunkan
Al-Qur‟an ini kepada sebuah gunung, maka kamu akan melihatnya tunduk terpecah
belah disebabkan takut (gentar) kepada Allah SWT, dan perumpamaan-perumpamaan
itu kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir”.
Al-Qur‟an berada tepat di
jantung kepercayaan muslim dan berbagai pengalaman keagamaan. Tanpa pemahaman
yang semestinya terhadap Al-Qur‟an, kehidupan, pemikiran dan kebudayaan kaum
muslimin tentunya akan sulit dipahami.
Allah SWT menurunkan Al-Qur‟an
kepada Rasul kita Muhammad SAW untuk membimbing manusia, sebagai penyempurnaan
kitab-kitab samawi sebelumnya, dan berfungsi sebagai petunjuk bagi umat manusia
serta pembeda antara haq dan yang bathil. Uniknya, Al-Qur‟an tidak turun secara
serta merta, melainkan dengan bertahap dan berangsur-angsur selama kurang lebih
23 tahun.
Al-Qur‟an semenjak diturunkan
Allah SWT melalui perantaraan malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW, hingga
saat ini masih utuh dan masih terjaga keasliannya, karena Allah SWT telah
menjamin kemurniaan dan kesucian Al-Qur‟an, akan selamat dari usahausaha
pemalsuan, penambahan atau pengurangan-pengurangan baik dari segi bahasa,
dialek dan tulisannya, sebagaimana Firman Allah SWT yaitu :
ا نا نحن نزلنا
الذ كروا نا له لحفظون
Artinya : “Sesungguhnya Kami-lah
yang menurunkan Al-Qur‟an, dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya”.
(QS. Al-Hijr:9
Al-Qur‟an adalah sebuah
keajaiban yang luar biasa yang diberikan Allah SWT, kepada Nabi-Nya yang mulia.
Kemudian diteruskan kepada umatnya yang beriman untuk dijadikan sebagai pedoman
yang abadi dalam hidup dan kehidupan.
BAB II
SEJARAH TURUN DAN PEMELIHARAAN AL-QUR’AN
A. Devinisi Al-Qur’an
Al-Qur‟an secara etimologi
merupakan bentuk mashdar dari kata kerja (fi‟il) yaitu “qara‟a” yang diartikan
sebagai “membaca”. Dengan demikian bila diartikan dengan Al-Qur‟an bermakna
“bacaan” atau “yang dibaca” (maqru‟). Dalam manuskrip Al-Qur‟an beraksara kufi
yang awal, kata ini ditulis tanpa menggunakan hamzah yakni Al-Qur‟an, dan hal
ini telah menyebabkan sejumlah kecil sarjana muslim memandang bahwa terma itu
diturunkan dari akar kata qarana yaitu “menggabungkan sesuatu dengan sesuatu
yang lain” atau mengumpulkan”, dan Al-Qur‟an berarti “kumpulan” atau
“gabungan”.
Sedangkan menurut terminologi Al-Qur‟an adalah
“kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya, melalui perantaraan malaikat
Jibril yang lafadz-lafadznya mengandung mukjizat, membacanya mempunyai nilai
ibadah, yang diturunkan secara mutawatir, dan yang ditulis pada mushaf, mulai
dari surat Al-Fatihah dan diakhiri surat An-Nas.5
Al-Qur‟an adalah firman Allah
SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril yang
diturunkan secara berangsur-angsur dalam masa 22 tahun 2 bulan 22 hari atau
selama 23 tahun (13 tahun di kota Mekkah dan 10 tahun di kota Madinah) yaitu
mulai 17 Ramadhan tahun 41 dari kelahiran Nabi Muhammad SAW, sampai 9
Dzulhijjah Haji Wada‟ tahun 63 dari kelahiran Nabi atau tahun 10 H.
B. Pemeliharaan
Al-Qur’an
1. Pemeliharaan Al-Qur’an Pada Masa Rasulullah
SAW
Allah
menghendaki wahyu yang diturunkan-Nya itu terpelihara keorisilannya
selama-lamanya. Ada dua cara yang dicatat oleh sejarah dalam hal pemeliharaan
Al-Qur‟anul pada masa Rasulullah SAW diantaranya adalah dengan menghafal dan
menuliskannya.
Diantara sahabat-sahabat
yang menjadi para penulis wahyu pada masa Rasulullah ialah Ubay ibn Ka‟ab
(w.645), Mu‟adz ibn Jabal (w.639), Zaid Ibn Tsabit, Abu Zaid Al-Ashari (w.15H),
Ali bin Abi Talib, Sa‟ad Ibn Ubayd (w.637), Abu Al-Darda (w.652), Ubayd Ibn
Muawiyah, Tamim Al-Dari (w.660), Abd Allah Ibn Mas‟ud (w.625),Salim Ibn Ma‟qil
(w.633),Ubadah ibn Shamit, Abu Ayyub (w.672), dan Mujammi‟ Ibn Jariyah. Dengan
demikian terdapatlah dimasa Rasulullah SAW tiga unsur yang dapat memelihara
Al-Qur‟an, diantaranya adalah karena hafalan para sahabat yang menghafal
Al-Qur‟an, naskah-naskah yang ditulis untuk nabi, dan naskah-naskah yang
ditulis oleh mereka yang pandai menulis dan membaca untuk mereka masing-masing.
2.
