Resensi Buku Kuliah Ulumul Quran
Oleh Kelompok 9 kelas PAI IB:
Muhammad Amiruddin Syauqi (210414064)
Rayhan Rizky Agam Gaeno (210414083)
Identitas Buku
·
Judul buku :
Kuliah Ulumul Quran
·
Penulis :
Prof. Dr. H. Yunahar Ilyas, Lc., M.A.
·
Penerbit :
ITQAN Publishing
·
Cetakan :
Cetakan III
·
Tahun terbit :
Desember 2014
·
Tebal halaman : xii + 300 halaman
·
ISBN :
978-602-95371-1-6
Sinopsis Buku
Buku
ini adalah buku teks mata kuliah Ulumul Quran untuk para mahasiswa yang
mengambil mata kuliah Ulumul Quran atau Studi al-Quran yang berada di Perguruan
Tinggi Agama Islam Negeri seperti UIN, IAIN, dan STAIN maupun Perguruan Tinggi
Agama Islam Swasta. Namun, buku ini pun ditujukan juga untuk masyarakat umum
atau mahasiswa pada Perguruan Tinggi manapun yang ingin mendalami ilmu tentang
Al-Quran. Buku ini terdiri dari 16 sub bab yang dipaparkan dan diterangkan
dengan lugas oleh penulis dengan menyertakan dalil dari Al-Quran dan hadits
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam serta nukilan pendapat dari
ulama ahli tafsir dan ahli ulumul quran.
Isi Buku
Buku yang ditulis oleh Prof. Dr. H. Yunahar
Ilyas, Lc., M.A. ini dimulai dengan Bab I yang beliau beri judul
“Pendahuluan”. Pada bab ini, penulis menjelaskan bahwa definisi dari Ulumul
Quran adalah ilmu-ilmu yang membahas segala sesuatu tentang Al-Quran, mulai
dari pengertian Al-Quran, pengertian wahyu, sejarah turunnya Al-Quran, sejarah
pengumpulan Al-Quran, makkiyyah dan madaniyyah, latar belakang
turunnya ayat atau kelompok ayat tertentu, kisah-kisah dalam Al-Quran, mukjizat
Al-Quran dan lain sebagainya sampai kepada pembahasan tentang tafsir Al-Quran.
Pengertian di atas juga disebutkan oleh ulama Ulumul Quran walaupun dengan
redaksi yang berbeda. Pada bab ini juga, dipaparkan bahwa ruang lingkup Ulumul
Quran itu antara lain adalah definisi Al-Quran, definisi wahyu, bagaimana
Al-Quran turun, apa itu makkiyyah dan madaniyyah, apa ayat pertama
dan terakhir yang turun, bagaimana sejarah pengumpulan Al-Quran, jumlah ayat
dan surat serta susunan ayat dan suratnya, asbabun nuzul, pembahasan
mengenai turunnya Al-Quran dalam tujuh huruf, pembahasan mengenai qiraat atau
cara baca Al-Quran yang bersumber dari cara baca Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasyabih,
munasabatul quran, dibahas pula mengenai kisah-kisah dalam Al-Quran atau
qashashul quran, mukjizat Al-Quran atau i’jazul quran, dan yang
terakhir adalah pembahasan tentang tafsir Al-Quran. Selanjutnya, dibahas
mengenai sejarah singkat pembukuan dan pembakuan Ulumul Quran. Kemudian, bab
ini ditutup dengan pembahasan mengenai kemungkinan pengembangan dari Ulumul
Quran.
