Resensi Buku ‘Ulum Al-Quran (Memahami Otentifikasi Al-Quran)
Oleh
Kelompok 10 kelas PAI IB:
Annisa
Septiani (210414035)
Ray
Bagja Muharam (210414082)
Rizqi
Arif Muttaqin (210414086)
Identitas
Buku
Karya
: Dr. H. Sahid HM, M.Ag
Judul
: ‘ULUM AL-QURAN (Memahami Otentifikasi al-quran)
Isi Buku
BAB I
KERANGKA
KONSEPTUAL
ULUM AL-QURAN
Ilmu yang mencakup pembahasan-pembahasan yang berhubungan
dengan al-Qur`an dari segi pengetahuan tentang sebab-sebab
turun, pengumpulan al-Qur`an dan urutan urutannya, pengetahuan tentang makki dan
madani, nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasyabih, dan hal-hal
lain yang ada hubungannya dengan al-Qur`an.
Kedua, meskipun keduanya tidak
membatasi pembahasan pada aspekaspek yang ditampilkan, namun definisi
pertama lebih luas cakupannya dari yang kedua, karena definisi pertama
diawali dengan kata yang merupakan bentuk jamak dan menyebutkan secara
eksplisit penolakan hal-hal yang bisa menimbulkan keragu-raguan terhadap
al-Qur`an sebagai bagian dari pembahasan.
Ilmu yang berdasarkan rasio adalah ilmu al-Qur`an yang
membahas segala sesuatu yang berhubungan dengan berbagai aspek yang dapat
dilihat atau diambil dari al-Qur`an.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa ruang lungkup ‘ulum
al-Qur’an yang mencakup berbagai segi dari al-Qur’an berkisar di antara ilmu
bahasa Arab dan pokok agama , karena yang dibahas dalam ‘ulum
al-Qur’an adalah ilmu yang membicarakan al-Qur’an sebagai i‘jaz dan hidayah.
Dalam pembahasan al-Qur’n sebagai
mukjizat, tercakup berbagai cabang ilmu bahasa seperti ‘ilm al-i‘rab, ‘ilm
al-qira’ah, ‘ilm al-nahw, ‘ilm al-sharf, ‘ilm
al-badi‘, ‘ilm al-ma‘ani, ‘ilm al-bayan, ‘ilm adab
al-nushush, ‘ilm majaz al-Qur’an, ‘ilm gharib al-Qur’an, dan
‘ilm al-muhkam wa al-mutasyabih.
Dalam pembahasan al-Qur’an sebagai
hidayah , di dalamnya tercakup‘ilm al-kalam , ‘ilm nuzul
al-Qur’a, ’ilm asbab al-nuzul, ‘ilm tarikh al-Qur’an, ‘ilm
al-makkiwa al-madani, ‘ilm al-nasikh wa al-mansukh, ‘ilm aqsam
al-Qur’an, ‘ilm amtsal al-Qur’an, dan ‘ilm tafsir al-Qur’an.14
Al-Bulqini dalam kitabnya Mawaqi‘ al-‘Ulum min Mawaqi‘ al-Nujum membahas
setidaknya lima puluh macam ilmu alQur’an.Metode yang dipakai dalam ‘ulum
al-Qur’an adalah metode deskriptif, yaitu dengan cara memberikan
penjelasan dan keterangan yang mendalam mengenai bagian-bagian al-Qur’an yang
mengandung aspek-aspek yang dibahas dalam ‘ulum al-Qur’an.
‘Ulum al-Qur’an merupakan alat untuk melawan
non-muslim yang selalu mengingkari kebenaran al-Qur’an dan memberi bantahan
atas tuduhan orang-orang orientalis yang menyatakan bahwa sumber al-Qur’an
berasal dari Nabi Muhammad.Selain itu, tujuan
mempelajari ‘ulum al-Qur’an adalah agar dapat memahami maksud firman Allah
sesuai dengan keterangan dan penjelasan dari Nabi Muhammad SAW dan dari
tafsiran para sahabat serta tabiin
terhadap ayat-ayat al-Qur’an.Dengan demikian, ‘ulum al-Qur’an sangat
bermanfaat dalam pembacaan ayat-ayat al-Qur’an secara benar, penulisan
ayat-ayat al-Qur’an secara beragam, pemahaman isi yang tertuang di dalam
ayat-ayat al-Qur’an secara tepat, penghayatan dan pengamalan terhadap
berbagai petunjuk alQur’an secara utuh.
BAB II
SEJARAH PERTUMBUHAN
ULUM AL-QURAN
Mereka sangat mengetahui makna dan ilmu
al-Qur’an, sehingga mereka tidak membutuhkan pembukuan al-Qur’an dalam
satu kitab. Hasan al-Bashri mengarang kitab yang berkaitan dengan
qira’ah. Atha’ bin Abi Rabah menyusun kitab Gharib alQur’an. Qatadah
bin Dima‘ah al-Sadusi menulis kitab yang berkaitan dengan al-nasikh wa
al-mansukh.
‘Ali bin Madani menyusun kitab‘Ilm Asbab Nuzul, guru
Imam al-Bukhari. AbuUbaid Qasim bin Salam menyusun kitab ‘Ilm al-Nasikh wa
al-Mansukh dan ‘Ilm al-Qira’ah. Muhammad bin Ayyub al-Dlirris menyusun
kitab‘Ilm al-Makkiwa al-Madani. Ibn Qutaibah menyusun kitab Ta’wil
Musykilat al-Qur’an dan Tafsir Gharib al-Qur’an.