Pemeliharaan Al-Quran Pada Masa Abu Bakar Sampai Umar Bin Khatab
Selepas
Rasulullah SAW wafat, pemerintah Islam dipegang oleh Abu Bakar, yang dilantik
menjadi khalifah pada tahun ke-11 hijrah. Pada zaman beliau menjadi khalifah,
ada beberapa peristiwa-peristiwa besar berkenaan dengan kemurtadan sebagai
orang arab, karena itu beliau menyiapkan pasukan dan mengirimkan untuk
memerangi orang-orang murtad itu. Diantara peperangan- peperangan yang terkenal
yang terjadi pada masa kekhalifahan Abu Bakar yang paling terkenal adalah
perang Yamamah. Menurut suatu riwayat dikatakan bahwa pada perang tersebut dari
kalangan muslim yang syahid sebanyak 1.000 orang, diantara yang syahid terdapat
70 orang Qori‟ dan hafizh al-qur‟an dan ada yang berpendapat lebih dari itu. 27
Hal ini menimbulkan kekhawatiran di hati Saidina Abu Bakar akan hilangnya
Al-Quran. Bahkan atas saran dan desakan Saidina Umar, Abu Bakar mengambil
keputusan untuk mengumpulkan/menyusun Al-Qur‟an. Kemudian Abubakar
memerintahkan Zaid bin Thabit (penulis atau sekretaris Nabi) untuk menjalankan
tugas tersebut dengan mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur‟an dari daun, pelepah
kurma, batu, tanah keras, tulang unta ataupun dari sahabat-sahabat yang
menghafalnya. Kemudian dibandingkan satu sama lainnya dengan pengawasan
Abubakar dan Umar serta tokoh sahabat lainnya, sehingga mencapai target yang
sejalan dengan tuntutan Allah dan Rasulnya. Sehingga Al-Quran ditulis secara
mutawatir dalam mushaf sesuai dengan ketetapan Nabi SAW.
3. Ustman
bin Affan dan Ali Bin Abi Thalib
Khalifah Ustman
kemudian mengutus seseorang kepada Hafshah agar Hafshah mengirimkan
lembaran-lembaran Al-Qur`an yang ada padanya kepada Utsman untuk disalin, dan
setelah itu akan dikembalikan lagi. Hafshah pun mengirimkan lembaran-lembaran
Al-Qur`an itu kepada Utsman. Oleh Utsman dibentuklah satu panitia, terdiri dari
Zaid bin Tsabit (sebagai ketua/sebagai penulis Al-Qur‟an), Abdullah bin Zubair,
Said bin al-„Ash (sahabat yang pintar bahasa arab dan sekaligus pendekte dalam
hal penulisan Al-Qur‟an), dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam.
Tugas Panitia
ini ialah membukukan Al-Qur‟an yaitu menyalin dari lembaran-lembaran tersebut
menjadi sebuah buku. Jumlah salinan yang telah dicopy sebanyak tujuh buah.
Tujuh salinan tersebut dikirimkan masing-masing satu copy ke kota Makkah, Syam,
Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah dan satu ditinggalkan di Madinah untuk usman
sendiri. Mushhaf inilah yang kemudian dikenal dengan nama Mushhaf Utsmani.
Kemudian Utsman memerintahkan Al-Qur`an yang ditulis oleh sebagian kaum
muslimin yang bertentangan dengan Mushhaf Utsmani yang mutawatir tersebut untuk
dibakar. Maka dari mushaf yang ditulis di zaman Ustman itulah kaum muslimin di
seluruh pelosok menyalin Al-Qur`an itu dengan tidak berlawanan dengan apa yang
ditulis dalam mushaf-mushaf yang ditulis dimasa tersebut.
Pada masa
pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib, tidak ada perubahan yang didapatkan
dan pada intinya mushaf tersebut tetap seperti zaman Usman Bin Affan.
BAB III
ILMU-ILMU AL-QUR’AN
A. Asbabun Nuzul
1. Definisi Asbabun Nuzul
Secara etimologis asbâbun (سثاب ( adalah bentuk jamak
dari sabab (سثة
( dengan arti sebab. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sebab adalah hal yang
menyebabkan sesuatu; lantaran; karena dan (asal) mula.32 Nuzûl artinya turun,
sedangkan turun adalah bergerak dari atas ke bawah; bergerak ke tempat yang lebih
rendah daripada tempat semula.
Jika
dihubungkan dengan Quran, turun harus dipahami secara majazi (metaforis), bukan
hakiki, yaitu اٱظهار)
menampakkan) atau الم اٱ
(memberitahukan) atau اٱفهام)
memahamkan). Dengan pemahaman secara metaforis tersebut Nuzûl Quran berarti
peroses penampakan, pemberitahuan dan pemahaman Quran kepada Nabi Muhammad SAW.
Dengan demikian secara terminologis, yang dimaksud dengan asbabun nuzul adalah
hal yang menjadi sebab turunnya satu ayat kelompok ayat atau satu surat Quran kepada
Nabi Muhammad SAW. Hal yang menjadi sebab itu bisa suatu peristiwa yang terjadi
pada masa Nabi atau pertanyaan yang diajukan kepada beliau. Dalam bentuk
pristiwa misalnya, apa yang diriwayatkan oleh Bukhari dari jalur „Ikrimah dari
Ibn Abbas bahwasanya Hilal ibn Umayyah mengadukan kepada Rasulullah SAW bahwa
isterinya berzina dengan Syarik ibn Samhak, lalu Nabi memintanya menunjukkan
bukti dengan menghadirkan empat orang saksi. Kalau tidak, justru punggung Hilal
yang akan dicambuk. Hilal menyatakan kepada Nabi, apakah jika seseorang
mendapatkan isterinya sedang berzina dengan seorang laki-laki, dia harus pergi
mencari saksi terlebih dahulu? Nabi tetap dengan keputusannya, yaitu apabila
Hilal tidak dapat menghadirkan empat orang saksi, maka justru dia sendirilah
yang akan di kukum.
Karena tidak
dapat berbuat apa-apa lagi, maka Hilal berharap Allah akan menurunkan ayat yang
akan membebaskan dirinya dari hukuman karena dia merasa benar. Hilal berkata:
“Demi Allah, Dzat yang mengutus engkau dengan haq, sesungguhnya aku benar dan
mudah-mudahan Allah menurunkan sesuatu yang menghindarkanku dari hukum cambuk”.
Maka turunlah Jibril AS membawa surat An-Nur 6-9 sebagai petunjuk bagaimana
seharusnya menyelesaikan masalah seperti ini. Allah SWT berfirman:
“Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la›nat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah, sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orangorang yang dusta. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orangorang yang benar.”(Q.S. AnNur 24: 6-9).