Bab
II Al-Quran dan Wahyu. Pada bab ini, dipaparkan mengenai definisi dari
Al-Quran menurut Imam ash-Shabuni, yaitu Firman Allah yang bersifat mukjizat,
diturunkan kepada penutup para nabi dan rasul dengan perantaraan Al-Amin, yaitu
Malaikat Jibril ‘alaihis salam yang ditulis pada mushaf-mushaf,
diriwayatkan kepada kita secara mutawatir, bernilai ibadah ketika
dibaca, yang dimulai dengan surah al-Fatihah dan ditutup dengan surah an-Nas. Dijelaskan
pula nama-nama lain dari Al-Quran, yaitu Al-Kitab, Al-Furqan, Adz-Dzikr,
dan At-Tanzil. Disebutkan pula beberapa sifat Al-Quran, yaitu nur,
mau’izhah, syifa’, huda, mubin, mubarak, basyir
wa nadzir, dan majid. Di bab ini pula dipaparkan bahwa wahyu adalah
firman Allah yang diturunkan kepada nab-nabi-Nya. Istilah wahyu dalam Al-Quran
pun tidak hanya digunakan dalam pengertian firman Allah yang diturunkan kepada
para nabi-Nya, tapi juga digunakan dalam pengertian lain, di antaranya adalah
ilham, instink, isyarat, bisikan, dan perintah Allah. Cara turun wahyu kepada
para nabi dijelaskan pula dalam bab ini, yaitu (1) melalui mimpi yang benar (ru’ya
shadiqah fil manam); (2) dari balik tabir (min wara’ hijab); dan (3)
melalui perantaraan malaikat seperti Malaikat Jibril.
Bab
III Nuzul Al-Quran. Nuzul Al-Quran adalah cara dan fase turunnya Al-Quran
dari Allah subhanahu wata’ala kepada Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam. Dijelaskan bahwasanya Al-Quran turun dalam tiga fase: (1)
Diturunkan sekaligus ke Lauh Mahfuzh; (2) Diturunkan ke Bait
al-‘Izzah di langit dunia, dan (3) Diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam secara berangsur-angsur. Hikmah diturunkannya Al-Quran
secara berangsur-angsur adalah: (1) untuk menguatkan hati Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam dalam menerima dan menyampaikan firman Allah kepada umat
manusia, (2) sebagai mukjizat bagi Nabi untuk menjawab dan mematahkan tantangan
para orang kafir, (3) memudahkan Nabi untuk membacakannya kepada umat,
menjelaskan, dan memberikan contoh-contoh pelaksanaannya, (4) memudahkan umat
pada masa itu untuk menghafal, mencatat, dan memahami Al-Quran, (5) memberikan
pengaruhnya yang besar dalam proses dakwah Islam dan pembentukan umat, serta
(6) merupakan bukti yang pasti bahwa Al-Quran diturunkan dari sisi Yang Maha
Bijaksana lagi Maha Terpuji. Dipaparkan pula mengenai urgensi kajian tentang
nuzul Al-Quran bahwasanya kajian ini sangat penting sekali untuk membuktikan bahwa
Al-Quran memang benar-benar berasal dari Allah subhanahu wata’ala, bukan
karya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Bab
IV, Makkiyah dan Madaniyah. Pada bab ini, penulis menjelaskan kepada kita
bahwa surat-surat dan ayat-ayat Al-Quran dapat dikelompokkan menjadi makkiyah
dan madaniyah. Penulis mengambil pendapat ulama yang mendefinisikan makkiyah
dan madaniyah dari segi masa turunnya, yaitu surat atau ayat yang
diturunkan sebelum peristiwa Hijrah disebut sebagai makkiyah walaupun
turunnya bukan di Makkah dan sekitarnya; dan yang diturunkan sesudah Hijrah
dinamai sebagai madaniyyah walaupun turunnya bukan di Madinah dan
sekitarnya. Dijelaskan pula oleh penulis metode mengetahui makkiyah dan madaniyah,
yaitu dengan (1) al-Manjah as-sima’i an-naqli yaitu melalui riwayat dari
para sahabat yang menyaksikan turunnya wahyu dan juga dari tabi’in yang
mengetahuinya dari para sahabat serta (2) al-Manhaj al-qiyasi al-ijtihadi yaitu
berdasarkan karakteristik surat atau ayat-ayat makkiyah dan madaniyah.