Al-Farra’ Yahya bin Yazid menyusun kitab Ma‘ani
al-Qur’an. Dalam hal ini, ulama yang paling terkenal dalam penyusunan
kitab tafsir adalah Ibn Jarir al-Thabari . Ia menyusun kitab tafsir
yang sangat fundamental, paling besar, dan paling tinggi nilainya
pada saat itu. Karya al-Thabari, dilihat dari metodenya, adalah
kitab tafsir yang menggunakan pendekatan al-tafsir bi al-ma’tsur, yaitu
tafsir yang bercorak tradisional dengan menafsirkan al-Qur’an dengan
hadis, ijtihad para sahabat, dan ijtihad para tabi‘in.Hanya
saja, pengertian ‘ulum al-Qur’an dalam diskursus terminologis, baru
dikenal pada akhir abad ke-3 H atau awal abad ke-4, yaitu pada saat
Muhammad bin Khalaf bin Marzuban menyusun kitab al-Hawifi ‘Ulum al-Qur’an.
Menurut sebagian yang lain, istilah ‘ulum al-Qur’an baru
muncul pada abad ke-5 H, yaitu ketika ‘Ali bin Ibrahim al-Hufimenulis
kitab al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an. Ibn Naqiyah menulis kitab al-Juman fi
Tasybihat al-Qur’an. Kitab ini mencapai 30 jilid dan pada waktu belakangan
diperkecil menjadi 15 jilid. Al-Karmani menyusun kitab alBurhan fi
Mutasyabih al-Qur’an.Al-Ashfahani menyusun kitab al-Mufradat fi Gharib
al-Qur’an. Abu al-Qasim bin ‘Abd al-Rahman al-Suhaili menyusun kitab
Mubhamat al-Qur’an. Kitab ini menjelaskan kan maksud kata-kata dalam
al-Qur’an yang masih abstrak maksudnya, seperti kata rajul dan malik.
Ibn al-Badzisyi menyusun kitab al-Iqna’ fi Qira’at
al-Sab‘.
Ibn al-Jauzi menyusun kitab Funun al-Afnan fi
‘Aja’ib al-Qur’an dan al-Mujtaba fi ‘Ulum Tata‘allaq bi
al-Qur’an. Al-Sakhwi menyusun kitab al-Mursyid al-Wajiz fi Ma Yata‘allaq
bi al-Qur’an al-‘Aziz. Rasyid al-Din Muhammad bin ‘Ali bin Syahrasyub
menyusun kitab Asbab al-Nuzu dan Mutasyabih al-Qur’an. Amin al-Din
al-Thabrasi menyusun kitab Majma‘ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an.‘Alam al-Din al-Sakhawi menyusun
‘ilm alqira’ah dalam kitab Jamal al-Qurra’ wa Kamal al-Iqra’. Ibn Abi
al-Isyba‘ menyusun kitab ‘Ilm Bada’i‘ al-Qur’an, suatu ilmu yang membahas
macam-macam badi‘ dalam al-Qur’an. AbuSyamah menyusun kitab al-Mursyid
al-Wajiz fi Ma Yata‘allaq bi al-Qur’an. Ahmad bin Muhammad al-Maqqari
menyusun kitab I‘rab al-Qur’an. Al-Syaikh Mar’ al-Karami menyusun kitab
Qala’id al-Marjan fi al-Nasikh wa al-Mansukh min al-Qur’an.
Al-Banna’ menyusun kitab Ittihaf Fudlala’ alBasyar fi Qira’at
al-Arba‘ah ‘Asyara. ‘Abd al-Ghina al-Nabilsi menyusun kitab Kifayat
al-Mustafid fi ‘Ilm al-Tajwid. Al-Jamzuri menyusun kitab Tuhfat al-Athfal
wa al-Ghilman fiTajwid al-Qur’an. Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab menyusun
kitab Fadla’il al-Qur’an.Al-Dimyathi , menyusun kitab Risalat fi Mabadi’
al-Tafsir. Al-Hurni menulis kitab al-Jauhar al-Farid fi Rasm al-Qur’an
al-Majid. Ibn Hamid al-’Amiri menulis kitab al-Nasikh wa
al-Mansukh. Thahir al-Jaza’iri menyusun kitab al-Tibyan fi ‘Ulum alQur’an.
Jamal al-Din al-Qasimi mengarang kitab Mah asin al-Ta’wil. Muhammad ‘Abd al-‘Adhim al-Zarqani menyusun kitab Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an. Muhammad ‘Ali Salamah mengarang kitab Manhaj alFurqan fi ‘Ulum al-Qur’an. Thanthawi Jauhari mengarang kitab al-Jawahir fi Tafsir alQur’an dan al-Qur’an wa ‘Ulum al-‘Ashriyah. Mushthafa Shadiq al-Rafi‘i menyusun kitab I‘jaz al-Qur’an. Muhammad Mushthafa al-Maraghi menyusun kitab Tarjumat al-Qur’an, yaitu risalah kebolehan menerjemahkan alQur’an. Mushthafa Shabri menyusun kitab Mas’alat al-Tarjumat al-Qur’an.
BAB III
AL-QURAN SEBAGAI BUKTI
KEBENARAN
Al-Syafi‘i berpandangan bahwa kata
al-Qur’an bukan isim musytaq dan bukan pula mahmuz melainkan isim
murtajal, yaitu isim yang sejak semula telah terbentuk. Al-Qur’an
adalah nama khusus yang digunakan untuk Kitab Suci yang diberikan kepada Nabi
Muhammad, sebagaimana nama Taurat dan Injil yang diberikan kepada Musa dan
Isa. Menurut al-Farra’ , kata al-Qur’an adalah isim
musytaq, mengikuti wazan fu‘lan yang diambil dari kata
al-qara’in , jamak dari kata qarinah yang ber arti bukti. Pemberian arti ini mengillustrasikan bahwa sebagian ayat al-Qur’an
membuktikan kebenaran sebagian yang lain.