2. Fungsi
Memahami Asbab al-Nuzul
Adapun fungsi memahami asbab al-nuzul antara
lain: Mengetahui hikmah dan rahasia diundangkannya suatu hukum dan perhatian
syara‟ terhadap kepentingan umum, tanpa membedakan etnik, jenis kelamin dan
agama. Jika dianalisa secara cermat, proses penetapan hukum berlangsung secara
manusiawi, seperti penghapusan minuman keras, misalnya ayat-ayat al-Qur‟an
turun dalam empat kali tahapan, yaitu:
Pertama
“Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat
minuman yang memabukkan dan rezki yang baik. Sesunggguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan...”
(QS. An-Nahl/16: 67).
Kedua
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan
judi. Katakanlah: “Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat
bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”.(QS.
Al-Baqarah/2: 219).
Ketiga
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu
ucapkan.” (QS. An-Nisa‟/4: 43)
Keempat
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya
(meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan
panah, adalah ter-masuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatanperbuatan itu
agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. AlMa‟idah/5: 90).
Pengetahuan asbab al-nuzul dapat mengkhususkan
(takhsis) hukum terbatas pada sebab, terutama ulama yang menganut kaidah “sabab
khusus”. Sebagai contoh, turunnya ayat-ayat Zhihar pada permulaan surat
al-Mujadalah, yaitu dalam kasus Aus ibn al-Shamit yang menzhihar istrinya,
Khaulah binti Hakam ibn Tsa‟labah. Hukum yang terkandung di dalam ayat-ayat ini
khusus bagi keduanya dan tidak berlaku bagi orang lain. Yang paling penting
ialah, asbab al-nuzul dapat membantu memahami apakah suatu ayat berlaku umum
atau berlaku khusus, selanjutnya dalam hal apa ayat itu diperankan. Maksud yang
sesungguhnya suatu ayat dapat difahami melalui pengenalan asbab al-nuzul.
3.
Cara-cara Mengetahui Asbab al-Nuzul
Asbab al-Nuzul diketahui melalui riwayat yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Tetapi tidak semua riwayat yang disandarkan
kepadanya dapat dipegang atau diterima. Riwayat yang dapat dipegang ialah riwayat-riwayat
yang memenuhi syarat-syarat tertentu sebagaimana ditetapkan para ahli hadits.
Secara khusus dari riwayat asbab al-nuzul ialah riwayat dari orang yang
terlibat dan mengalami peristiwa yang diriwayatkannya (yaitu pada saat wahyu
itu diturunkan). Riwayat yang berasal dari tabi‟in yang tidak merujuk kepada
Rasulullah dan para sahabatnya, dianggap lemah (dha‟if). Sebab itu, seseorang
tidak dapat begitu saja menerima pendapat seorang penulis. Karena itu kita
harus mempunyai pengetahuan tentang siapa yang meriwayatkan peristiwa tersebut,
dan apakah waktu itu ia memang sunguh-sungguh menyaksikan dan kemudian siap
yang menyampaikannya kepada kita.
4.
Jenis-jenis Asbab al-Nuzul
Mengenai jenis-jenis asbab al-nuzul dapat
dikatagorikan kedalam beberapa bentuk sebagai berikut:
a. Sebagai tanggapan atas suatu peristiwa
umum. Bentuk sebab turunnya ayat sebagai tanggapan terhadap suatu peristiwa,
misalnya riwayat Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah pernah ke Al-Bathha, dan ketika
turun dari gunung beliau berseru: “Wahai para sahabat, berkumpullah”. Ketika
melihat orang-orang Quraiys yang juga ikut mengelilingi, maka beliaupun
bersabda: “Apakah engkau akan percaya, apabila aku katakan bahwa musuh tengah
mengancam dari balik punggung gunung, dan mereka bersiap-siap menyerang, entah
di pagi hari ataupun di petang hari”. Mereka menjawab: “Ya, kami percaya karena
kami belum pernah mendapatkan engkau berdusta.” Maka, Rasulullah bersabda,
“Ketahuilah, bahwa sesung-guhnya aku memberi peringatan kepada kalian tentang
siksa yang sangat pedih.” Lalu Rasulullah mengajak mereka beriman kepada Allah.
Maka berkatalah pamannya sendiri yang bernama Abu Lahab, “Celaka engkau wahai
Muhammad, apakah hanya untuk urusan ini kamu mengumpulkan kami? Maka Allah
kemudian menurunkan Surat al-Lahab sebagai jawaban: “Binasalah kedua tangan Abu
Lahab. Dan sesung-guhnya Dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta
bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak Dia akan masuk ke dalam api yang
bergejolak. Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar. Yang di lehernya
ada tali dari sabut...” (QS. Al-Lahab/111: 1-5).
b. Sebagai tanggapan atas peristiwa khusus.
Contoh sebab turunnya ayat sebagai tanggapan atas suatu peristiwa khusus ialah
turunnya surat Al-Baqarah ayat 158, sebagaimana telah diuraikan terdahulu.
c. Sebagai jawaban terhadap pertanyaan kepada
Nabi. Asbab al-nuzul lainnya ada dalam bentuk pertanyaan kepada Rasulullah,
seperti turunnya Firman Allah:
"Allah mensyari‟atkan bagimu
tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak lelaki
sama dengan bagian dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya
perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh
harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masing-nya seperenam dari
harta yang ditinggalkan.” (QS. An-Nisa‟/4: 11).
Ayat tersebut turun untuk memberi jawaban
secara tuntas terhadap pertanyaan Jabir kepada Nabi, sebagaimana diriwayatkan
Jabir: “Rasulullah datang bersama Abu Bakar, berjalan kaki mengunjungiku
(kerena sakit) di perkampungan Bani Salamah. Rasulullah menemukanku dalam
keadaan tidak sadar, sehingga beliau meminta agar disediakan air, kemudian
berwudhu, dan memercikkan sebagian kepada tubuhku. Lalu aku sadar, dan
berkata:”Ya Rasulullah ! Apakah yang Allah diperintahkan bagiku berkenaan
dengan harta benda milikku ?” Maka turunlah ayat di atas sebagai jawaban.
d. Sebagai jawaban dari pertanyaan
Nabi Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa Rasulullah bertanya kepada kepada
Malaikat Jibril, “Apa yang menghalangi kehadiranmu, sehingga lebih jarang
muncul ketimbang masa-masa sebelumnya ?” Maka turunlah ayat di bawah ini
sebagai jawaban atas pertanyaan Nabi kepada Malaikat Jibril:
“Dan tidaklah kami (Jibril) turun, kecuali
dengan perintah Tuhanmu. Kepunyaan-Nya-lah apa-apa yang ada di hadapan kita,
apa-apa yang ada di belakang kita dan apa-apa yang ada di antara keduanya, dan
tidaklah Tuhanmu lupa.” (QS. Maryam/19: 64)
5.
