Senin, 20 Desember 2021

Resensi Buku Kuliah Ulumul Quran

Resensi Buku Kuliah Ulumul Quran

Oleh Kelompok 9 kelas PAI IB:

Muhammad Amiruddin Syauqi          (210414064)
Rayhan Rizky Agam Gaeno               (210414083)


Identitas Buku

·         Judul buku                  : Kuliah Ulumul Quran

·         Penulis                         : Prof. Dr. H. Yunahar Ilyas, Lc., M.A.

·         Penerbit                       : ITQAN Publishing

·         Cetakan                       : Cetakan III

·         Tahun terbit                : Desember 2014

·         Tebal halaman             :  xii + 300 halaman

·         ISBN                           : 978-602-95371-1-6


Sinopsis Buku

            Buku ini adalah buku teks mata kuliah Ulumul Quran untuk para mahasiswa yang mengambil mata kuliah Ulumul Quran atau Studi al-Quran yang berada di Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri seperti UIN, IAIN, dan STAIN maupun Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta. Namun, buku ini pun ditujukan juga untuk masyarakat umum atau mahasiswa pada Perguruan Tinggi manapun yang ingin mendalami ilmu tentang Al-Quran. Buku ini terdiri dari 16 sub bab yang dipaparkan dan diterangkan dengan lugas oleh penulis dengan menyertakan dalil dari Al-Quran dan hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam serta nukilan pendapat dari ulama ahli tafsir dan ahli ulumul quran.

Isi Buku

            Buku yang ditulis oleh Prof. Dr. H. Yunahar Ilyas, Lc., M.A. ini dimulai dengan Bab I yang beliau beri judul “Pendahuluan”. Pada bab ini, penulis menjelaskan bahwa definisi dari Ulumul Quran adalah ilmu-ilmu yang membahas segala sesuatu tentang Al-Quran, mulai dari pengertian Al-Quran, pengertian wahyu, sejarah turunnya Al-Quran, sejarah pengumpulan Al-Quran, makkiyyah dan madaniyyah, latar belakang turunnya ayat atau kelompok ayat tertentu, kisah-kisah dalam Al-Quran, mukjizat Al-Quran dan lain sebagainya sampai kepada pembahasan tentang tafsir Al-Quran. Pengertian di atas juga disebutkan oleh ulama Ulumul Quran walaupun dengan redaksi yang berbeda. Pada bab ini juga, dipaparkan bahwa ruang lingkup Ulumul Quran itu antara lain adalah definisi Al-Quran, definisi wahyu, bagaimana Al-Quran turun, apa itu makkiyyah dan madaniyyah, apa ayat pertama dan terakhir yang turun, bagaimana sejarah pengumpulan Al-Quran, jumlah ayat dan surat serta susunan ayat dan suratnya, asbabun nuzul, pembahasan mengenai turunnya Al-Quran dalam tujuh huruf, pembahasan mengenai qiraat atau cara baca Al-Quran yang bersumber dari cara baca Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasyabih, munasabatul quran, dibahas pula mengenai kisah-kisah dalam Al-Quran atau qashashul quran, mukjizat Al-Quran atau i’jazul quran, dan yang terakhir adalah pembahasan tentang tafsir Al-Quran. Selanjutnya, dibahas mengenai sejarah singkat pembukuan dan pembakuan Ulumul Quran. Kemudian, bab ini ditutup dengan pembahasan mengenai kemungkinan pengembangan dari Ulumul Quran.

            Bab II Al-Quran dan Wahyu. Pada bab ini, dipaparkan mengenai definisi dari Al-Quran menurut Imam ash-Shabuni, yaitu Firman Allah yang bersifat mukjizat, diturunkan kepada penutup para nabi dan rasul dengan perantaraan Al-Amin, yaitu Malaikat Jibril ‘alaihis salam yang ditulis pada mushaf-mushaf, diriwayatkan kepada kita secara mutawatir, bernilai ibadah ketika dibaca, yang dimulai dengan surah al-Fatihah dan ditutup dengan surah an-Nas. Dijelaskan pula nama-nama lain dari Al-Quran, yaitu Al-Kitab, Al-Furqan, Adz-Dzikr, dan At-Tanzil. Disebutkan pula beberapa sifat Al-Quran, yaitu nur, mau’izhah, syifa’, huda, mubin, mubarak, basyir wa nadzir, dan majid. Di bab ini pula dipaparkan bahwa wahyu adalah firman Allah yang diturunkan kepada nab-nabi-Nya. Istilah wahyu dalam Al-Quran pun tidak hanya digunakan dalam pengertian firman Allah yang diturunkan kepada para nabi-Nya, tapi juga digunakan dalam pengertian lain, di antaranya adalah ilham, instink, isyarat, bisikan, dan perintah Allah. Cara turun wahyu kepada para nabi dijelaskan pula dalam bab ini, yaitu (1) melalui mimpi yang benar (ru’ya shadiqah fil manam); (2) dari balik tabir (min wara’ hijab); dan (3) melalui perantaraan malaikat seperti Malaikat Jibril.