Menurutnya, kata al-Qur’an adalah isim
musytaq, mengikuti wazan fu‘lan yang diambil dari kata al-qarn yang
berarti mengumpulkan atau menggabungkan. Hal ini disebabkan suratsurat dan
ayat-ayat al-Qur’an dihimpun dan digabungkan dalam satu mushaf. Aksentuasi
dalam pandangan ini bahwa ayat-ayat al-Qur’an secara internal terdapat
unsur-unsur persamaan dan saling membenarkan antara yang satu dengan yang
lain. Menurut al-Zajjaj , kata al-Qur’an adalah isim
sifat, mengikuti wazan fu‘lan yang diambil dari kata
alqar’ , yakni al-jam‘ yang berarti mengumpulkan atau
menghimpun.Makna ini menggambarkan bahwa semua ayat, surat, hukum, dan
kisah dalam al-Qur’an berkumpul menjadi satu. Kami tidak mengalpakan
sesuatu pun di dalam al-Kitab Dalam pandangan yang lain, al-Qur’an berasal
dari kata al-qary yang berarti kampung atau kumpulan rumah. Pendapat yang
mengatakan bahwa kata al-Qur’an terambil dari kata al-qar’ dan al-qary yang
berarti himpunan atau kampung mengaksentuasikan bahwa al-Qur’an merupakan
kumpulan dari ayat dan surat, yang kemudian menjadi satu kesatuan yang
bersifat utuh dan menyeluruh. Pengertian ini diorientasikan pada
objek, yaitu sesuatu yang dibaca.
Makna al-Qur’an dalam pengertian ini adalah
kumpul atau menjadi satu.
Pengertian tersebut mendeskripsikan bahwa huruf dan
kalimat adalah ungkapan al-Qur’an yang berkumpul menjadi satu dalam
mushaf. Para sarjana Barat yang belakangan pada umumnya menerima pandangan
Friedrich Schwally bahwa kata qur’an merupakan derivasi dari bahasa Syria atau
Ibrani, yaitu qeryani, qiryani , yang digunakan dalam
liturgi Kristen. 2 Kemungkinan terjadinya pinjaman dari bahasa Semit
lainnya dalam kasus ini bisa dibenarkan, sebab orang-orang Arab sering
melakukan kontak atau hubungan dengan orang di luar Arab.
Melalui kontak tersebut, barbagai kata non-Arab masuk ke
dalam bahasa Arab. Jika dikaji secara seksama, tampaknya pendapat
al-Lihyani yang mendekati kebenaran. Kata al-Qur’an terambil dari kata
qara’a-yaqra’u-qira’atan-wa qur’anan yang secara harfiah berarti
bacaan. Kata al-Qur’an sebanding dengan kata fu‘lan , kata
rujhan , dan kata ghufran , yang masing-masing diambil dari
akar kata fa‘ala , rajah}a , dan ghafara .
Al-Qur’an itu tidak lain hanyalah peringatan dan bacaan yang
terang. Penempatan al-Qur’an dalam bentuk mashdar dengan makna
maf‘ul, yakni maqru’ merupakan penamaan yang
tepat. Artinya, kata al-Qur’an dipindahkan dari makna mashdar dan
dijadikan sebagai nama dari kalam Allah yang mu‘jiz, yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad. Penamaan al-Qur’an dengan penyebutan al-Furqan yang
secara harfiyah pembeda membuktikan bahwa al-Qur’an membedakan antara yang
halal dan yang haram, antara yang benar dan yang batil, antara yang
bersih dan yang kotor, antara yang baik dan yang buruk, antara yang
benar dan yang salah, antara perintah dan larangan, antara yang
manfaat dan mafsadat, demikian juga yang lainnya. Ketentuan ini
terungkap dalam berbagai ayat yang mengaksentuasikan pada makna pembeda
tersebut.
Keotentikan al-Qur’an Di dalam al-Qur’an disebutkan
bahwa al-Qur’an sepenuhnya berasal dari Allah dan tidak sedikitpun ada campur
tangan Nabi Muhammad SAW. Allah bahkan mengancam Nabi Muhammad apabila
beliau mengada-ada di dalam al-Qur’an. Maka sekali-kali tidak ada seorang
pun dari kalian yang dapat menghalangi dari pemotongan urat nadi itu.Naskah
‘Utsman dan yang buruk, antara yang benar dan yang salah, antara
perintah dan larangan, antara yang manfaat dan mafsadat, demikian
juga yang lainnya. Naskah ‘Utsman itu menjadi standar yang terus berlaku
sampai sekarang. Menurut keyakinan umat Islam, di antara kitab-kitab
suci yang masih terpelihara keasliannya sampai sekarang adalah
al-Quran. Salah satu di antaranya adalah bahwa ia merupakan kitab yang
keotentikannya dijamin oleh Allah.Ia adalah kitab yang selalu
dipelihara. Huruf yang merupakan awal dari surat ke-50, ditemukan
terulang sebanyak 57 kali atau 3 X 19. Huruf
kaf, ha’, ya’, ‘ain, shad, dalam surat
Maryam, ditemukan sebanyak 798 kali atau 42 X 19. Huruf yang memulai
surat al-Qalam, ditemukan sebanyak 133 atau 7 X 19. Huruf-huruf dan yang terdapat pada keseluruhan
surat yang dimulai dengan kedua huruf ini, ha’ mim, kesemuanya
merupakan perkalian dari 114 X 19, yakni masing-masing berjumlah
2.166. Bilangan-bilangan ini, yang dapat ditemukan langsung dari
celah ayat al-Qur’an, oleh Rasyad Khalifah, dijadikan sebagai bukti
keotentikan al-Qur’an.
Karena, seandainya ada ayat berkurang atau berlebih atau
ditukar kata dan kalimatnya dengan kata atau kalimat yang lain, maka tentu
perkalian-perkalian tersebut akan menjadi kacau. Angka 19 di
atas, yang merupakan perkalian dari jumlahjumlah yang disebut
itu, diambil dari pernyataan al-Qur’an sendiri, yakni yang termuat
dalam surat al-Muddatstsir ayat 30 yang turun dalam konteks ancaman terhadap
seorang yang merupakan kebenaran al-Qur’n. Sebagai teks agama, al-Qur’an merupakan dasar dalam perkembangan
linguistik Arab dan menjadi dasar tata bahasa, kosakata, dan
sintaksis bahasa Arab. buku prosa pertama dalam bahasa
Arab, al-Qur’an menjaga keseragaman bahasa. Sehingga meskipun
sekarang seorang Maroko menggunakan dialek yang berbeda dengan yang digunakan
orang-orang Arab atau Irak, semua menulis dalam corak yang
sama. Dalam konteks historis, sejarah al-Qur’an adalah sangat jelas
dan terbuka, sejak turunnya sampai sekarang. Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur dalam waktu lebih kurang 23
tahun. Sejarah menginformasikan bahwa setiap ada ayat yang
turun, Nabi lalu memanggil para sahabat yang dikenal pandai menulis untuk
menuliskan ayat-ayat yang turun, sambil menyampaikan tempat dan urutan
setiap ayat dalam suratnya. Katakanlah datangkanlah sepuluh surat yang
dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang yang kalian sanggup
memanggilnya selain Allah, jika kalian orang-orang yang
benar. Meskipun sepuluh surat, ternyata tidak satu pun seseorang yang
dapat melakukannya.