Urgensi Mengetahui Asbabun Nuzul
Mengetahui asbabun nuzul sangat penting dalam
memahami ayatayat Al-Qur‟an, terutama menyangkut masalah hukum. Tanpa
mengetahui asbabun nuzul seorang mufassir dapat melakukan kekeliruan dalam
menetapkan hukum. Misalnya dalam kasus arah kiblat. Salah satu ayat tentang
arah Kiblat berbunyi:
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka
ke manapun kamu menghadap (shalat) di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (Q.S. Al-Baqarah 2:115)
Tanpa
mengetahui sabab an-nuzûl ayat tersebut seseorang bisa saja langsung
menyimpulkan bahwa shalat tidak harus menghadap kiblat. Bukankah dengan jelas
ayat di atas menyebutkan boleh shalat menghadap ke mana saja karena Allah ada
di mana-mana. Padahal ayat tersebut turun dilatarbelakangi oleh beberapa kasus
di mana para sahabat tidak dapat menentukan arah kiblat. Misalnya kasus yang
dialami oleh Jâbir dan rombongan sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn Mardawaih.
Mari kita kutip keterangan Jâbir: “Kami telah diutus oleh Rasulullah SAW dalam satu
pasukan kecil. Sedang kami berada di tengah perjalanan kegelapan mencekam kami,
sehingga kami tidak mengetahui arah kiblat. Segolongan di antara kami berkata:
“Kami telah mengetahui arah kiblat, yaitu ke sana, ke arah utara. Maka mereka
shalat dan membuat garis di tanah. Tatkala hari subuh dan mataharipun terbit,
garis itu mengarah ke arah yang bukan arah kiblat. Tatkala kami kembali dari
perjalanan dan kami tanyakan kepada Rasulullah SAW tentang peristiwa itu, maka
Nabi diam dan turunlah ayat: “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke
manapun kamu menghadap (shalat) di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (Q.S. Al-Baqarah 2:115).
6.
Penulisan Al-Qur-an
Penulisan Al Qur'an di masa Rasulullah saw.
Atas perintah Nabi saw., Al Qur'an ditulis oleh penulis-penulis wahyu di atas
pelepah kurma, kulit binatang, tulang dan batu. Semuanya ditulis teratur
seperti yang Allah wahyukan dan belum terhimpun dalam satu mushaf. Di samping
itu ada sekitar 26 sampai 40 orang sahabat yang menulis sendiri beberapa juz
dan surat yang mereka hafal dari Rasulullah saw, di samping ada shahabat yang
secara khusus menulis Al-Qur-an. Penulisan Al Qur'an di masa Abu Bakar As
Shiddiq yaitu berdasarkan anjuran Umar ra., Abu Bakar ra. memerintahkan kepada
Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan ayat-ayat Al Qur'an dari para penulis wahyu
menjadi satu mushaf. Pada masa Umar Al-Qur-an tidak diperbanyak, karena motif
menghimpun Al-Qur-an waktu itu bukan untuk kepentingan orang-orang yang hendak
menghafalnya, namun hanya untuk menjaga keutuhan dan kemurnian Al-Qur-an saja.
Namun demikian pada masa ini Al-Qur-an tetap mendapat penjagaan dan
perlindungan. Penulisan Al Qur'an di masa Usman bin 'Affan. Untuk pertama kali
Al Qur'an ditulis dalam satu mushaf. Penulisan ini disesuaikan dengan tulisan
aslinya yang terdapat pada Hafshah bt. Umar. (hasil usaha pengumpulan di masa
Abu Bakar ra.). Dalam penulisan ini sangat diperhatikan sekali perbedaan bacaan
(untuk menghindari perselisihan di antara umat). Usman ra. memberikan tanggung
jawab penulisan ini kepada Zaid Bin Tsabit, Abdullah Bin Zubair, Sa'id bin 'Ash
dan Abdur-Rahman bin Al Haris bin Hisyam. Mushaf tersebut ditulis tanpa titik
dan baris. Hasil penulisan tersebut satu disimpan Usman ra. dan sisanya yang
lain disebar keberbagai penjuru negara Islam.
B. Qatha’i dan Zanny Dalam Al-Qur’an
1.
Latar Belakang Lahirnya Qat‟i dan Zanny
Pengelompokan ayat al-quran atas Qath‟i dan
Zanny sebenarnya bukan hasil kerja Rasulullah pada masanya atau pada masa
sahabat. Keduanya telah dijelaskan merupakan objek kajian yang terlepas daru
pembahasan ulama-ulama tafsir. Qath‟i dan Zanni ditemukan dalam pembahasan
Ushul Fiqh. Pada masa Rasulullah saw, istilah Qath‟i dan Zanny boleh dikatakan
belum ada, sebab untuk memahami maksud ayat yang benar selalu ditanyakan kepada
Rasulullah, sehingga dalam memahami ayat-ayat Al-Quran, Rasul tidak ada
menggariskan kedua istilah ini dalam ibterpretasi ayat. Nabi tidak pernah
mematokkan dalam satu bidang, misalnya harus diterima dan diamalkan tanpa perlu
interpretasi dan pengapresiasian Nash yang ada. Dan dibidang yang lain, rasul
menyuruh mengadakan analisa ayat. Kesemunya tidak pernah dilakukan Nabi.