            Bab III Nuzul Al-Quran. Nuzul Al-Quran adalah cara dan fase turunnya Al-Quran dari Allah subhanahu wata’ala kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Dijelaskan bahwasanya Al-Quran turun dalam tiga fase: (1) Diturunkan sekaligus ke Lauh Mahfuzh; (2) Diturunkan ke Bait al-‘Izzah di langit dunia, dan (3) Diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam secara berangsur-angsur. Hikmah diturunkannya Al-Quran secara berangsur-angsur adalah: (1) untuk menguatkan hati Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dalam menerima dan menyampaikan firman Allah kepada umat manusia, (2) sebagai mukjizat bagi Nabi untuk menjawab dan mematahkan tantangan para orang kafir, (3) memudahkan Nabi untuk membacakannya kepada umat, menjelaskan, dan memberikan contoh-contoh pelaksanaannya, (4) memudahkan umat pada masa itu untuk menghafal, mencatat, dan memahami Al-Quran, (5) memberikan pengaruhnya yang besar dalam proses dakwah Islam dan pembentukan umat, serta (6) merupakan bukti yang pasti bahwa Al-Quran diturunkan dari sisi Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. Dipaparkan pula mengenai urgensi kajian tentang nuzul Al-Quran bahwasanya kajian ini sangat penting sekali untuk membuktikan bahwa Al-Quran memang benar-benar berasal dari Allah subhanahu wata’ala, bukan karya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

            Bab IV, Makkiyah dan Madaniyah. Pada bab ini, penulis menjelaskan kepada kita bahwa surat-surat dan ayat-ayat Al-Quran dapat dikelompokkan menjadi makkiyah dan madaniyah. Penulis mengambil pendapat ulama yang mendefinisikan makkiyah dan madaniyah dari segi masa turunnya, yaitu surat atau ayat yang diturunkan sebelum peristiwa Hijrah disebut sebagai makkiyah walaupun turunnya bukan di Makkah dan sekitarnya; dan yang diturunkan sesudah Hijrah dinamai sebagai madaniyyah walaupun turunnya bukan di Madinah dan sekitarnya. Dijelaskan pula oleh penulis metode mengetahui makkiyah dan madaniyah, yaitu dengan (1) al-Manjah as-sima’i an-naqli yaitu melalui riwayat dari para sahabat yang menyaksikan turunnya wahyu dan juga dari tabi’in yang mengetahuinya dari para sahabat serta (2) al-Manhaj al-qiyasi al-ijtihadi yaitu berdasarkan karakteristik surat atau ayat-ayat makkiyah dan madaniyah. Disebutkan pula secara rinci kriteria dan karakteristik serta beberapa contoh masing-masing dari surat makkiyah dan madaniyah. Beliau pun menyinggung pembahasan tentang beberapa hal-hal khusus mengenai makkiyah dan madaniyah, seperti pembahasan ayat-ayat makkiyah dalam surat madaniyah dan sebaliknya, ayat yang diturunkan di Makkah namun hukumnya adalah madaniyah dan sebaliknya, serta yang lainnya. Dijelaskan juga oleh penulis urgensi kajian makkiyah dan madaniyah antara lain: (1) dengan mengetahui tempat dan periode turunnya ayat-ayat Al-Quran, seorang ahli tafsir dapat menafsirkan ayat-ayat tersebut dengan tepat dan benar, (2) dengan menelusuri tempat dan fase turunnya ayat-ayat Al-Quran kita akan dapat pelajaran bagaimana strategi dakwah yang tepat sehingga dakwah bisa lebih efektif, dan lain sebagainya.