Hal ini didukung oleh fakta sejarah, yaitu peristiwa
yang terjadi pada ‘Abd Allah Ibn al-Muqaffa , sastrawan besar dan
penulis terkenal. Dalam suatu peristiwa, sekelompok orang Zindiq
tidak senang melihat pengaruh al-Qur’an terhadap masyarakat. Ia berjanji
akan menyelesaikan tugas dalam waktu satu tahun. Setelah berjalan setengah
tahun, mereka mendatanginya dengan tujuan untuk mengetahui hasil yang
dicapai. Pada waktu memasuki
kamar, mereka menemukan Ibn al-Muqaffa sedang duduk memegang
pena, tenggelam dalam alam pikirannya. Kertas tulis bertebaran di
lantai dan kamarnya penuh dengan sobekan kertas yang ditulis. Realitas
tersebut membuktikan bahwa Ibn al-Muqaffa yang telah mencurahkan kemampuannya
tidak sanggup menjawab tantangan al-Qur’an. Dalam waktu setengah
tahun, ternyata ia tidak mampu mendatangkan satu ayat pun, apalagi
sepuluh surat yang dihasilkan.Hal ini semakin memperlihatkan kemukjizatan
al-Qur’an, karena dalam volume kecil pun mereka tidak mampu
melakukannya. Katakanlah , maka cobalah datangkan sebuah surat
seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kalian panggil selain
Allah, jaka kalian orang-orang yang benar. Tantangan al-Qur’an
terakhir terhadap orang-orang kafir untuk menyusun beberapa ayat yang bisa
menyerupai ayat-ayat al-Qur’an, baik dari segi isi, ilustrasi, keindahan
bahasa maupun kemampuannya mengungkap berbagai peristiwa. Dan ajaklah para
penolongmu selain Allah jika kalian orang-orang yang benar. Bersihkanlah apa yang engkau akan
bersihkan, bagian atasmu adalah air dan bagian bawahmu di
tanah. Gubahan ayat yang dilakukan oleh Musailimah alKadzdzab itu tidak
mencerminkan karya sastra dan kandungan isi yang bagus, bahkan gubahan itu
sangat kotor dan tidak layak dikatakan sebagai ayat yang dianggap sebagai wahyu
yang turun dari Tuhan. Kenyataan tersebut adalah bukti otentik bahwa
al-Qur’an adalah wahyu yang tidak dapat ditandingi. Menurut
al-Khuli, al-Qur’an adalah kitab sastra terbesar yang dapat mengalahkan
mu‘allaqat yang beredar di tengah-tengah masyarakat.17 Daya magis syair dan
kaha>ah secara esensial melekat di dalam al-Qur’an. Hal ini justru
menunjukkan bahwa al-Qur’an adalah wahyu Allah yang selalu berdialektika dengan
masyarakat sekaligus mengandung nilai sastra yang sangat tinggi. Karena
al-Qur’an mengandung nilai sastra, terdapat sebagian pakar al-Qur’an yang
memahami al-Qur’an dengan pendekatan sastra atau
semantik. Menurutnya, metode ini dianggap sebagai metode yang paling
sesuai dengan objek kajian teks Kitab Suci yang penuh dengan nilai
sastra, dan diakui baik pada zaman pewahyuan maupun sekarang. Pakar yang lain berupaya mengkaji al-Qur’an
secara tematis dengan mengumpulkan seluruh surat dan ayat yang berkaitan dengan
objek kajian sebelum dilakukan proses analisis.
BAB IV
WAHYU DALAM KONTEKS
TURUNNYA AL-QUR’AN
Definisi Wahyu
Secara
etimologis wahyu terambil dari kata waha -yahi- wahya ( )وحى- يحى- وحيا yang berarti suara, api, kecepatan,
bisikan, rahasia, isyarat, tulisan, dan kitab. Secara terminologis ulama
berbeda pendapat dalam memberikan definisi. Menurut Manna al-Qaththan, wahyu
ialah petunjuk Allah yang diberikan kepada seseorang yang dimuliakan secara
cepat dan tersembunyi.1 Artinya, petunjuk yang diberikan secara cepat yang
datang secara langsung ke dalam jiwa tanpa didahului pikiran dan tidak
diketahui oleh seseorang. Shubhi al-Shalih menyatakan bahwa wahyu ialah
pemberitahuan yang bersifat ghaib, rahasia dan sangat cepat. Nabi Muhammad sebagai manusia biasa menerima bisikan dari Allah yang
disebut dengan wahyu. Bisikan itu berisi misi atau risa>lah
ila>h}i>yah yang disampaikan kepadanya melalui Jibril. Dalam hal
ini, Malaikat Jibril terkadang menampakkan wajah atau bentuknya yang
asli. Hanya sedikit gambaran yang diilustrasikan al-Qur’an tentang bentuk
asli malaikat.