Disebutkan pula secara rinci kriteria dan karakteristik serta beberapa contoh
masing-masing dari surat makkiyah dan madaniyah. Beliau pun
menyinggung pembahasan tentang beberapa hal-hal khusus mengenai makkiyah dan
madaniyah, seperti pembahasan ayat-ayat makkiyah dalam surat madaniyah
dan sebaliknya, ayat yang diturunkan di Makkah namun hukumnya adalah madaniyah
dan sebaliknya, serta yang lainnya. Dijelaskan juga oleh penulis urgensi
kajian makkiyah dan madaniyah antara lain: (1) dengan mengetahui
tempat dan periode turunnya ayat-ayat Al-Quran, seorang ahli tafsir dapat
menafsirkan ayat-ayat tersebut dengan tepat dan benar, (2) dengan menelusuri
tempat dan fase turunnya ayat-ayat Al-Quran kita akan dapat pelajaran bagaimana
strategi dakwah yang tepat sehingga dakwah bisa lebih efektif, dan lain
sebagainya.
Bab
V, penulis membahas tentang “Yang Pertama dan Terakhir Diturunkan”. Dalam bab ini, penulis memaparkan bahwa yang
dimaksud dengan yang pertama dan terakhir diturunkan ada dua macam: (1) ayat
atau kelompok ayat yang pertama dan terakhir sekali diturunkan kepada Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, dan (2) ayat atau kelompok ayat
yang pertama dan terakhir sekali diturunkan kepada Nabi dalam tema-tema
tertentu. Beliau pun membawakan sejumlah pendapat ulama mengenai yang pertama
diturunkan secara mutlak, dan diakhir beliau menguatkan pendapat bahwa yang
pertama kali turun secara mutlak adalah Q.S. al-‘Alaq ayat 1-5, dilanjutkan
dengan menukilkan pendapat para ulama mengenai yang terakhir diturunkan secara
mutlak. Beliau pun menyebutkan bahwa yang paling populer di kalangan umat Islam
Indonesia mengenai ayat terakhir yang turun adalah surat al-Maidah ayat 3.
Beliau membahas pula ayat yang pertama dan terakhir diturunkan namun dalam
tema-tema tertentu, misalnya ayat tentang makanan adalah surat al-An’am ayat
145 yang turun di Makkah, kemudian ayat tentang khomr yang pertama kali turun
adalah surat al-Baqarah ayat 219 yang diturunkan di Madinah, dan yang lainnya.
Penulis buku pun menyinggung di akhir pembahasan mengenai urgensi kajian yang
pertama dan terakhir diturunkan ini, antara lain: (1) menunjukkan betapa
tingginya perhatian kaum muslimin sejak generasi awal terhadap sejarah turunnya
Al-Quran dan (2) membantu seorang mufassir dalam menafsirkan ayat
sehingga tafsirannya tepat dan benar.
Bab
VI, penulis menyajikan pembahasan mengenai “Pengumpulan Al-Quran”.
Dijelaskan bahwasanya maksud pengumpulan Al-Quran ada dua hal: (1) menghafal
Al-Quran dan (2) penulisannya baik dalam lembaran-lembaran yang masih
terpisah-pisah maupun dalam lembaran-lembaran yang sudah dibukukan dalam satu mushaf.
Beliau menjelaskan bahwa pengumpulan Al-Quran dalam sejarahnya berlangsung
dalam tiga periode: (1) Pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
(2) pada masa khalifah Abu Bakar Ash-shiddîq radhiyallahu ‘anhu, dan (3)
pada masa khalifah Utsmân ibn 'Affân radhiyallahu ‘anhu. Masing-masing
periode punya ciri-ciri sendiri. Periode pertama ditandai dengan penghafalan
dan penulisan Al-Quran di media-media sederhana (seperti tulang dan kulit
binatang, pelepah kurma dll). Periode kedua ditandai dengan pembukuan Al-Quran
dalam sebuah mushaf oleh panitia tunggal Zaid ibn Tsâbit. Periode ketiga ditandai
dengan pembukuan Al-Quran dalam beberapa mushaf dengan sistem penulisan
yang akomodatif terhadap qirâat, yang kemudian dikirimkan kebeberapa ibu
kota propinsi (waktu itu) untuk menjadi mushaf standar bagi umat Islam. Penulis
pun membawakan beberapa tuduhan disertai jawaban yang berkaitan dengan
pengumpulan Al-Quran yang dilontarkan oleh beberapa orientalis. Kesemua tuduhan
tersebut dijawab dan diluruskan serta dijelaskan kebenarannya oleh penulis.