            Bab V, penulis membahas tentang “Yang Pertama dan Terakhir Diturunkan”.  Dalam bab ini, penulis memaparkan bahwa yang dimaksud dengan yang pertama dan terakhir diturunkan ada dua macam: (1) ayat atau kelompok ayat yang pertama dan terakhir sekali diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, dan (2) ayat atau kelompok ayat yang pertama dan terakhir sekali diturunkan kepada Nabi dalam tema-tema tertentu. Beliau pun membawakan sejumlah pendapat ulama mengenai yang pertama diturunkan secara mutlak, dan diakhir beliau menguatkan pendapat bahwa yang pertama kali turun secara mutlak adalah Q.S. al-‘Alaq ayat 1-5, dilanjutkan dengan menukilkan pendapat para ulama mengenai yang terakhir diturunkan secara mutlak. Beliau pun menyebutkan bahwa yang paling populer di kalangan umat Islam Indonesia mengenai ayat terakhir yang turun adalah surat al-Maidah ayat 3. Beliau membahas pula ayat yang pertama dan terakhir diturunkan namun dalam tema-tema tertentu, misalnya ayat tentang makanan adalah surat al-An’am ayat 145 yang turun di Makkah, kemudian ayat tentang khomr yang pertama kali turun adalah surat al-Baqarah ayat 219 yang diturunkan di Madinah, dan yang lainnya. Penulis buku pun menyinggung di akhir pembahasan mengenai urgensi kajian yang pertama dan terakhir diturunkan ini, antara lain: (1) menunjukkan betapa tingginya perhatian kaum muslimin sejak generasi awal terhadap sejarah turunnya Al-Quran dan (2) membantu seorang mufassir dalam menafsirkan ayat sehingga tafsirannya tepat dan benar.

            Bab VI, penulis menyajikan pembahasan mengenai “Pengumpulan Al-Quran”. Dijelaskan bahwasanya maksud pengumpulan Al-Quran ada dua hal: (1) menghafal Al-Quran dan (2) penulisannya baik dalam lembaran-lembaran yang masih terpisah-pisah maupun dalam lembaran-lembaran yang sudah dibukukan dalam satu mushaf. Beliau menjelaskan bahwa pengumpulan Al-Quran dalam sejarahnya berlangsung dalam tiga periode: (1) Pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, (2) pada masa khalifah Abu Bakar Ash-shiddîq radhiyallahu ‘anhu, dan (3) pada masa khalifah Utsmân ibn 'Affân radhiyallahu ‘anhu. Masing-masing periode punya ciri-ciri sendiri. Periode pertama ditandai dengan penghafalan dan penulisan Al-Quran di media-media sederhana (seperti tulang dan kulit binatang, pelepah kurma dll). Periode kedua ditandai dengan pembukuan Al-Quran dalam sebuah mushaf oleh panitia tunggal Zaid ibn Tsâbit. Periode ketiga ditandai dengan pembukuan Al-Quran dalam beberapa mushaf dengan sistem penulisan yang akomodatif terhadap qirâat, yang kemudian dikirimkan kebeberapa ibu kota propinsi (waktu itu) untuk menjadi mushaf standar bagi umat Islam. Penulis pun membawakan beberapa tuduhan disertai jawaban yang berkaitan dengan pengumpulan Al-Quran yang dilontarkan oleh beberapa orientalis. Kesemua tuduhan tersebut dijawab dan diluruskan serta dijelaskan kebenarannya oleh penulis.

            Bab VII, penulis memberikan judul “Ayat-Ayat dan Surat-Surat Al-Quran”. Beliau menjelaskan pada bab ini pengertian dari ayat yang mempunyai beberapa pengertian, yaitu (1) al-mu’jizah, (2) al-‘alamah atau tanda, (3) al-‘ibrah atau pelajaran, (4) al-Amrul ‘ajib atau suatu hal yang mengagungkan, (5) al-Burhan wa ad-dalil atau bukti dan dalil, serta (6) al-jama’ah atau kelompok. Penulis juga membawakan pembahasan mengenai jumlah ayat-ayat Al-Quran itu diketahui secara tauqifi, artinya semata-mata berdasarkan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ulama sepakat jumlah keseluruhan ayat-ayat Al-Quran adalah pada angka 6.200, tetapi berbeda pendapat pada angka puluhan dan satuan setelah dua ratus itu. Beliau juga memaparkan bahwa susunan ayat Al-Quran itu sifatnya tauqifi, yaitu semata-mata berdasarkan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan tidak ada peran ijtihad para sahabat sedikitpun. Kemudian, penulis melanjutkan pembahasan dengan pengertian surat dalam Al-Quran adalah sekelompok ayat-ayat Al-Quran yang berdiri sendiri, memiliki awal dan akhir. Dijelaskan juga bahwasanya ulama dari dahulu sampai sekarang sepakat bahwa jumlah surat-surat dalam Al-Quran keseluruhannya adalah 114 surat yang dimulai dengan Surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan Surat An-Nas. Kemudian, nama dan susunan surat-surat Al-Quran itu sifatnya adalah tauqifi, bukan taufiqi, dengan alasan tidak ada pola tertentu dalam penamaan surat-surat tersebut.