Ayat al-Qur’an yang pertama turun adalah surat
al-‘Alaq ayat 1-5. Wahyu kemudian berhenti selama tiga
tahun. Pertama, periode Makkiyah, yaitu masa ayat-ayat yang
turun ketika Rasulullah bermukim di Mekah selama 12 tahun 5 bulan 13
hari, yakni 17 Ramadan tahun 41 dari kelahiran Rasulullah sampai permulaan
Rabi‘ al-Awwal tahun 54 dari kelahiran Rasulullah. Kedua, periode
Madaniyah, yaitu masa ayat-ayat yang turun setelah Rasulullah hijrah ke
Madinah, yaitu selama 9 tahun 9 bulan 9 hari, yakni dari permulaan
Rabi‘ al-Awwal tahun 54 dari kelahiran Rasulullah sampai 9 Dzulhijjah tahun 63
dari kelahiran Rasulullah atau tahun 10 H.Rasulullah menerima wahyu al-Qur’an
tidak sekaligus tapi berangsur-angsur.Turunnya wahyu al-Qur’an secara
berangsurangsur dapat memperbaiki sikap dan perilaku umat dan memunculkan
kesadaran. Turunnya al-Qur’an secara berangsur-angsur merupakan jawaban
terhadap orang-orang kafir yang mengiginkan al-Qur’an diturunkan
sekaligus. Ayat al-Qur’a>n turun kepada Rasulullah melalui proses dan
tidak datang dengan sekali tetapi berangsur-angsur mengikuti satu peristiwa ke
peristiwa yang lain. Ayat dhihar turun tentang Salamah bint
Shakhr, ayat li‘an turun tentang Hilal bin ‘Umayyah, qadzaf turun
tentang orang yang menuduh ‘Am Ibrahim sebagai mushalla.Tentang kapan prosesnya
al-Qur’an diturunkan ke lauh al-mahfudh dan bagaimana caranya, hanya Allah
yang mengetahui. Penetapan tanggal 17 Ramadan sebagai malam ayat al-Qur’an
turun didasarkan pada berbagai isyarat yang dilansir al-Qur’an yang
menggambarkan bahwa hari turun al-Qur’an sama dengan peristiwa peperangan Badar
yang diabadikan al-Qur’an dengan sebutan yaum al-furqan dan yaum al-taqa
al-jam‘an . Tentang wahyu yang dibawa oleh Malaikat Jibril kepada
Nabi Muhammad, al-Zarkasyi menukil tiga pendapat
al-Samarqandi. Kedua, Jibril hanya menurunkan maknanya, sementara
verbalisasi wahyu dilakukan oleh Nabi Muhammad.
BAB V
HISTORITAS
PENULISAN MUSHAF AL-QUR’AN
Penilisan
Mushaf Pra ‘Utsman
Beberapa sahabat yang dikenal sebagai penulis
wahyu, antara lain Abu Bakr al-Shiddiq, ‘Umar bin
Khaththab, ‘Utsman bin ‘Affan, ‘Ali bin Abi Thalib, Mu‘awiyah
bin Abi Sufyan, Abban bin Sa‘id, Khalid bin Walid, Ubay bin
Ka‘b, Zaid bin Tsa>bit, Tsabit bin Qais, ‘A Musa
al-Asy‘ari, Abu Darda’,2 Arqam bin Ubay, H{andhalah bin
Rabi‘, Zubair bin ‘Awwam, ‘Abd Allah bin Arqam, dan ‘Abd Allah
bin Rawahah.
Alat tulis yang digunakan para sahabat pada saat
itu bermacam-macam, di antaranya
‘usub , likhaf , riqa‘ , karanif , aqtab , akta>f . Ketika
‘Umar ditikam oleh seorang pemberontak, lembaran-lambaran al-Qur’an
diserahkan kepada Hafshah, putrinya yang sekaligus istri Rasulullah.‘Ali
memperhatikan orang-orang asing yang suka menodai kemurnian bahasa Arab dan dia
khawatir bahasa Arab menjadi berantakan. Di samping itu, pada masa
pemerintahan ‘Ali, bangsa-bangsa non-Arab banyak yang masuk Islam dan mereka
salah membaca al-Qur’an. Akhirnya pembuatan tanda-tanda tertentu yang
dapat membantu bacaan dengan baik dan benar dilakukan. Pada saat
itu, dua tokoh yang populer adalah ‘Ubaid Allah bin Ziyad dan al-Hiajjaj
bin Yusuf al-Tsaqafi . Dalam satu
riwayat, ‘Ubaid Allah bin Ziyad memberi perintah kepada seorang berasal
dari Persia untuk menambahkan huruf alif pada dua ribu kata yang semestinya
dibaca dengan suara panjang. Menurut versi yang lain, perbedaan
bacaan karena tidak adanya tanda titik mengindikasikan adanya perbedaan bacaan
yang menimbulkan perbedaan makna. Dari Realitas ini, Khalifah ‘Abd
al-Malik bin Marwa>n memerintahkan ulama besar al-Hiajjaj bin Yusuf
al-Tsaqafi untuk memberikan tanda-tanda baca kepada al-Qur’a>n yang kemudian
distandarkan penggunaannya, dengan dibantu Nashr bin ‘A bin Ya‘mur dua
murid ulama besar Abu> al-Aswad al-Duwali>.
Kedua orang ini yang memberi titik pada sejumlah huruf tertentu yang mampunyai kemiripan antara satu dengan yang lainnya, misalnya penambahan titik di atas huruf د sehingga menjadi huruf ذ . Penambahan titik yang bervariasi pada sejumlah dasar ب menjadi huruf ب ,ت , dan ث . Huruf ر dibedakan ط ,ض dengan dibedakan ص ,ش dengan dibedakan س ,ز dengan dibedakan dengan ظ ,ع dibedakan dengan غ ,dan ف dibedakan dengan . Menurut riwayat yang lain, yang mula-mula memberi titik dan baris ialah al-Hasan al-Bashri dengan perintah ‘Abd al-Malik bin Marwan
Bab 6
Definisi Asbab al-Nuzul
Cara Mengetahui Asbab al-Nuzul
Adanya sebab turunnya ayat adalah peristiwa sejarah yang
terjadi pada masa Rasulullah. Oleh karena itu, tidak ada cara lain
untuk mengetahuinya kecuali dengan cara riwayat yang shahih} dari orang-orang
yang telah menyaksikan atau orang-orang yang hadir pada saat
kejadian. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan
hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban«Selain dalil al-Qur’an
juga terdapat hadis riwayat al-Turmudzi yang menegaskan tidak diperkenankannya
menafsirkan al-Qur’an tanpa dasar ilmu. » Yah}ya bin Sa‘id dari Sa‘id bin
Musayyab meriwayatkan bahwa jika ia ditanya tentang penafsiran ayat-ayat
al-Qur’an, ia menjawab bahwa dirinya tidak akan berkomentar tentang
sesuatu apa pun dalam al-Qur’an.