Pembahasan Qath‟i dan Zanny dalam terma-terma al-Quran seiring dengan era
tertutupnya pintu Ijtihad. Imam Al Ghazali (1058-1111 H) menjelaskan, ulama
terdahulu era sebelum ditutup ointu Ijtihad, terlalu bebas mengapresiaksikan
nass dengan Manuver ijtihadnya terhadap ketentuan-ketentuan yang Qath‟i,
karenanya pintu Ijtihad yang semulanya terbuka lebar ditutup demi kelestarian
Nash Al-Quran
2.
Konsep Qath‟i dan Zanny
Dua
terminologi ini sebenarnya merupakan hal yang lebih populer dalam pembahasan
Ushul Fiqh daripada pembicaraan tafsir al-Quran melalui mediasinya ulum
a-Quran. Qath‟i dan Zanny merupakan hal yang pelik ketika merumuskan topik ini
beralaskan kelangkaan informasi yang lazimnya diutarakan pada ulum al-Quran.
Akan tetapi biloa berpaling pada konteks usul Fiqh. Topik ini merupakan top
term yang disoroti ulama usul. Beranjak dari pendekatan Ushuliyah dapat
didekati dan dicari mengenai konsep Qath‟i dan Zanny dalam al-Quran. Wahbah
al-Zuhaily dalam kitabnya menjelaskan batasan Qath‟i sebagai berikut:Nas Qath‟i
itu adalah suatu lafaz yang dijumpai dalam alQuran, yang menunjukan atas suatu
pemahaman makna yang padanya tidak diperlukan suatu interpretasi laim. Kemudian
Abd al-Wahab al-Khallaf juga menjelaskan Qath‟i Dilalah adalah suatu lafaz yang
menunjukkan makna tertentu akan pemahaman yang ditunjukinya, tidak dimungkinkan
adanya interpretasi lain atau bentuk pemahaman lainnya. Dari dua buah definisi
diatas, bahwa lafal Qath‟i adalah lafaz yang sudah pasti maknanya sebagaimana
jyang dimaksudkan nass. Sebagai contoh bilangan rakaat salat adalam determinasi
ayat-ayat yang Qath‟i, tidak dapat dicarikan alasan mengapa harus dua, tiga,
empat atau bahkan kurang dari standarisasi Tuhan, inilah yang dinamakan dengan
Qath‟iyyah al-Dilalah.
C. Makki dan Mandani
1.
Pengertian Makki dan Madani Perkembangan dan dinamika turunnya wahyu
mendapatkan respon yang sangat beragam, begitu pula peristilahan-peristilahan
yang muncul dari kajian terhadap al-Qur'an. Mulai dari istilah ayat, surat,
asbabun nuzul, waqaf, washal dan lain sebagainya. Yang tak kalah menarik
mengenai istilah yang disebutkan dalam studi al-Qur'an adalah Makki dan Madani.
Ada juga yang menyebut dengan istilah Makkiyah dan Madaniyyah Kata Makki dan
Madani merupakan bagian dari terma yang ada dalam kajian al-Qur'an, yang
dimaksudkan untuk memberikan nama jenis surat/ayat dalam al-Qur'an. Keduanya
lahir dari dua nama kota besar yang ada di Jazirah Arab, yaitu Makah dan
Madinah. Selanjutnya dinisbahkan dengan isim sifat, yang ditandai dengan alamat
ya‟ nisbah, maka jadilah kata Makki dan Madani. Surat Makiyah ialah wahyu yang
turun kepada Muhammad sebelum hijrah, meskipun surat itu tidak turun di Makah.
Sedangkan Madaniyah ialah surat/ayat yang turun kepada rasulullah setelah
hijrah, walaupun surat atau ayat itu turun di Makah. Seperti yang turun pada
saat fathu Makkah (penaklukan kota Makah), waktu haji wada' (perpisahan) atau
dalam perjalanannya. Sedangkan disebut ilmu Makki dan Madani, karena ia
merupakan bagian dari disiplin ilmu-ilmu al-Qur‟an („ulum al-Qur'an) yang sudah
berdiri sendiri dan sitematis (mudawam) sebagai salah satu dari cabangcabang
ilmu lainnya. Ilmu ini mempunyai keunikan tersendiri, karena menerangkan dua
fase (periode) penting turunnya ayat atau surat dalam al-Qur‟an, yakni fase
Makah dan fase Madinah begitu pula sebaliknya
2.
Pemetaan Ulama‟ Tentang Perbedaan Makki dan Madani Persepsi berbeda yang muncul
dalam kajian Makki dan Madani, pada akhirnya menjadikan perbedaan pandangan
oleh kalangan ulama. Klasifikasi yang dilakukan oleh Manna‟ Al-Qatthan
memberikan gambaran bahwa untuk membedakan Makki dengan Madani, para ulama
mempunyai tiga macam pandangan yang masing-masing mempunyai dasar. Pandangan
para ulama ini tentunya tetap berkiblat pada sebuah argumentasi yang
disesuaikan dengan kondisi keilmuan yang ada dalam kajian al-Qur'an. Ketiga
pandangan itu sebetulnya hampir sama dengan pandangan atau teori yang telah
disebutkan diatas.
D. Muhkam dan Mutasyabih
1. Pengertian Muhkam dan Mutasyabih Kata
muhkam berasal dari Ihkam yang secara bahasa berarti kekukuhan, kesempurnaan,
keseksamaan dan pencegahan. Semua pengertian ini pada dasranya kembali kepada
makna pencegahan. Ahkam al-amr berarti ia menyempurnakan suatu haldan
mencegahnya dari kerusakan, Ahkam al-faras berarti ia membuat kekang pada mulut
kuda untuk mencegahnya dari goncangan.54 Kata Mutasyabih berasal dari kata
Tasyabuh yang secara etimologi berarti kerepuaan dan kesamaan yang biasanya
membawa kepada kesamaan antara dua hal yang masing-masing menyerupai yang
lainnya.
2. perbedaan Ulama dalam Kategori Muhkam dan
Mutasyabih Para Ulama banyak berbeda pendapat tentang pengertian muhkam dan
mutasyabih. Terdapat dua puluh pendapat mengenai kedua hal ini. AlSuyuthi
misalnya telah mengemukakan delapan belas definisi atau makna muhkam mutasyabih
yang diberikan para ulama. Sedangkan al-Zarqani mengemukakan sebelas definisi .