Bab
VII, penulis memberikan judul “Ayat-Ayat dan Surat-Surat Al-Quran”. Beliau
menjelaskan pada bab ini pengertian dari ayat yang mempunyai beberapa
pengertian, yaitu (1) al-mu’jizah, (2) al-‘alamah atau tanda, (3)
al-‘ibrah atau pelajaran, (4) al-Amrul ‘ajib atau suatu hal yang
mengagungkan, (5) al-Burhan wa ad-dalil atau bukti dan dalil, serta (6) al-jama’ah
atau kelompok. Penulis juga membawakan pembahasan mengenai jumlah ayat-ayat
Al-Quran itu diketahui secara tauqifi, artinya semata-mata berdasarkan
petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ulama sepakat jumlah
keseluruhan ayat-ayat Al-Quran adalah pada angka 6.200, tetapi berbeda pendapat
pada angka puluhan dan satuan setelah dua ratus itu. Beliau juga memaparkan
bahwa susunan ayat Al-Quran itu sifatnya tauqifi, yaitu semata-mata
berdasarkan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan tidak
ada peran ijtihad para sahabat sedikitpun. Kemudian, penulis melanjutkan
pembahasan dengan pengertian surat dalam Al-Quran adalah sekelompok ayat-ayat
Al-Quran yang berdiri sendiri, memiliki awal dan akhir. Dijelaskan juga
bahwasanya ulama dari dahulu sampai sekarang sepakat bahwa jumlah surat-surat
dalam Al-Quran keseluruhannya adalah 114 surat yang dimulai dengan Surat
Al-Fatihah dan diakhiri dengan Surat An-Nas. Kemudian, nama dan susunan
surat-surat Al-Quran itu sifatnya adalah tauqifi, bukan taufiqi,
dengan alasan tidak ada pola tertentu dalam penamaan surat-surat tersebut.
Bab
VIII diberi judul oleh penulis dengan “Asbabun Nuzul”. Di bab ini, penulis
memaparkan beberapa hal. Asbabun nuzul adalah hal yang menjadi sebab
turunnya satu ayat, kelompok ayat, atau satu surat Al-Quran kepada Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau menjelaskan pula bahwa
tidak semua ayat-ayat Al-Quran diturunkan karena ada sebab peristiwa atau
pertanyaan yang diajukan. Kemudian, pada metode mengetahui asbabun nuzul,
dipaparkan bahwa tidak ada cara untuk mengetahui asbabun nuzul kecuali
melalui riwayat yang shahih dari Nabi dan para sahabat yang menyaksikan
turunnya ayat-ayat Al-Quran dan mengetahui peristiwa yang terjadi atau
pertanyaan yang diajukan kepada Nabi yang melatarbelakangi turunnya ayat
tersebut. Pada redaksi asbabun nuzul, disebutkan bahwa redaksinya itu
ada dua macam, yaitu (1) sharihah atau redaksi yang digunakan perawi
secara tegas dan jelas menunjukkan asbabun nuzul, dan (2) muhtamalah,
yaitu redaksi yang digunakan perawi tidak secara tegas menunjukkan asbabun
nuzul, namun hanya mengandung kemungkinan asbabun nuzul. Lalu,
dijelaskan pula bahwa ada ayat, kelompok ayat, atau satu surat yang turunnya
itu disebabkan oleh berbagai sebab yang banyak atau disebut ta’addud
al-Asbab wa an-Nazil wahid. Sebaliknya, ada beberapa ayat berbeda yang
turun, namun sebab yang melatarbelakangi turunnya hanya satu. Ini disebut ta’addud
an-Nazil wa as-Sabab Wahid. Dijelaskan pula bahwa mengetahui asbabun
nuzul itu sangat penting dalam memahami ayat-ayat Al-Quran, terutama
menyangkut masalah hukum agar seorang mufassir terhindar dari kekeliruan
dalam menetapkan hukum. Kemudian penulis pun membahas mengenai kemungkinan
pengembangan pengertian asbabun nuzul, misalnya latar belakang historis,
geografis, politik, dan sosial budaya masyarakat pada nasa itu apakah dapat
dijadikan sebagai asbabun nuzul sekalipun tidak ada riwayat yang
mengaitkannya dengan ayat tertentu. Jika bisa, maka tentu akan berpengaruh
banyak kepada istinbath hukum.