Untuk menjaga kesalahan dalam menafsirkan ayat al-Qur’a>n, ulama
membatasi cara mengetahui asbab al-nuzul dengan riwayat yang shahih. Syarat-syarat yang harus dipenuhi tentang asbab al-nuzul dari tabi‘in
ada empat. Petama, redaksinya jelas dengan menggunakan kata-kata
sebab, misalnya sebab turunnya ayat ini adalah begini atau memuat fa’
ta‘qibiyah, misalnya terjadi begini dan begitu atau Rasulullah ditanya
tentang hal ini, kemudian Allah menurunkan ayat ini atau turunlah ayat
ini. Ketiga, tabi‘in yang dimaksud adalah imam tafsir yang mengambil
dari sahabat.
Keempat, mendapat dukungan dari riwayat
tabi‘in yang lain.
Jika terdapat beberapa riwayat yang menjelaskan sebab nuzul
ayat yang salah satu riwayat di antaranya shahih, maka yang menjadi
pegangan adalah riwayat yang shahih. Kedua riwayat shahih dan salah
satunya mempunya murajjih, sedang yang lain tidak. Jika terdapat
riwayat yang samasama shahih, tetapi terdapat murajjih terhadap salah
satunya, seperti kehadiran perawi dalam kisah peristiwa turunnya ayat atau
salah satu dari riwayat lebih shahih, maka riwayat itu
diutamakan. Apabila riwayat itu sama-sama kuat, perlu dipadukan bila
memungkinkan, seperti ayat yang turun setelah terjadi dua peristiwa atau
lebih, karena jarak antara peristiwa yang satu dengan yang lain
berdekatan.Karena itu, riwayat tersebut dapat dipadukan bahwa peristiwa
Hilal terjadi lebih awal dan secara kebetulan ‘Uwaimir mengalami kejadian yang
sama. Jika riwayat itu sama-sama shahih dan tidak dapat dikompromikan
antara satu dengan yang lain karena jarak waktu yang jauh, maka hal itu dipandang
sebagai ayat yang berulang-ulang. Misalnya, satu peristiwa yang
menyebabkan turunnya tiga ayat, yang inti kandungannya lebih dari satu dan
berbeda pesan yang dikandung adalah hadis yang diriwayatkan oleh
al-Turmudzi, Ibn Jarir, Ibn Mundzir Ibn Abi Hatim, al-Thabrani, dan
al-Hakim.
Para ulama telah menulis beberapa kitab yang berkaitan dengan
sebab-sebab turunnya ayat. Di antara kitab yang populer adalah Asbab
al-Nuzul karya al-Wahidi , Asbab al-Nuzul karya Ibn
Taimiyah , dan Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul karya
al-Suyuthi . Menurut Ibn Daqiq al-‘Il adalah cara yang paling tepat
untuk memahami makna al-Qur’an
Misalnya, ayat yang berkaitan dengan pelaksanaan sa‘i
antara bukit Shafa dan Marwah. Sebagian orang ada yang berpendapat bahwa
melaksanakan ibadah sa‘i tidak wajib dalam ibadah haji. Secara tekstual
ayat di atas tidak menunjukkan wajibnya sa‘i bagi orang yang beribadah haji
atau ‘umrah. Dalam riwayat lain diungkapkan bahwa ayat tersebut turun
berkenaan dengan orang-orang Anshar yang sebelum Islam datang mereka biasa
mendatangi manat yang diletakkan antara bukit Shafa dan Marwah untuk
menyembahnya.Orang-orang yang dahulunya menyembah Manat, keberatan untuk
melakukan sa‘i di antara kedua tempat tersebut. Oleh karena
itu, tidak seorangpun yang diperbolehkan meninggalkan sa‘i di dalam
melaksanakan ibadah haji. Pengetahuan yang demikian memberi
manfaat, baik bagi umat muslim maupun non-muslim seperti penghapusan
minuman keras, misalnya ayat-ayat al-Qur’an turun dalam empat kali tahapan. «Mengetahui
asbab al-nuzul dapat menspesifikasi hukum terbatas pada sebab, terutama
ulama yang menganut kaidah »sebab khusus« , bukan »redaksi umum.
Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa
sedang dia tidak menginginkannya dan tidak melampau batas, maka
sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Menurutnya, ayat ini diturunkan berkaitan dengan orang-orang kafir
yang tidak mau memakan sesuatu kecuali yang telah mereka halalkan
sendiri. Mengharamkan makanan yang dihalalkan Allah dan menghalalkan
makanan yang telah diharamkan Allah merupakan kebiasaan orangorang
kafir, terutama orang-orang Yahudi. Mengetahui asbab al-nuzul dapat
mengidentifikasi pelaku yang menyebabkan ayat al-Qur’an turun.Saya sanggup
menyebutkan orang yang menyebabkan ayat itu turun». Mengetahui asbab
al-nuzul dapat membantu memahami ayat yang berlaku secara umum dan berlaku
secara khusus. Maksud yang terkandung di dalamnya adalah pemahaman
terhadap ayat melalui pengenalan asbab al-nuzul.