Adapun pendapat yang lazim dan andal (sahih sejak awal islam sampai pada masa
sekarang kita ini adalah:
a. Al-Zarqani mengemukakan definisi muhkam
adalah ayat yang jelas artinya lagi nyata yang tidak mengandung kemungkinan
nasakh. Mutasyabih adalah ayat yang tersembunyi maknanya, tidak diketahui
maknanya baik secara aqli maupun naqli, dan ayat-ayat ini hanya Allah yang
mengetahuinya, seperti datangnya hari kiamat dan hurufhuruf yang terputus
diawal surat. Pendapat ini dinisbatkan kepada pemimpin-pemimpin mazhab Hanafi.
b. Imam al-Razi berpendapat bahwa muhkam
adalah ayat yang tunjukan maknanya kuat, yaitu lafal nash dan lafal zahir.
Mutasyabih ialah ayat yang tunjukan maknanya ridak kuat, yaitu lafal Mujmal ,
muawwal, dan musykil. Pendapat ini dinisbatkan kepada imam alRazi dan banyak
peneliti yang memilihnya.
c. As-Suyuthi dalam nukunya
al-Itqan menyebutkan bahwa muhkam adalah ayat yang jelas dengan sendirinya.
Sedangkan Mutasyabih adalah ayat yang penjelasannya membutuhkan ayat lain
E. Kisah-Kisah Dalam Al-Qur’an
Gambaran umum kisah-kisah dalam al-Quran
Kalangan umat Islam yakin bila kisah-kisah al-Quran mengandung nilai filosofis,
khususnya sebagai i‟tibar dalam kehidupan. Meskipun demikian, perlu mendapat
perhatian, apakah kebenaran kisah tersebut dapat diterima oleh setiap orang,
khusunya para nonmuslim ? disamping itu dalam tatnan keilmuan hal ini perlu
mendapat tanggapan serius, sebab tidak selamanya kisah dapat dibuktikan melalui
data ilmiah.
F. Keummian Nabi Muhammad saw dan Rahasia
Autentisitas AlQuran
1. Makna-makna ummi dalam al-Quran Secara
etimologi pengertian Ummi adaalah orang yang tidak bisa menulis dan berhitung,
seperti sabda Nabi saw: Artinya: “kita adalah ummat yang Ummi, kita tidak tahu
menulis dan berhitung”.74 Menurut Ibnu Abbas Ummi adalah orang yang tidak
percaya kepada Ummu al-Kitab (Al-Quran), Abu Ubaidillah berkata Ummi itu adalah
Ahl Al-Kitab (Yahudi dan Nasrani) yang tidak mengetahui al-Kitab (Al-Quran).
Menurut Ikrimah dan Al-Dahhak mereka adalah orang Kristiani Arab. Menurut Aliy mereka
adalah orang-orang Majusi. Sedangkan menurut al-Qurtubi mereka adalahsebagian
orang-orang Yahudi dan orang-orang Munafik. Al-Zujaj berkata Ummi adalah sifat
yang dinisbatkan kepada seseorang yang tidak bisa membaca dan menulis sepertika
ketika ia baru dilahirkan oleh ibunya. Hal serupa juga ditegaskan oleh Abu
Ishaq
2.
Kebenaran Al-Quran Sebagai kitab suci umat islam al-Quran mempunyai fungsi yang
cukup banyak, diantaranya menjadi petunjuk bagi seluruh umat manusia dan
menjadi bukti kebenaran kenabian Muhammad saw. Kebenaran al-Quran sebagai
kalamullah lebih menyakinkan lagi ketika diketahui bahwa Nabi Muhammd saw
adalah seorang yang ummi, beliau juga hidup dan bermunkim ditengah-tengah
masyarakat padang pasir yang relatif bekum mengenal peradaban seperti halnya
orang Mesir, Persia, Yunani dan Romawi. Selain hal-hal diatas paling tidak ada
tiga aspek dari al-Quran yang dapat menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad saw
sebagai Nabi sekaligus menjadi bukti bahwa seluruh informasi yang disampaikan
alQuran adalah benar bersumber dari Allah swt
G. Amtsal Al-Qur’an
1.
Pengertian Amtsal Al-Qur’an Pengertian Amtsal Al-Qur‟an adalah kalimat yang
menununjukkan persamaan sehingga dikatakan, ini adalah sepertinya dan
perumpamaanny Amtsal adalah jamak dari pada matsal, yakni sesuatu yang dibuat
untuk dijadikan perumpamaan. Matsal juga menunjukkan sifat, dan berita, serta
digunakan untuk menunjukkan keadaan dan kisah yang mengagungkan, maka
ditafsirkan dengan makna yang demikian lafadz. Zamakhsyai sebagaimana yang
dikutip mana‟ khatan telah mengisyaratkan ketiga arti ini dalam kitabnya
al-Khasyaf matsal dipinjam (dipakai) untuk menunjukkan keadaan, sifat atau
khisaf jika dianggap penting dan mempunyai keanehan. Menurut Abu Ali sebagaimana yang dikutip Ibnu
manzur bahwa pengertian matsal bearti sifat tidak di kenal dalam bahasa arab,
akan tetapi maknanya yang hakiki adalah perumpamaannya.
2.
Bentuk-bentuk Amtsal dalam Al-Qur’an Amtsal di dalam al-qur‟an memiliki
beberapa bentuk :
a. Amtsal zahir musharahah, yaitu
yang di dalamnya dijelaskan dengan lafadh amtsal atau sesuatu yang menunjukkan
tasbih
b. Amtsal Kaminah Amtsal kaminah
adalah yang didalamnya tidak disebutkan dengan jelas lafaz tamsil tetapi dia
menunjukkan makna-makna yang indah, menarik dan mempunyai pengaruh tersendiri
bila di pindahkan kepada yang serupa dengannya. Masal-masal ini adalah yang
menyerupai masal-masal arab ataupun non arab yang telah dikenal dimasa itu,
contohnya “sebaik-baik urusan adalah pertengahan
3.