Bab IX Nuzul Al-Qur’an Dalam Tujuh Huruf. pada bab
ini akan fokus tentang pembahasan dasar acuan nuzul al-qur’an dalam tujuh
huruf, Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa Al-Qur’an diturunkan dalam tujuh
huruf sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh 21 orang
sahabat besar dengan berbagai jalur, Apakah tujuh huruf itu masih terdapat
dalam Al-Qur'an? Menurut sebagian ulama Fiqh, ulama Qirâah dan ulama Kalâm,
sebagaimana dinyatakan oleh az-Zarqâni, tujuh huruf tersebut masih ada pada
Mushaf 'Utsmân. Menurut Ibn Jarîr at-Thabari bahwa Mushaf 'Utsmân hanya
mencakup satu huruf saja dari tujuh huruf tersebut. Tujuh huruf itu hanya ada
pada masa Rasulullah SAW, Abu Bakar dan 'Umar dan awal kekhalifahhan 'Utsmân.
Kemudian di bawah kepemimpinan 'Utsmân, umat Islam berpendapat perlunya
menyatukan umat Islam untuk menuliskan Al-Qur'an dalam satu huruf saja dari
tujuh huruf tersebut. Maka salah satu hikmahnya adalah sebagai Bukti
kemukjizatan Al-Qur’an dari aspek bahasa. Al-Qur’an mempunyai banyak pola susunan
bunyi yang sebanding dengan segala macam cabang dialek bahasa yang telah
menjadi naluri bahasa orang-orang Arab, sehingga setiap orang Arab dapat
mengalunkan huruf-huruf dan kata-katanya sesuai dengan irama yang telah
menjawab watak dasar mereka dan lahjah kaumnya, dengan tetap keberadaan
Al-Qur’an.
Bab X Qiraat Al-Qur’an. Secara terminologis yang
dimaksud dengan qirâah adalah cara membaca Al-Qur'an oleh seorang imam ahli
qirâah berbeda dengan cara membaca imam yang lainnya seperti qirâah Imam Nâfi'
berbeda dengan qirâah Imam 'Âshim atau Hamzah atau imam-imam lainnya.
Diterima atau tidaknya sebuah qirâah oleh para
ulama tidak ditentukan oleh orang atau siapa qari'nya, tetapi ditentukan oleh
standar tertentu menyangkut tiga hal, yaitu Kesesuaian dengan Salah Satu Mushaf
Utsmani, Kesesuaian dengan Kaedah Bahasa Arab walaupun dalam satu segi dan
Kesahihan sanadnya.