            Bab VIII diberi judul oleh penulis dengan “Asbabun Nuzul”. Di bab ini, penulis memaparkan beberapa hal. Asbabun nuzul adalah hal yang menjadi sebab turunnya satu ayat, kelompok ayat, atau satu surat Al-Quran kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau menjelaskan pula bahwa tidak semua ayat-ayat Al-Quran diturunkan karena ada sebab peristiwa atau pertanyaan yang diajukan. Kemudian, pada metode mengetahui asbabun nuzul, dipaparkan bahwa tidak ada cara untuk mengetahui asbabun nuzul kecuali melalui riwayat yang shahih dari Nabi dan para sahabat yang menyaksikan turunnya ayat-ayat Al-Quran dan mengetahui peristiwa yang terjadi atau pertanyaan yang diajukan kepada Nabi yang melatarbelakangi turunnya ayat tersebut. Pada redaksi asbabun nuzul, disebutkan bahwa redaksinya itu ada dua macam, yaitu (1) sharihah atau redaksi yang digunakan perawi secara tegas dan jelas menunjukkan asbabun nuzul, dan (2) muhtamalah, yaitu redaksi yang digunakan perawi tidak secara tegas menunjukkan asbabun nuzul, namun hanya mengandung kemungkinan asbabun nuzul. Lalu, dijelaskan pula bahwa ada ayat, kelompok ayat, atau satu surat yang turunnya itu disebabkan oleh berbagai sebab yang banyak atau disebut ta’addud al-Asbab wa an-Nazil wahid. Sebaliknya, ada beberapa ayat berbeda yang turun, namun sebab yang melatarbelakangi turunnya hanya satu. Ini disebut ta’addud an-Nazil wa as-Sabab Wahid. Dijelaskan pula bahwa mengetahui asbabun nuzul itu sangat penting dalam memahami ayat-ayat Al-Quran, terutama menyangkut masalah hukum agar seorang mufassir terhindar dari kekeliruan dalam menetapkan hukum. Kemudian penulis pun membahas mengenai kemungkinan pengembangan pengertian asbabun nuzul, misalnya latar belakang historis, geografis, politik, dan sosial budaya masyarakat pada nasa itu apakah dapat dijadikan sebagai asbabun nuzul sekalipun tidak ada riwayat yang mengaitkannya dengan ayat tertentu. Jika bisa, maka tentu akan berpengaruh banyak kepada istinbath hukum.

Bab IX Nuzul Al-Qur’an Dalam Tujuh Huruf. pada bab ini akan fokus tentang pembahasan dasar acuan nuzul al-qur’an dalam tujuh huruf, Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa Al-Qur’an diturunkan dalam tujuh huruf sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh 21 orang sahabat besar dengan berbagai jalur, Apakah tujuh huruf itu masih terdapat dalam Al-Qur'an? Menurut sebagian ulama Fiqh, ulama Qirâah dan ulama Kalâm, sebagaimana dinyatakan oleh az-Zarqâni, tujuh huruf tersebut masih ada pada Mushaf 'Utsmân. Menurut Ibn Jarîr at-Thabari bahwa Mushaf 'Utsmân hanya mencakup satu huruf saja dari tujuh huruf tersebut. Tujuh huruf itu hanya ada pada masa Rasulullah SAW, Abu Bakar dan 'Umar dan awal kekhalifahhan 'Utsmân. Kemudian di bawah kepemimpinan 'Utsmân, umat Islam berpendapat perlunya menyatukan umat Islam untuk menuliskan Al-Qur'an dalam satu huruf saja dari tujuh huruf tersebut. Maka salah satu hikmahnya adalah sebagai Bukti kemukjizatan Al-Qur’an dari aspek bahasa. Al-Qur’an mempunyai banyak pola susunan bunyi yang sebanding dengan segala macam cabang dialek bahasa yang telah menjadi naluri bahasa orang-orang Arab, sehingga setiap orang Arab dapat mengalunkan huruf-huruf dan kata-katanya sesuai dengan irama yang telah menjawab watak dasar mereka dan lahjah kaumnya, dengan tetap keberadaan Al-Qur’an.