Tujuan dan Kegunaan Amtsal Untuk mengetahui dan mendalami amtsal dalam
al-qur‟qn penting, agar menjadi renungan, peringatan, nasihat, motivasi,
ancaman dan cerminan. Sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Rum, ayat 58
dan surat Al-Ankabut, ayat 43: “dan sesungguhnya telah kami buat dalam alQur‟an
ini segala macam perumpamaan untuk manusia”. dan “ Dan perumpamaan-perumpamaan
ini kami buatkan untuk manusia, dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang
yang berilmu”.
H. Nasikh dan Mansukh dalam Al-Qur’an
1. Pengerian Nasikh dan Mansukh Nasikh dan Mansukh adalah dari sudut
pendekatan bahasa Nasikh berarti menghilangkan sesuatu atau menyiadakannya.
Pengertian ini sesuai dengan firman Allah SWT surat al-Hajj, ayat 52 : Tiada kamu utus sebelum engkau seorang
Rasul dan Nabi, melainkan apabila dia bercipta-cipta (didalam hatinya), maka
setan berusaha menghalangi cita-citanya itu, lalu Allah menghapuskan usaha
setan itu, kemudian Allah menetapkan ayat-ayatnya Allah Maha mengetahui dan
Maha bijaksana.
2.
Pendapat Ulama tentang Nasihk. Nasikh tidak terjadi kecuali dalam perintah dan
larangan walaupun dengan lafaz khabar. Adapun khabar yang bukan bermakna
permohonan makna tidak termasuk padanya nasikh Persoalan nasikh telah menjadi
perbincangan hangat dikalangkan ummat Islam. Perbincangan tersebut telah
terjadi beberapa pendapat ada yang mengakui adanya nasikh dan ada yang yang
tidak. Sementara yang mengakui adanya nasikh berbeda pendapat tentang sejumlah
hukum nasikh serta bagaimana pemakaiannya: Jumhur Ulama, Imam as-Syafi’I, Abu
Muslim al-Asfahani
I. Qasam dalam Al-Qur’an
1. Devinisi Qasam dalam al-Qur’an Qasam adalah
sumpah atau yamin merupakan dua kata yang sinonim yang mampunya makna yang
sama. Qasam merupakan ikatan jiwa untuk tidak melakukan sesuatu atau untuk
melakukan sesuatu, dengan makna yang dipandang besar oleh orang yang bersumpah,
baik secara hakikat maupun secara itikat. Kata “al-hilf” diartikan juga dengan
sumpah, yaitu sumpah yang bertujuan untuk menghilangkan pertentangan atau bantahan.
Sedangkan al yamin merupakan sumpah yang dilakukan dengan cara memegang tangan
kanan temen bersumpah.
2.
Ungkapan Qasam dalam Al-Qur’an Ungkapan qasam dalam al-Qur‟an ada yang bersifat
zahil dan ada pula yang bersifat mudmar (tersembunyi). Adapun yang bersifat
zahir adalah ungkapan qasam yang diketahui berdasarkan pernyataan yang ada,
seperti pada ungkapan qasam yang memenuhi unsur-unsurnya secara jelas, walaupun
diantaranya ada yang fi‟il qasamnya dibuang atau di hilangkan dan diganti
dengan “ba”, “ta”, atau “wau”. Sedangkan qasam al-Qur‟an yang sifatnya mudmar
ialah ungkapan yang tidak di ketahui dengan mudah didalam pernyataannya ada
qasam, kecuali dengan melihat lafaz lain. Untuk mengetahui qasam dalam ungkapan
seperti ini adalah dengan memperhatikan bentuk :
a. Menggunakan lam yang merupakan jawab qasam
(muqsam alaihi.
b. Dengan memahami makna yang
muncul pada suatu pernyataan.
J. Israiliyat dalam Tafsir Al-Qur’an
1. Latar Belakang
Pada
masa Rasulullah masih hidup, keharmonisan nuansa kehidupan beragama sangat
dirasakan segenap umat Islam, tidak banyak kesulitan yang merekan hadapi dalam
memahami al-Qur‟an dan dalam memecahkan berbagai problematika keagamaan yang
timbul pada saat itu. Hal ini disebabkan karena dapat langsung menanyakannya kepada
Rasulullah, selanjutnya Rasulullah menjelaskan makna yang terkandung dalam ayat
tersebut. Kondisi sedemikian itu segera berubah setelah wafatnya Rasulullah.
Persoalan-persoalan yang serupa menjadi otoritas tanggung jawab sahabat, namun
kehati-hatian Qur‟an dengan pendapatnya, diantaranya adalah Sa‟id ibn Musayyab,
Sali bin Abdullah bin Umar, alQasim bin Abi Bakar, Nafi‟, al Asma‟i dan
lain-lain.
2.
Timbulnya Israiliyat
Jauh sebelum datangnya Islam telah akulturasi
Yahudi terhadap budaya Arab Jahiliyah. Pertemuan kedua budaya ini menjadi pada
tahun 70 M, dimana arus imigrasi besar-besaran yang dilakukan kaum Yahudi ke
Jazirah Arabia dalam upaya menyelamatkan diri dari ancaman dan siksaan yang
datang dari Titus
K. Mukjizat Al-Qur’an
Pengetian
Mukjizat
Kata mukjizat terrivasi dari kata
a‟jaza‟jaza-i‟jaz yang memiliki arti membuat seseorang atau sesuatu menjadi
lemah dan tidak berdaya apapun. Sedangkan menurut Hasan Dhiyauddin, kata
mukjizat merupakan isim fa‟il (pelaku pekerjaan) yang berderivasi dari kata
al‟ajzu yang berarti antonim dari mampu (al-qudrah), sehingga diartikan sebagai
sesuatu yang melemahkan penentangnya ketika terdapat sebuah tantangan, dan
huruf ha‟ pada kata mukjizat dalam bahasa arab diartikan mubalaghah
(superlatif).111 Pada kamus Besar bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan mukjizat
berarti periristiwa ajaib yang sukar dijangkau oleh kemampuan akal manusia
BAB IV
Sumber sumber tafsir
A. Tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
Al-Ma‟thur
berasal daripada perkataan asal ‟athara yang bererti sesuatu yang dinukilkan.