Dari segi kualitas sanadnya, qirâât dapat
dibagi menjadi qirâât mutawâtirah, masyhûrah, âhâd, syâdzah, maudhû'ah dan
mudrajah. Sedangkan dari segi kuantias qirâât nya dapat dibagi menjadi qiraat
sab'ah, 'asyarah dan arba'ata 'asyarah. Adapun berdasarkan Kuantitas Imam
Qirâ'ah ada tiga, yaitu Qirâât Sab'ah, Qirâât 'Asyarah, dan Qirââh Arba'ata
Asyara. Adapun bila ditanyakan Apakah keragamaan qirâah tersebut mempunyai
dampai kepada penafsiran ayat-ayat Al-Qur'an? Jawabannya iya dan tidak. Artinya
pada sebagian, perbedaan qirâah membawa implikasi tafsir, terutama aspek
konklusi atau istinbâth hukum, tetapi pada bagian lain perbedaan qirâah tidak
membawa implikasi penafsiran apa pun.
Bab XI Nâsikh Mansûkh. Nâsikh adalah isim fâ'il dari
nasakha dan mansûkh adalah isim maf'ûlnya. Dalam bentuk mashdar, naskhun
berarti al-izâlah dengan pengertian menghilangkan seperti matahari
menghilangkan bayangt-bayang. Kata naskh juga dipakai untuk pengertian
memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat lain. Perlu diketahui bahwa
naskh harus memenuhi empat syarat : pertama, Hukum yang dinasikh harus
hukum syar'i, bukan hukum aqli, kedua, Dalîl syar'i yang menasakh haruslah
datang kemudian dari dalîl syar'i yang dinasakh, ketiga, Khithâb yang
diangkat hukumnya tidak boleh merupakan khithâb yang dikaitkan dengan waktu
tertentu, karena hukum akan berhenti dengan sendirinya apabila waktunya sudah
habis, hal seperti ini tidak dinamai naskh, keempat, Naskh hanya ada pada masalah hukum semata.
Dengan demikian tidak ada naskh untuk masalah aqidah, sejarah, tentang alam
semesta dan lain-lain yang tidak bersifat hukum.
Ditinjau dari keberadaan ayat dan hukumnya,
nâsikh mansûkh dalam Al-Qur'an dapat dibagi tiga : Naskh Tilâwah dan Hukum,
Naskh Hukum tetapi Tilâwahnya Tetap, dan Naskh Tilâwah tetapi Hukumnya Tetap.
Di samping naskh Al-Qur'an dengan Al-Qur'an, para ulama juga membahas naskh
Al-Qur'an dengan as-Sunnah, naskh As-Sunnah dengan Al-Qur'an dan naskh
as-Sunnah dengan as-Sunnah.
Bab XII Muhkam dan Mutasyâbih. Ihkâm al-Kalâm berarti
itqânuhu yang artinya mengokohkannya dengan memisahkan berita yang benar dari
yang salah, dan memisahkan yang lurus dari yang sesat. Jadi al-Muhkam adalah
perkataan yang kokoh, rapi, indah dan benar.3 Dengan pengertian seperti itulah
Allah SWT mensifati Al-Qur'an bahwa keseluruhan ayat-ayatnya adalah muhkamah.
Dikatakan pula mutasyâbih adalah mutamâtsil (sama) dalam perkataan dan
keindahan. Jadi, tasyâbuh al-kalâm adalah kesamaan dan kesesuaian perkataan,
karena sebagiannya membetulkan sebagian yang lain. Dengan pengertian seperti
itulah Allah SWT mensifati Al-Qur'an bahwa keseluruhan ayat-ayatnya adalah
mutasyâbihah.
Secara garis besarnya dijelaskan bahwa
ayat-ayat muhkamât adalah ayat-ayat yang terang dan tegas maksudnya, dapat
dipahami dengan mudah, memiliki satu pengertian saja, dapat diketahui secara
langsung, tidak memerlukan lagi keterangan lain. Sedangkan ayat-ayat
mutasyâbihât adalah ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak
dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara
mendalam, tidak dipahami kecuali setelah dikaitkan dengan ayat lain; atau
ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui seperti ayat-ayat yang
berhubungan dengan yang ghaib-ghaib misalnya ayat-ayat yang mengenai hari
kiamat, surga, neraka dan lain-lain. Adapun Aspek-aspek tasyâbuh (kesamaran
makna) pada ayat-ayat mutasyâbihât dapat dilihat dari tiga segi, yaitu segi
lafal ayat, makna ayat, dan pada lafal dan makna ayat sekaligus.