Bab X Qiraat Al-Qur’an. Secara terminologis yang dimaksud dengan qirâah adalah cara membaca Al-Qur'an oleh seorang imam ahli qirâah berbeda dengan cara membaca imam yang lainnya seperti qirâah Imam Nâfi' berbeda dengan qirâah Imam 'Âshim atau Hamzah atau imam-imam lainnya.

Diterima atau tidaknya sebuah qirâah oleh para ulama tidak ditentukan oleh orang atau siapa qari'nya, tetapi ditentukan oleh standar tertentu menyangkut tiga hal, yaitu Kesesuaian dengan Salah Satu Mushaf Utsmani, Kesesuaian dengan Kaedah Bahasa Arab walaupun dalam satu segi dan Kesahihan sanadnya.

Dari segi kualitas sanadnya, qirâât dapat dibagi menjadi qirâât mutawâtirah, masyhûrah, âhâd, syâdzah, maudhû'ah dan mudrajah. Sedangkan dari segi kuantias qirâât nya dapat dibagi menjadi qiraat sab'ah, 'asyarah dan arba'ata 'asyarah. Adapun berdasarkan Kuantitas Imam Qirâ'ah ada tiga, yaitu Qirâât Sab'ah, Qirâât 'Asyarah, dan Qirââh Arba'ata Asyara. Adapun bila ditanyakan Apakah keragamaan qirâah tersebut mempunyai dampai kepada penafsiran ayat-ayat Al-Qur'an? Jawabannya iya dan tidak. Artinya pada sebagian, perbedaan qirâah membawa implikasi tafsir, terutama aspek konklusi atau istinbâth hukum, tetapi pada bagian lain perbedaan qirâah tidak membawa implikasi penafsiran apa pun.

Bab XI Nâsikh Mansûkh. Nâsikh adalah isim fâ'il dari nasakha dan mansûkh adalah isim maf'ûlnya. Dalam bentuk mashdar, naskhun berarti al-izâlah dengan pengertian menghilangkan seperti matahari menghilangkan bayangt-bayang. Kata naskh juga dipakai untuk pengertian memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat lain. Perlu diketahui bahwa naskh harus memenuhi empat syarat : pertama, Hukum yang dinasikh harus hukum syar'i, bukan hukum aqli, kedua, Dalîl syar'i yang menasakh haruslah datang kemudian dari dalîl syar'i yang dinasakh, ketiga, Khithâb yang diangkat hukumnya tidak boleh merupakan khithâb yang dikaitkan dengan waktu tertentu, karena hukum akan berhenti dengan sendirinya apabila waktunya sudah habis, hal seperti ini tidak dinamai naskh, keempat,  Naskh hanya ada pada masalah hukum semata. Dengan demikian tidak ada naskh untuk masalah aqidah, sejarah, tentang alam semesta dan lain-lain yang tidak bersifat hukum.

Ditinjau dari keberadaan ayat dan hukumnya, nâsikh mansûkh dalam Al-Qur'an dapat dibagi tiga : Naskh Tilâwah dan Hukum, Naskh Hukum tetapi Tilâwahnya Tetap, dan Naskh Tilâwah tetapi Hukumnya Tetap. Di samping naskh Al-Qur'an dengan Al-Qur'an, para ulama juga membahas naskh Al-Qur'an dengan as-Sunnah, naskh As-Sunnah dengan Al-Qur'an dan naskh as-Sunnah dengan as-Sunnah.

Bab XII Muhkam dan Mutasyâbih. Ihkâm al-Kalâm berarti itqânuhu yang artinya mengokohkannya dengan memisahkan berita yang benar dari yang salah, dan memisahkan yang lurus dari yang sesat. Jadi al-Muhkam adalah perkataan yang kokoh, rapi, indah dan benar.3 Dengan pengertian seperti itulah Allah SWT mensifati Al-Qur'an bahwa keseluruhan ayat-ayatnya adalah muhkamah. Dikatakan pula mutasyâbih adalah mutamâtsil (sama) dalam perkataan dan keindahan. Jadi, tasyâbuh al-kalâm adalah kesamaan dan kesesuaian perkataan, karena sebagiannya membetulkan sebagian yang lain. Dengan pengertian seperti itulah Allah SWT mensifati Al-Qur'an bahwa keseluruhan ayat-ayatnya adalah mutasyâbihah.

Secara garis besarnya dijelaskan bahwa ayat-ayat muhkamât adalah ayat-ayat yang terang dan tegas maksudnya, dapat dipahami dengan mudah, memiliki satu pengertian saja, dapat diketahui secara langsung, tidak memerlukan lagi keterangan lain. Sedangkan ayat-ayat mutasyâbihât adalah ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara mendalam, tidak dipahami kecuali setelah dikaitkan dengan ayat lain; atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan yang ghaib-ghaib misalnya ayat-ayat yang mengenai hari kiamat, surga, neraka dan lain-lain. Adapun Aspek-aspek tasyâbuh (kesamaran makna) pada ayat-ayat mutasyâbihât dapat dilihat dari tiga segi, yaitu segi lafal ayat, makna ayat, dan pada lafal dan makna ayat sekaligus.

Bab XIII Munâsabah Dalam Al-Quran, Al-munâsabah adalah Bentuk hubungan antara satu kalimat dengan kalimat lain dalam satu ayat, atau antara satu ayat dengan ayat lain dalam satu kelompok ayat, atau antara satu surat dengan surat yang lain. Misalnya pembukaan Surat Al-An'âm dengan ayat akhir Surat Al-Mâidah, Contoh lain pembukaan Surat Al-Baqarah menunjuk kepada ash-Shirâth pada Surat Al-Fâtihah.

Macam-macam munâsabah. pertama, Munâsabah antara Satu Kalimat dengan Kalimat Sebelumnya dalam Satu Ayat. kedua,  Munâsabah antara Satu Ayat dengan Ayat Sesudahnya. ketiga, Munâsabah antara Kelompok Ayat dengan Kelompok Ayat Sebelumnya. keempat, Munâsabah antara Awal Surat dengan Akhir Surat Sebelumnya. Dan kelima, Munâsabah antara Satu surat dengan Surat lainnya.

Adapun bentuk-bentuk munâsabah diantaranya, Zhâhir al-Irtibâth dan Khafiy al-Irtibâth (Irtibâth Ma'thûfah, dan Irtibâth Ghairu Ma'thûfah). Kesimpulannya, bahwa yang menjadi urgensi munâsabah dalam penafsiran al-qur'an adalah mencakup tiga arti penting dari munâsabah sebagai salah satu metode dalam memahami dan menafsirkan Al-Qur'an. Pertama, dari sisi balâghah, Kedua, ilmu munâsabah dapat memudahkan orang dalam memahami makna ayat atau surat, Ketiga, ilmu munâsabah sangat membantu seorang mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an.

Bab XIV Kisah-Kisah dalam Al-Qur’an. Secara terminologi Qashashul Qur’an adalah pemberitaan Al-Qur’an tentang nabi-nabi terdahulu, umat yang telah lalu, pribadi atau tokoh pada masa lalu, dan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi pada masa yang lalu termasuk yang terjadi pada masa Nabi Muhammad SAW.

Ada tiga macam kisah dalam Al-Qur’an : Pertama, Kisah para Nabi dan Rasul, Kedua, Kisah umat, tokoh atau pribadi (bukan Nabi) dan peristiwa_peristiwa masa lalu, Ketiga, Kisah-kisah yang terjadi pada zaman Nabi Muhammad SAW. Adapun tujuan dari kisah-kisah al-qur'an diantaranya :

1.      Menjelaskan asas-asas dakwah dan pokok-pokok syari’at yang dibawa oleh para Nabi.

2.      Meneguhkan hati Rasulullah SAW dan hati umat Muhammad atas agama Allah, serta memperkuat keyakinan orang-orang yang beriman bahwa kebenaran pasti menang mengalahkan kebatilan.

3.      Membenarkan para nabi terdahulu, mengenang dan mengabadikan jejak peninggalan mereka. serta Merperlihatkan kebenaran dakwah Nabi Muhammad SAW dengan berita-berita yang dibawanya mengenai umat terdahulu melintas generasi dan zaman, dll.

Berbeda dengan karya sastera yang dibuat oleh sasterawan, kisah-kisah dalam Al-Qur’an semuanya adalah kebenaran, faktual dan sesuai dengan sejarah; tidak ada satupun yang bersifat fiktif. Kebenaran semua kisah yang diungkapkan oleh Al-Qur’an itu didasarkan kepada keyakinan bahwa semua firman Allah dalam Al-Qur’an adalah kebenaran yang datang dari Allah Yang Maha Benar.

Bab XV Mukjizat Al-Qur’an, Secara terminologi yang dimaksud dengan mukjizat atau i’jâz Al-Qur’an adalah ketidakmampuan siapa pun untuk menjawab tantangan Al-Qur’an sebagai bukti kebenaran Risalah Nabi Muhammad SAW. Al-Quran menantang siapa saja, baik manusia mau pun jin, untuk membuat kitab suci seperti Al-Qur’an. Tantangan Al-Qur’an tersebut disampaikan dalam tiga tahapan : Pertama, Al-Qur’an menantang siapa saja untuk membuat seperti Al-Qur’an secara utuh. Kedua, Al-Qur’an menantang siapa saja untuk membuat seperti Al-Qur’an 10 Surat saja. Ketiga, Al-Qur’an menantang siapa saja untuk membuat seperti Al-Qur’an satu Surat saja.

Mukjizat Al-Qur’an dapat ditinjau dari beberapa aspek, di antaranya aspek bahasa, sejarah, ramalan dan ilmu pengetahuan. Sejarah dan ramalan termasuk pemberitaan tentang hal yang ghaib. Sejarah adalah hal yang ghaib pada lalu, sedangkan ramalan adalah hal yang ghaib pada masa yang akan datang. Disisi lain Al-Quran menceritakan berbagai peristiwa sejarah yang dialami umat manusia pada masa yang lalu, bahkan mulai dari peristiwa yang terjadi sebelum manusia itu sendiri diciptakan. Semua kisah sejarah yang diungkapkan Al-Qur’an itu adalah fakta, bukan fiksi.

Bab XVI Tafsir Al-Qur’an, secara terminologis tafsir adalah keterangan dan penjelasan tentang arti dan maksud ayat-ayat Al-Qur’an. Sejauh ini, dikenal ada dua bentuk penafsiran , yaitu at-tafsîr bi al- ma’tsûr dan at-tafsîr bi- ar-ra’yi, dan empat metode, yaitu ijmâli, tahlîli, muqârin dan maudhû’i. Sedangkan dari segi corak lebih beragam, ada yang bercorak sastra bahasa, fiqh, teologi, filsafat, tasawuf, ilmiyah dan corak sastra budaya kemasyarakatan.

Bentuk Penafsiran Al-Qur’an, dari segi bentuk dikenal dua bentuk penafsiran: (a) Tafsir bi al- ma’tsûr dan (b) Tafsir bi ar-ra’yi. Selanjutnya ada Metode Penafsiran Al-Qur’an, dari segi metode sejauh ini dikenal ada empat metode penafsiran yaitu ijmâli, tahlîli, muqârin dan maudhû’i. lalu yang terakhir adalah Corak Penafsiran Al-Qur’an, Sejauh ini corak-corak penafsiran yang dikenal antara lain sebagai berikut: Corak Sastra Bahasa, Corak Fiqih atau Hukum, Corak Teologi atau Filsafat, Corak Tasawuf, Corak Penafsiran Ilmiah, dan Corak Sastra Budaya Kemasyarakatan.

 

Kelebihan Buku

1.      Penulis membawakan sumber rujukan yang jelas, terutama Al-Quran dan hadits-hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam serta kitab-kitab rujukan dari ulama-ulama terdahulu maupun ulama belakangan, baik kitab-kitab berbahasa Arab maupun berbahasa Indonesia.

2.      Terjemahan istilah berbahasa Arab serta redaksi kutipan dari kitab-kitab rujukan berbahasa Arab yang dilakukan penulis secara garis besar mudah dipahami.

 

Kekurangan Buku

1.      Terdapat beberapa kesalahan ejaan.

2.      Beberapa hadits yang tercantum banyak dijumpai hanya terjemahannya saja tanpa menyertakan teksnya yang berbahasa Arab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Resensi Buku ‘Ulum Al-Quran (Memahami Otentifikasi Al-Qur'an)

  Resensi Buku ‘Ulum Al-Quran (Memahami Otentifikasi Al-Quran) Oleh Kelompok 10 kelas PAI IB: Annisa Septiani            (210414035) ...