Hadithal-Ma‟thur pula bererti berita yang dinukilkan (diriwayatkan) daripada
abad ke abad. Athar bererti al-Hadith (berita) atau al-Sunnah (tradisi) yang
ditinggalkan. Secara terminologi, al-Ma‟thur dalam istilah ilmu tafsir bererti
sesuatu yang diberitakan, baik berasal daripada ayat al-Qur‟an, hadith
Rasulullah s.a.w., mahupun pendapat para sahabat dan tabi„in, yang digunakan
dalam menjelaskan maksud al-Qur‟an. Maka
al-Tafsir bi Al-Ma‟thur membawa maksud usaha memahami ayat-ayat al-Qur‟an
dengan mencari keterangan-keterangan dan perincianperinciannya daripada
ayat-ayat al-Qur‟an itu sendiri, daripada sunnah Rasulullah s.a.w, daripada
ucapan (keterangan) para sahabat, dan daripada penjelasan para tabi„in. Namun
begitu, para ulama berbeza pendapat tentang status penafsiran al-Qur‟an
berdasarkan penjelasan para tabi„in. Sebahagian mereka menggolongkan jenis
penafsiran seperti itu sebagai al-tafsir bi Al-Ma‟thur, namun sebahagian yang
lain menggolongkannya sebagai al-tafsir al-Ra‟yi. Fawdah, al-Zarkashi,
alFarmawi, dan beberapa ahli ilmu tafsir lain menegaskan bahawa sesungguhnya
yang dinukilkan dari penjelasan para tabi„in adalah termasuk al-Tafsir
biAl-Mathur. Disamping itu, apabila dilihat
daripada beberapa kitab al-Tafsir bi al-Ma‟thur seperti Kitab Jami„al-Bayan fi
Tafsir Al-Qur‟an karya Ibn Jarir al-Tabari, dapat dilihat bahawa dalamnya tidak
ada nukilan daripada Rasulullah atau sahabat, tetapi banyak mengandungi nukilan
riwayat yang berasal daripada para tabi„in. Oleh
Diantara kitab al-Tafsir bi
al-Ma‟thur yang terkenal adalah:
1. Tafsir yang dinisbahkan kepada Ibn Abbas
2. Tafsir Ibn Uyaynah
3. TafsirIbn Abi Hatim
4. Tafsir Abu al-Shaykh Ibn Hibban
5. TafsirIbn Atiyah al-Andalusi, al-Muharrar
wa al-Wajiz fi Tafsir al-kitab al-„Aziz.
6. Tafsir Abu al-Laythal-Samarqandi,
Bahr al-„Ulum
7. Tafsir Abu Ishaq al-Tha„labi,
al-Kashfwa al-Bayan „an Tafsir alQur‟an
8. Tafsir Ibn Jarir al-Tabari,
Jami„ al-Bayan fi Tafsir Al-Qur‟an.
9. Tafsir Ibn Abi Shaybah 10.
Tafsir Muhammad Husayn al-Baghawi, Ma„alim al-Tanzil
11. Tafsir Abi al-Fida‟ al-Hafiz
Ibn Katsir, tafsir al-Qur‟an al-„Azim
12. Tafsir„Abd al-Rahman
al-Tha„labi, al-Jawir al-Hasan fi tafsir AlQur‟an
13. TafsirJalal al-Din al-Sayuti,
al-Durr al-Manthur fi Tafsir bi alMa‟thur.
14. Tafsir al-Shawkani, Fath al-Qadir
B. Sumber-sumber Tafsir al-Ma`thur
1. Tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an.
Tafsir Al-Qur‟an dengan Al-Qur‟an bererti
penafsiran sesuatu ayat dalam al-Qur‟an yang masih bersifat mujmal atau mutlak
dengan menggunakan ayat lain yang lebih khusus dan terperinci sebagai tafsiran
Penafsiran al-Qur‟an dengan al-Qur‟an mutlak diperlukan kerana sesuatu masalah
yang disebutkan secara ringkas pada suatu ayat dapat ditemukan perinciannya
pada ayat yang lain. Suatu ketentuan yang berbentuk global (mujmal) dalam
sesuatu masalah biasanya dijelaskan dalam masalah yang lain. Sesuatu yang umum
dalam suatu ayat, ditakhsiskan (dijadikan khusus dalam ayat yang lain). Dan
sesuatu yang berbentuk mutlak disusuli dengan keterangan yang muqayyad
(terbatas). Oleh kerana itu, seseorang mufassir dalam menafsirkan sesuatu ayat
harus melihat kemungkinan adanya keterangan tentang ayat tersebut dalam ayat
ayat yang lain.
2. Tafsir Al-Qur’an dengan Al-Sunah
Pentafsiran al-Qur‟an melalui al-sunnah. Maka
penafsiran yang ditempuhi adalah dengan jalan mencari tafsirannya daripada
hadith-hadith nabi Muhammad s.a.w. Cara penafsiran seperti ini sah dan boleh
dilakukan kerana fungsi Rasulullah sendiri adalah sebagai penjelas bagi manusia
3.
Tafsir Al-Qur’an dengan Perkataan Para Sahabat
Penafsiran al-Qur‟an jika tidak ditemui tafsirannya dalam alQur‟an ataupun al-Sunnah. Hal ini ditempuhi oleh para mufassir dengan menganggap para sahabat adalah orang-orang yang paling dekat dengan Rasulullah s.a.w. sehingga merekalah yang paling mengetahui isi kandungan al-Qur‟an setelah nabi. Mereka mendengar secara langsung bagaimana Rasulullah s.a.w. menjelaskan ayat-ayat al-Qur‟an yang mujmal. Mereka mengetahui secara tepat konteks, situasi dan keadaan saat sesuatu ayat al-Qur‟an diturunkan. Mereka adalah para perintis dan pelopor pertama yang mendapat asuhan dan pendidikan secara langsung daripada Rasulullah s.a.w.126 Maka perkataan mereka dijadikan pedoman dalam mentafsirkan suatu ayat.