Bab XIII Munâsabah Dalam Al-Quran, Al-munâsabah adalah
Bentuk hubungan antara satu kalimat dengan kalimat lain dalam satu ayat, atau
antara satu ayat dengan ayat lain dalam satu kelompok ayat, atau antara satu
surat dengan surat yang lain. Misalnya pembukaan Surat Al-An'âm dengan ayat
akhir Surat Al-Mâidah, Contoh lain pembukaan Surat Al-Baqarah menunjuk kepada
ash-Shirâth pada Surat Al-Fâtihah.
Macam-macam munâsabah. pertama,
Munâsabah antara Satu Kalimat dengan Kalimat Sebelumnya dalam Satu Ayat. kedua, Munâsabah antara Satu Ayat dengan Ayat
Sesudahnya. ketiga, Munâsabah antara Kelompok Ayat dengan Kelompok Ayat
Sebelumnya. keempat, Munâsabah antara Awal Surat dengan Akhir Surat
Sebelumnya. Dan kelima, Munâsabah
antara Satu surat dengan Surat lainnya.
Adapun bentuk-bentuk munâsabah diantaranya,
Zhâhir al-Irtibâth dan Khafiy al-Irtibâth (Irtibâth Ma'thûfah, dan Irtibâth
Ghairu Ma'thûfah). Kesimpulannya, bahwa yang menjadi urgensi munâsabah dalam
penafsiran al-qur'an adalah mencakup tiga arti penting dari munâsabah sebagai
salah satu metode dalam memahami dan menafsirkan Al-Qur'an. Pertama, dari sisi balâghah, Kedua, ilmu
munâsabah dapat memudahkan orang dalam memahami makna ayat atau surat, Ketiga,
ilmu munâsabah sangat membantu seorang mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat
Al-Qur'an.
Bab XIV Kisah-Kisah dalam Al-Qur’an. Secara
terminologi Qashashul Qur’an adalah pemberitaan Al-Qur’an tentang nabi-nabi
terdahulu, umat yang telah lalu, pribadi atau tokoh pada masa lalu, dan
peristiwa-peristiwa yang telah terjadi pada masa yang lalu termasuk yang
terjadi pada masa Nabi Muhammad SAW.
Ada tiga macam kisah dalam Al-Qur’an : Pertama,
Kisah para Nabi dan Rasul, Kedua, Kisah umat, tokoh atau pribadi (bukan
Nabi) dan peristiwa_peristiwa masa lalu, Ketiga, Kisah-kisah yang
terjadi pada zaman Nabi Muhammad SAW. Adapun tujuan dari kisah-kisah al-qur'an
diantaranya :
1. Menjelaskan
asas-asas dakwah dan pokok-pokok syari’at yang dibawa oleh para Nabi.
2. Meneguhkan hati
Rasulullah SAW dan hati umat Muhammad atas agama Allah, serta memperkuat
keyakinan orang-orang yang beriman bahwa kebenaran pasti menang mengalahkan
kebatilan.
3. Membenarkan
para nabi terdahulu, mengenang dan mengabadikan jejak peninggalan mereka. serta
Merperlihatkan kebenaran dakwah Nabi Muhammad SAW dengan berita-berita yang
dibawanya mengenai umat terdahulu melintas generasi dan zaman, dll.
Berbeda dengan karya sastera yang dibuat oleh
sasterawan, kisah-kisah dalam Al-Qur’an semuanya adalah kebenaran, faktual dan
sesuai dengan sejarah; tidak ada satupun yang bersifat fiktif. Kebenaran semua
kisah yang diungkapkan oleh Al-Qur’an itu didasarkan kepada keyakinan bahwa
semua firman Allah dalam Al-Qur’an adalah kebenaran yang datang dari Allah Yang
Maha Benar.