BAB 7
MUNASABAH DALAM AL-QUR’AN
Pengertian Munasabah. Secara etimologi, kata
munasabah sering dipakai dalam tiga pengertian. Kata ini dipakai dengan
makna musyakalah atau muqarabah . Kata munasabah juga diartikan
dengan an-nasib . Menurut Az-Zarkasyi
adalah merupakan usaha pemikiran manusia untuk menggali rahasia hubungan antar
ayat atau surat yang dapat diterima akal. Bentuk-Bentuk dan Contoh
Munasabah. Munasabah ini terjadi karena antara bagian-bagian al-Qur`an
tidak ada kesesuaian, sehingga tidak tampak adanya hubungan di antara keduanya, bahkan
tampak masingmasing ayat berdiri sendiri, baik karena ayat yang
dihubungkan dengan ayat lain maupun karena yang satu bertentangan dengan yang
lain. Hal tersebut baru tampak ada hubungan yang ditandai dengan huruf
‘atf, sebagai contoh, terdapat dalam QS.
Dalam satu surat terdapat korelasi antara awal surat dan
akhirannya. Misalnya, dalam surat al-Qasas dimulai dengan kisah Nabi
Musa As. dan Fir’aun serta pasukannya, sedangkan penutup surat
tersebut menggambarkan pernyataan Allah Swt agar umat Islam jangan menjadi
penolong bagi orang-orang kafir, sebab Allah Swt lebih mengetahui tentang
hidayah. Hubungan antara ayat pertama dengan ayat terakhir dalam satu
surat. Contoh
dalam masalah ini misalnya dalam surat al-Mu’minun, ayat 1 yang berbunyi
«qad aflaḥa al-mu’minun» lalu di bagian akhir surat tersebut berbunyi «innahu
la yufliḥu alkafirun». Hubungan Mukadimah Satu Surat dengan Surat
Berikutnya. Misalnya antara surat al-Fatiḥah dan surat
al-Baqarah. Dimana dalam surat al Fatiḥah berisi tema global tentang
aqidah, muamalah, kisah, janji, dan ancaman.
Sedangkan dalam surat al-Baqarah menjadikan penjelas yang
lebih rinci dari isi surat al-Fatiḥah. Hubungan Penutup Satu Surat dengan
Mukaddimah Surat Berikutnya. «Hubungan Kandungan Surat dengan Surat Berikutnya. »
Pembahasan tentang munasabah antar surat dimulai dengan memposisikan surat
al-Fatiḥah sebagai Ummul Kitab , sehingga penempatan surat tersebut
sebagai surat pembuka adalah sesuai dengan posisinya yang merangkum keseluruhan
isi al-Qur`an Surat al-Fatiḥah menjadi ummul kitab, sebab di dalamnya
terkandung masalah tauhid, peringatan dan hukum-hukum, yang dari
masalah pokok itu berkembang sistem ajaran Islam yang sempurna melalui
penjelasan ayat-ayat dalam surat-surat setelah surat al-Fatiḥah.
Ayat 1-3 surat al-Fatiḥah mengandung isi tentang
tauhid, pujian hanya untuk Allah Swt karena Dia-lah penguasa alam semesta
dan Hari Akhir, yang penjelasan rincinya dapat dijumpai secara tersebar di
berbagai surat al-Qur`an. Salah satunya adalah surat al Ikhlas yang
dikatakan sepadan dengan sepertiga al-Qur`an Ayat 5 surat al-Fatiḥah إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ dijelaskan secara rinci tentang apa itu jalan yang lurus, di
permulaan surat al-Baqarah الٓمٓ . Atas
dasar itu dapat disimpulkan bahwa teks dalam surat al-Fatiḥah dan teks dalam
surat al-Baqarah berkesesuaian . Mengetahui hubungan antara bagian
al-Qur’an, baik antara kalimat-kalimat atau ayat-ayat maupun
surat-suratnya yang satu dengan yang lain, sehingga lebih memperdalam
pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab al-Qur’an dan memperkuat keyakinan
terhadap kewahyuan dan kemukjizatannya.
BAB 8
MAKIYYAH DAN MADANIYYAH
Ciri Ciri Surat Makkiyah
Surat Makkiyah merupakan surat yang ayat-ayatnya diturunkan kepada
Rasulullah SAW sebelum hijrah ke Madinah atau di kota Mekkah. Surat yang
termasuk dalam kategori Makkiyah diturunkan selama 12 tahun 5 bulan 13 hari,
dimulai pada 17 Ramadhan saat Nabi Muhammad berusia 40 tahun. Biasanya surat Makkiyah
ayatnya termasuk pendek sehingga umumnya surat pendek Al-Qur'an juz 30 tergolong surat Makkiyah.
Ayat-ayat
pada surah Makkiyah tergolong pendek
§
Gaya bahasa dan kalimat
dalam ayat surat Makkiyah cenderung kuat dan keras.
§
Susunan ayat pada surat
Makkiyah jelas
§
Umumnya akhir ayat
surat Makkiyah menggunakan sajak
§
Surat Makkiyah
mengandung kata 'Ya ayyuhan nas'
§
Banyak mengajarkan
ajaran tauhid dan akidah serta perintah dan beribadah pada Allah SWT
§ Banyak membahas
mengenai hari kiamat, hari kebangkitan dan hari pembalasan beserta gambar surga
dan neraka.
§
Banyak bercerita
tentang Nabi dan umat-umat terdahulu
§ Mengandung dasar umum
bagi perundang-undangan dan akhlak mulia dalam suatu masyarakat.
Surat Madaniyah
Surat madaniyah merupakan surat yang ayat-ayatnya diturunkan
kepada Rasulullah SAW sesudah hijrah ke Madinah atau diturunkan di kota
Madinah. Sebuah surat bisa saja sebagian ayatnya termasuk dalam kategori
Madaniyah dan sebagian lain masuk dalam kategori Makkiyah. Umumnya ayat pada
surat Madaniyah termasuk agak panjang.
Ciri
Ciri Surat Madaniyah
§ Ayat-ayat pada surah Madaniyah tergolong panjang
§ Gaya bahasa dan kalimat dalam ayat surat Makkiyah cenderung agak
lembut.
§ Surat Madaniyah mengandung kata 'Ya ayuhhal ladzina amanu'
§ Tiap surat Madaniyah berisi tentang kewajiban.
§ Banyak mengandung tentang penjelasan ibadah, muamalah, warisan,
jihad dan hukum perundang-undangan.
§ Banyak mengandung seruan pada ahli kitab dari Yahudi dan Nasrani
untuk masuk Islam dan penjelasan mengenai penyimpangan terhadap kitab-kitab
Allah.
Perbedaan
waktu diturunkannya ayat
Surah Makkiyah diturunkan sebelum Nabi Muhammad hijrah ke Madinah,
sedangkan surah Madaniyah diturunkan setelah Nabi Muhammad hijrah ke Madinah.
Perbedaan
tempat diturunkannya ayat
Surat Makkiyah umumnya diturunkan di kota Mekkah yang meliputi Mina,
Arafah dan Hudaybiyah, sedangkan surat Madaniyah umumnya diturunkan di kota
Madinah meliputi Badar dan Uhud.
Perbedaan
jumlah ayat
Surat Makkiyah umumnya memiliki jumlah ayat yang cenderung pendek,
sedangkan surat Madaniyah umumnya memiliki jumlah ayat yang cenderung agak
panjang.
Perbedaan tema
surat
Surat Makkiyah umumnya berisi tentang tauhid dan akidah, sedangkan surat
Madaniyah umumnya berisi tentang penjelasan ibadah dan muamalah.
Perbedaan gaya
Bahasa
Ayat-ayat pada surat Makkiyah umumnya menggunakan kalimat yang kuat dan
keras, sedangkan ayat-ayat pada surat Madaniyah umumnya menggunakan kalimat
yang agak lembut dan mudah dicerna.
Perbedaan
seruan yang disampaikan
Surat Makkiyah umumnya ditujukan pada penduduk kota Mekkah, sedangkan
surat Madaniyah umumnya diturunkan pada penduduk kota Madinah.
Itulah info Islami mengenai pengertian, ciri-ciri serta perbedaan
Makkiyah dan Madaniyah
BAB 9
MUHKAM DAN MUTASYABIH
MUHKAM DAN MUTASYÂBIH
Dipandang dari satu sisi, al-Qur’ân itu semuanya muhkam;
Dari sisi yang lain, semuanya mutasyâbih; Dan dari sisi yang
lain, sebagian dari al-Qur’ân itu muhkam, sementara sebagiannya lagi
mutasyâbih. Pembahasan tentang muhkam dan mutasyâbih ini sangat
penting. Karena betapa banyak orang yang tersesat akibat salah memahami
kalâmullâh, tidak bisa membedakan antara yang muhkam dan mutasyâbih atau
salah dalam menyikapi keduanya. Muhkam dan mutasyâbih termasuk diantara
sifat yang Allâh Azza wa Jalla tetapkan untuk al-Qur’ân. Keduanya memiliki
makna yang berbeda-beda. Berikut
penjelasannya. a. Sebaliknya, semua larangan yang disebutkan
dalam al-Qur’ân tidak ada yang terlepas dari keburukan, bahaya dan prilaku
yang hina. Inilah yang dinamakan ihkâm
‘âm. b. Al-Qur’ân, semuanya mutasyâbih Allâh Azza wa Jalla
berfirman : اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا
مُتَشَابِهًا مَثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ
رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ Allâh telah menurunkan perkataan yang paling baik al-Qur’ân yang serupa
lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada
Rabbnya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat
Allâh. Mutasyâbih, sifat yang disematkan pada al-Qur’ân pada ayat di
atas dinamakan tasyâbuh ‘am. Maksudnya, semua ayat yang terkandung
dalam al-Qur’ân serupa atau sama dalam masalah
keindahan, kebenaran, kandungannya terhadap nilai-nilai luhur yang mampu
membersihkan akal manusia, menyucikan hati dan memperbaiki kondisi.
Jadi untaian kalimatnya adalah untaian kalimat
terbaik serta kandungannya adalah kandungan terbaik. Inilah maksud
tasyâbuh ‘am.
Baca Juga Arti Perumpamaan Dalam Al-Qur'an
c. Al-Qur’ân, sebagiannya muhkam dan sebagiannya lagi mutasyâbih
Allâh Azza wa Jalla berfirman : هُوَ
الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ
الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ Dia-lah yang menurunkan
al-Qur’ân kepada kamu. di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamât. Dan
mereka juga mengatakan, «Semua ayat-ayat itu datang dari Rabb kami.»
Makusdnya semua yang datang dari Rabb tidak yang bertentangan. Makna yang
belum jelas pada satu tempat, telah dijelaskan pada tempat lain sehingga
terpahami dan problem dalam memahaminya telah sirna. Diantara contohnya
yaitu pemberitahuan Allâh Azza wa Jalla bahwa Dia Maha Kuasa atas segala
sesuatu, segala yang Allâh Azza wa Jalla kehendaki pasti terjadi dan yang
tidak dikehendaki pasti tidak terjadi. Allâh Azza wa Jalla , Dia
memberikan petunjuk kepada orang yang dikehendaki dan menyesatkan orang yang
dikehendaki-Nya.
Jika makna-makna ini tidak terpahami dengan baik oleh orang yang mengira bahwa ini bertentangan dengan nilai keadilan atau mengira bahwa penganugerahan hidayah dan penyesatan itu begitu saja tanpa sebab, maka ketidakjelassan ini telah dijelaskan dalam ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa semua itu ada sebabnya. Dan sebab itu dilakukan oleh manusia. Seperti firman Allâh Azza wa Jalla : Baca Juga Lima Metodologi Yang Menunjang Tadabbur Al-Qur'an يَهْدِي بِهِ اللَّهُ مَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَهُ سُبُلَ السَّلَامِ Dengan Kitab itulah, Allâh menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, Juga firman-Nya : فَرِيقًا هَدَىٰ وَفَرِيقًا حَقَّ عَلَيْهِمُ الضَّلَالَةُ ۗ إِنَّهُمُ اتَّخَذُوا الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ اللَّهِ Sebagian diberi petunjuk dan sebahagian lagi telah pasti kesesatan bagi mereka.