Bab XV Mukjizat Al-Qur’an, Secara terminologi yang
dimaksud dengan mukjizat atau i’jâz Al-Qur’an adalah ketidakmampuan siapa pun
untuk menjawab tantangan Al-Qur’an sebagai bukti kebenaran Risalah Nabi
Muhammad SAW. Al-Quran menantang siapa saja, baik manusia mau pun jin, untuk
membuat kitab suci seperti Al-Qur’an. Tantangan Al-Qur’an tersebut disampaikan
dalam tiga tahapan : Pertama, Al-Qur’an menantang siapa saja untuk
membuat seperti Al-Qur’an secara utuh. Kedua, Al-Qur’an menantang siapa
saja untuk membuat seperti Al-Qur’an 10 Surat saja. Ketiga, Al-Qur’an
menantang siapa saja untuk membuat seperti Al-Qur’an satu Surat saja.
Mukjizat Al-Qur’an dapat ditinjau dari
beberapa aspek, di antaranya aspek bahasa, sejarah, ramalan dan ilmu
pengetahuan. Sejarah dan ramalan termasuk pemberitaan tentang hal yang ghaib.
Sejarah adalah hal yang ghaib pada lalu, sedangkan ramalan adalah hal yang
ghaib pada masa yang akan datang. Disisi lain Al-Quran menceritakan berbagai
peristiwa sejarah yang dialami umat manusia pada masa yang lalu, bahkan mulai
dari peristiwa yang terjadi sebelum manusia itu sendiri diciptakan. Semua kisah
sejarah yang diungkapkan Al-Qur’an itu adalah fakta, bukan fiksi.
Bab XVI Tafsir Al-Qur’an, secara terminologis tafsir
adalah keterangan dan penjelasan tentang arti dan maksud ayat-ayat Al-Qur’an.
Sejauh ini, dikenal ada dua bentuk penafsiran , yaitu at-tafsîr bi al- ma’tsûr
dan at-tafsîr bi- ar-ra’yi, dan empat metode, yaitu ijmâli, tahlîli, muqârin
dan maudhû’i. Sedangkan dari segi corak lebih beragam, ada yang bercorak sastra
bahasa, fiqh, teologi, filsafat, tasawuf, ilmiyah dan corak sastra budaya
kemasyarakatan.
Bentuk Penafsiran Al-Qur’an, dari segi bentuk
dikenal dua bentuk penafsiran: (a) Tafsir bi al- ma’tsûr dan (b) Tafsir bi
ar-ra’yi. Selanjutnya ada Metode Penafsiran Al-Qur’an, dari segi metode sejauh
ini dikenal ada empat metode penafsiran yaitu ijmâli, tahlîli, muqârin dan
maudhû’i. lalu yang terakhir adalah Corak Penafsiran Al-Qur’an, Sejauh ini
corak-corak penafsiran yang dikenal antara lain sebagai berikut: Corak Sastra
Bahasa, Corak Fiqih atau Hukum, Corak Teologi atau Filsafat, Corak Tasawuf,
Corak Penafsiran Ilmiah, dan Corak Sastra Budaya Kemasyarakatan.
Kelebihan Buku
1. Penulis
membawakan sumber rujukan yang jelas, terutama Al-Quran dan hadits-hadits Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam serta kitab-kitab rujukan dari
ulama-ulama terdahulu maupun ulama belakangan, baik kitab-kitab berbahasa Arab
maupun berbahasa Indonesia.
2. Terjemahan
istilah berbahasa Arab serta redaksi kutipan dari kitab-kitab rujukan berbahasa
Arab yang dilakukan penulis secara garis besar mudah dipahami.
Kekurangan Buku
1. Terdapat beberapa
kesalahan ejaan.
2. Beberapa hadits
yang tercantum banyak dijumpai hanya terjemahannya saja tanpa menyertakan
teksnya yang berbahasa Arab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar