Senin, 20 Desember 2021

Resensi Buku ‘Ulum Al-Quran (Memahami Otentifikasi Al-Qur'an)

 Resensi Buku ‘Ulum Al-Quran (Memahami Otentifikasi Al-Quran)

Oleh Kelompok 10 kelas PAI IB:

Annisa Septiani            (210414035)

Ray Bagja Muharam     (210414082)

Rizqi Arif Muttaqin      (210414086)

 

Identitas Buku

Karya : Dr. H. Sahid HM, M.Ag

Judul : ‘ULUM AL-QURAN (Memahami Otentifikasi al-quran)

 


Isi Buku

BAB I

KERANGKA  KONSEPTUAL

ULUM AL-QURAN

Ilmu yang mencakup pembahasan-pembahasan yang berhubungan dengan al-Qur`an dari segi pengetahuan tentang sebab-sebab turun, pengumpulan al-Qur`an dan urutan urutannya, pengetahuan tentang makki dan madani, nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasyabih, dan hal-hal lain yang ada hubungannya dengan al-Qur`an.

Kedua, meskipun keduanya tidak membatasi pembahasan pada aspekaspek yang ditampilkan, namun definisi pertama lebih luas cakupannya dari yang kedua, karena definisi pertama diawali dengan kata yang merupakan bentuk jamak dan menyebutkan secara eksplisit penolakan hal-hal yang bisa menimbulkan keragu-raguan terhadap al-Qur`an sebagai bagian dari pembahasan.
Ilmu yang berdasarkan rasio adalah ilmu al-Qur`an yang membahas segala sesuatu yang berhubungan dengan berbagai aspek yang dapat dilihat atau diambil dari al-Qur`an.

Mayoritas ulama berpendapat bahwa ruang lungkup ‘ulum al-Qur’an yang mencakup berbagai segi dari al-Qur’an berkisar di antara ilmu bahasa Arab dan pokok agama , karena yang dibahas dalam ‘ulum al-Qur’an adalah ilmu yang membicarakan al-Qur’an sebagai i‘jaz dan hidayah.
Dalam pembahasan al-Qur’n sebagai mukjizat, tercakup berbagai cabang ilmu bahasa seperti ‘ilm al-i‘rab, ‘ilm al-qira’ah, ‘ilm al-nahw, ‘ilm al-sharf, ‘ilm al-badi‘, ‘ilm al-ma‘ani, ‘ilm al-bayan, ‘ilm adab al-nushush, ‘ilm majaz al-Qur’an, ‘ilm gharib al-Qur’an, dan ‘ilm al-muhkam wa al-mutasyabih.
Dalam pembahasan al-Qur’an sebagai hidayah , di dalamnya tercakup‘ilm al-kalam , ‘ilm nuzul al-Qur’a, ’ilm asbab al-nuzul, ‘ilm tarikh al-Qur’an, ‘ilm al-makkiwa al-madani, ‘ilm al-nasikh wa al-mansukh, ‘ilm aqsam al-Qur’an, ‘ilm amtsal al-Qur’an, dan ‘ilm tafsir al-Qur’an.14 Al-Bulqini dalam kitabnya Mawaqi‘ al-‘Ulum min Mawaqi‘ al-Nujum membahas setidaknya lima puluh macam ilmu alQur’an.Metode yang dipakai dalam ‘ulum al-Qur’an adalah metode deskriptif, yaitu dengan cara memberikan penjelasan dan keterangan yang mendalam mengenai bagian-bagian al-Qur’an yang mengandung
aspek-aspek yang dibahas dalam ‘ulum al-Qur’an.
‘Ulum al-Qur’an merupakan alat untuk melawan non-muslim yang selalu mengingkari kebenaran al-Qur’an dan memberi bantahan atas tuduhan orang-orang orientalis yang menyatakan bahwa sumber al-Qur’an berasal dari Nabi Muhammad
.Selain itu, tujuan mempelajari ‘ulum al-Qur’an adalah agar dapat memahami maksud firman Allah sesuai dengan keterangan dan penjelasan dari Nabi Muhammad SAW dan dari tafsiran para sahabat serta tabiin terhadap ayat-ayat al-Qur’an.Dengan demikian, ‘ulum al-Qur’an sangat bermanfaat dalam pembacaan ayat-ayat al-Qur’an secara benar, penulisan ayat-ayat al-Qur’an secara beragam, pemahaman isi yang tertuang di dalam ayat-ayat al-Qur’an secara tepat, penghayatan dan pengamalan terhadap berbagai petunjuk alQur’an secara utuh.


BAB II

SEJARAH PERTUMBUHAN

ULUM AL-QURAN

Mereka sangat mengetahui makna dan ilmu al-Qur’an, sehingga mereka tidak membutuhkan pembukuan al-Qur’an dalam satu kitab. Hasan al-Bashri mengarang kitab yang berkaitan dengan qira’ah. Atha’ bin Abi Rabah menyusun kitab Gharib alQur’an. Qatadah bin Dima‘ah al-Sadusi menulis kitab yang berkaitan dengan al-nasikh wa al-mansukh.

‘Ali bin Madani menyusun kitab‘Ilm Asbab Nuzul, guru Imam al-Bukhari. AbuUbaid Qasim bin Salam menyusun kitab ‘Ilm al-Nasikh wa al-Mansukh dan ‘Ilm al-Qira’ah. Muhammad bin Ayyub al-Dlirris menyusun kitab‘Ilm al-Makkiwa al-Madani. Ibn Qutaibah menyusun kitab Ta’wil Musykilat al-Qur’an dan Tafsir Gharib al-Qur’an.
Al-Farra’ Yahya bin Yazid menyusun kitab Ma‘ani al-Qur’an. Dalam hal ini, ulama yang paling terkenal dalam penyusunan kitab tafsir adalah Ibn Jarir al-Thabari . Ia menyusun kitab tafsir yang sangat fundamental, paling besar, dan paling tinggi nilainya pada saat itu. Karya al-Thabari, dilihat dari metodenya, adalah kitab tafsir yang menggunakan pendekatan al-tafsir bi al-ma’tsur, yaitu tafsir yang bercorak tradisional dengan menafsirkan al-Qur’an dengan hadis, ijtihad para sahabat, dan ijtihad para tabi‘in.Hanya saja, pengertian ‘ulum al-Qur’an dalam diskursus terminologis, baru dikenal pada akhir abad ke-3 H atau awal abad ke-4, yaitu pada saat Muhammad bin Khalaf bin Marzuban menyusun kitab al-Hawifi ‘Ulum al-Qur’an.

Menurut sebagian yang lain, istilah ‘ulum al-Qur’an baru muncul pada abad ke-5 H, yaitu ketika ‘Ali bin Ibrahim al-Hufimenulis kitab al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an. Ibn Naqiyah menulis kitab al-Juman fi Tasybihat al-Qur’an. Kitab ini mencapai 30 jilid dan pada waktu belakangan diperkecil menjadi 15 jilid. Al-Karmani menyusun kitab alBurhan fi Mutasyabih al-Qur’an.Al-Ashfahani menyusun kitab al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an. Abu al-Qasim bin ‘Abd al-Rahman al-Suhaili menyusun kitab Mubhamat al-Qur’an. Kitab ini menjelaskan kan maksud kata-kata dalam al-Qur’an yang masih abstrak maksudnya, seperti kata rajul dan malik.

 Ibn al-Badzisyi menyusun kitab al-Iqna’ fi Qira’at al-Sab‘.
Ibn al-Jauzi menyusun kitab Funun al-Afnan fi ‘Aja’ib al-Qur’an dan al-Mujtaba fi ‘Ulum Tata‘allaq bi al-Qur’an. Al-Sakhwi menyusun kitab al-Mursyid al-Wajiz fi Ma Yata‘allaq bi al-Qur’an al-‘Aziz. Rasyid al-Din Muhammad bin ‘Ali bin Syahrasyub menyusun kitab Asbab al-Nuzu dan Mutasyabih al-Qur’an. Amin al-Din al-Thabrasi menyusun kitab Majma‘ al-Bayan fi
Tafsir al-Qur’an.‘Alam al-Din al-Sakhawi menyusun ‘ilm alqira’ah dalam kitab Jamal al-Qurra’ wa Kamal al-Iqra’. Ibn Abi al-Isyba‘ menyusun kitab ‘Ilm Bada’i‘ al-Qur’an, suatu ilmu yang membahas macam-macam badi‘ dalam al-Qur’an. AbuSyamah menyusun kitab al-Mursyid al-Wajiz fi Ma Yata‘allaq bi al-Qur’an. Ahmad bin Muhammad al-Maqqari menyusun kitab I‘rab al-Qur’an. Al-Syaikh Mar’ al-Karami menyusun kitab Qala’id al-Marjan fi al-Nasikh wa al-Mansukh min al-Qur’an.

Al-Banna’ menyusun kitab Ittihaf Fudlala’ alBasyar fi Qira’at al-Arba‘ah ‘Asyara. ‘Abd al-Ghina al-Nabilsi menyusun kitab Kifayat al-Mustafid fi ‘Ilm al-Tajwid. Al-Jamzuri menyusun kitab Tuhfat al-Athfal wa al-Ghilman fiTajwid al-Qur’an. Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab menyusun kitab Fadla’il al-Qur’an.Al-Dimyathi , menyusun kitab Risalat fi Mabadi’ al-Tafsir. Al-Hurni menulis kitab al-Jauhar al-Farid fi Rasm al-Qur’an al-Majid. Ibn Hamid al-’Amiri menulis kitab al-Nasikh wa al-Mansukh. Thahir al-Jaza’iri menyusun kitab al-Tibyan fi ‘Ulum alQur’an.

Jamal al-Din al-Qasimi mengarang kitab Mah asin al-Ta’wil. Muhammad ‘Abd al-‘Adhim al-Zarqani menyusun kitab Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an. Muhammad ‘Ali Salamah mengarang kitab Manhaj alFurqan fi ‘Ulum al-Qur’an. Thanthawi Jauhari mengarang kitab al-Jawahir fi Tafsir alQur’an dan al-Qur’an wa ‘Ulum al-‘Ashriyah. Mushthafa Shadiq al-Rafi‘i menyusun kitab I‘jaz al-Qur’an. Muhammad Mushthafa al-Maraghi menyusun kitab Tarjumat al-Qur’an, yaitu risalah kebolehan menerjemahkan alQur’an. Mushthafa Shabri menyusun kitab Mas’alat al-Tarjumat al-Qur’an.


BAB III

AL-QURAN SEBAGAI BUKTI KEBENARAN

Al-Syafi‘i berpandangan bahwa kata al-Qur’an bukan isim musytaq dan bukan pula mahmuz melainkan isim murtajal, yaitu isim yang sejak semula telah terbentuk. Al-Qur’an adalah nama khusus yang digunakan untuk Kitab Suci yang diberikan kepada Nabi Muhammad, sebagaimana nama Taurat dan Injil yang diberikan kepada Musa dan Isa. Menurut al-Farra’ , kata al-Qur’an adalah isim musytaq, mengikuti wazan fu‘lan yang diambil dari kata al-qara’in , jamak dari kata qarinah yang ber arti bukti. Pemberian arti ini mengillustrasikan bahwa sebagian ayat al-Qur’an membuktikan kebenaran sebagian yang lain.
Menurutnya, kata al-Qur’an adalah isim musytaq, mengikuti wazan fu‘lan yang diambil dari kata al-qarn yang berarti mengumpulkan atau menggabungkan. Hal ini disebabkan suratsurat dan ayat-ayat al-Qur’an dihimpun dan digabungkan dalam satu mushaf. Aksentuasi dalam pandangan ini bahwa ayat-ayat al-Qur’an secara internal terdapat unsur-unsur persamaan dan saling membenarkan antara yang satu dengan yang lain. Menurut al-Zajjaj , kata al-Qur’an adalah isim sifat, mengikuti wazan fu‘lan yang diambil dari kata alqar’ , yakni al-jam‘ yang berarti mengumpulkan atau menghimpun.Makna ini menggambarkan bahwa semua ayat, surat, hukum, dan kisah dalam al-Qur’an berkumpul menjadi satu. Kami tidak mengalpakan sesuatu pun di dalam al-Kitab Dalam pandangan yang lain, al-Qur’an berasal dari kata al-qary yang berarti kampung atau kumpulan rumah. Pendapat yang mengatakan bahwa kata al-Qur’an terambil dari kata al-qar’ dan al-qary yang berarti himpunan atau kampung mengaksentuasikan bahwa al-Qur’an merupakan kumpulan dari ayat dan surat, yang kemudian menjadi satu kesatuan yang bersifat utuh dan menyeluruh. Pengertian ini diorientasikan pada objek, yaitu sesuatu yang dibaca.
Makna al-Qur’an dalam pengertian ini adalah kumpul atau menjadi satu.

 Pengertian tersebut mendeskripsikan bahwa huruf dan kalimat adalah ungkapan al-Qur’an yang berkumpul menjadi satu dalam mushaf. Para sarjana Barat yang belakangan pada umumnya menerima pandangan Friedrich Schwally bahwa kata qur’an merupakan derivasi dari bahasa Syria atau Ibrani, yaitu qeryani, qiryani , yang digunakan dalam liturgi Kristen. 2 Kemungkinan terjadinya pinjaman dari bahasa Semit lainnya dalam kasus ini bisa dibenarkan, sebab orang-orang Arab sering melakukan kontak atau hubungan dengan orang di luar Arab.

Melalui kontak tersebut, barbagai kata non-Arab masuk ke dalam bahasa Arab. Jika dikaji secara seksama, tampaknya pendapat al-Lihyani yang mendekati kebenaran. Kata al-Qur’an terambil dari kata qara’a-yaqra’u-qira’atan-wa qur’anan yang secara harfiah berarti bacaan. Kata al-Qur’an sebanding dengan kata fu‘lan , kata rujhan , dan kata ghufran , yang masing-masing diambil dari akar kata fa‘ala , rajah}a , dan ghafara .

Al-Qur’an itu tidak lain hanyalah peringatan dan bacaan yang terang. Penempatan al-Qur’an dalam bentuk mashdar dengan makna maf‘ul, yakni maqru’ merupakan penamaan yang tepat. Artinya, kata al-Qur’an dipindahkan dari makna mashdar dan dijadikan sebagai nama dari kalam Allah yang mu‘jiz, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad. Penamaan al-Qur’an dengan penyebutan al-Furqan yang secara harfiyah pembeda membuktikan bahwa al-Qur’an membedakan antara yang halal dan yang haram, antara yang benar dan yang batil, antara yang bersih dan yang kotor, antara yang baik dan yang buruk, antara yang benar dan yang salah, antara perintah dan larangan, antara yang manfaat dan mafsadat, demikian juga yang lainnya. Ketentuan ini terungkap dalam berbagai ayat yang mengaksentuasikan pada makna pembeda tersebut.

 Keotentikan al-Qur’an Di dalam al-Qur’an disebutkan bahwa al-Qur’an sepenuhnya berasal dari Allah dan tidak sedikitpun ada campur tangan Nabi Muhammad SAW. Allah bahkan mengancam Nabi Muhammad apabila beliau mengada-ada di dalam al-Qur’an. Maka sekali-kali tidak ada seorang pun dari kalian yang dapat menghalangi dari pemotongan urat nadi itu.Naskah ‘Utsman dan yang buruk, antara yang benar dan yang salah, antara perintah dan larangan, antara yang manfaat dan mafsadat, demikian juga yang lainnya. Naskah ‘Utsman itu menjadi standar yang terus berlaku sampai sekarang. Menurut keyakinan umat Islam, di antara kitab-kitab suci yang masih terpelihara keasliannya sampai sekarang adalah al-Quran. Salah satu di antaranya adalah bahwa ia merupakan kitab yang keotentikannya dijamin oleh Allah.Ia adalah kitab yang selalu dipelihara. Huruf yang merupakan awal dari surat ke-50, ditemukan terulang sebanyak 57 kali atau 3 X 19. Huruf kaf, ha’, ya’, ‘ain, shad, dalam surat Maryam, ditemukan sebanyak 798 kali atau 42 X 19. Huruf yang memulai surat al-Qalam, ditemukan sebanyak 133 atau 7 X 19. Huruf-huruf dan yang terdapat pada keseluruhan surat yang dimulai dengan kedua huruf ini, ha’ mim, kesemuanya merupakan perkalian dari 114 X 19, yakni masing-masing berjumlah 2.166. Bilangan-bilangan ini, yang dapat ditemukan langsung dari celah ayat al-Qur’an, oleh Rasyad Khalifah, dijadikan sebagai bukti keotentikan al-Qur’an. 

Karena, seandainya ada ayat berkurang atau berlebih atau ditukar kata dan kalimatnya dengan kata atau kalimat yang lain, maka tentu perkalian-perkalian tersebut akan menjadi kacau. Angka 19 di atas, yang merupakan perkalian dari jumlahjumlah yang disebut itu, diambil dari pernyataan al-Qur’an sendiri, yakni yang termuat dalam surat al-Muddatstsir ayat 30 yang turun dalam konteks ancaman terhadap seorang yang merupakan kebenaran al-Qur’n. Sebagai teks agama, al-Qur’an merupakan dasar dalam perkembangan linguistik Arab dan menjadi dasar tata bahasa, kosakata, dan sintaksis bahasa Arab. buku prosa pertama dalam bahasa Arab, al-Qur’an menjaga keseragaman bahasa. Sehingga meskipun sekarang seorang Maroko menggunakan dialek yang berbeda dengan yang digunakan orang-orang Arab atau Irak, semua menulis dalam corak yang sama. Dalam konteks historis, sejarah al-Qur’an adalah sangat jelas dan terbuka, sejak turunnya sampai sekarang. Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur dalam waktu lebih kurang 23 tahun. Sejarah menginformasikan bahwa setiap ada ayat yang turun, Nabi lalu memanggil para sahabat yang dikenal pandai menulis untuk menuliskan ayat-ayat yang turun, sambil menyampaikan tempat dan urutan setiap ayat dalam suratnya. Katakanlah datangkanlah sepuluh surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang yang kalian sanggup memanggilnya selain Allah, jika kalian orang-orang yang benar. Meskipun sepuluh surat, ternyata tidak satu pun seseorang yang dapat melakukannya.

Hal ini didukung oleh fakta sejarah, yaitu peristiwa yang terjadi pada ‘Abd Allah Ibn al-Muqaffa , sastrawan besar dan penulis terkenal. Dalam suatu peristiwa, sekelompok orang Zindiq tidak senang melihat pengaruh al-Qur’an terhadap masyarakat. Ia berjanji akan menyelesaikan tugas dalam waktu satu tahun. Setelah berjalan setengah tahun, mereka mendatanginya dengan tujuan untuk mengetahui hasil yang dicapai. Pada waktu memasuki kamar, mereka menemukan Ibn al-Muqaffa sedang duduk memegang pena, tenggelam dalam alam pikirannya. Kertas tulis bertebaran di lantai dan kamarnya penuh dengan sobekan kertas yang ditulis. Realitas tersebut membuktikan bahwa Ibn al-Muqaffa yang telah mencurahkan kemampuannya tidak sanggup menjawab tantangan al-Qur’an. Dalam waktu setengah tahun, ternyata ia tidak mampu mendatangkan satu ayat pun, apalagi sepuluh surat yang dihasilkan.Hal ini semakin memperlihatkan kemukjizatan al-Qur’an, karena dalam volume kecil pun mereka tidak mampu melakukannya. Katakanlah , maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kalian panggil selain Allah, jaka kalian orang-orang yang benar. Tantangan al-Qur’an terakhir terhadap orang-orang kafir untuk menyusun beberapa ayat yang bisa menyerupai ayat-ayat al-Qur’an, baik dari segi isi, ilustrasi, keindahan bahasa maupun kemampuannya mengungkap berbagai peristiwa. Dan ajaklah para penolongmu selain Allah jika kalian orang-orang yang benar. Bersihkanlah apa yang engkau akan bersihkan, bagian atasmu adalah air dan bagian bawahmu di tanah. Gubahan ayat yang dilakukan oleh Musailimah alKadzdzab itu tidak mencerminkan karya sastra dan kandungan isi yang bagus, bahkan gubahan itu sangat kotor dan tidak layak dikatakan sebagai ayat yang dianggap sebagai wahyu yang turun dari Tuhan. Kenyataan tersebut adalah bukti otentik bahwa al-Qur’an adalah wahyu yang tidak dapat ditandingi. Menurut al-Khuli, al-Qur’an adalah kitab sastra terbesar yang dapat mengalahkan mu‘allaqat yang beredar di tengah-tengah masyarakat.17 Daya magis syair dan kaha>ah secara esensial melekat di dalam al-Qur’an. Hal ini justru menunjukkan bahwa al-Qur’an adalah wahyu Allah yang selalu berdialektika dengan masyarakat sekaligus mengandung nilai sastra yang sangat tinggi. Karena al-Qur’an mengandung nilai sastra, terdapat sebagian pakar al-Qur’an yang memahami al-Qur’an dengan pendekatan sastra atau semantik. Menurutnya, metode ini dianggap sebagai metode yang paling sesuai dengan objek kajian teks Kitab Suci yang penuh dengan nilai sastra, dan diakui baik pada zaman pewahyuan maupun sekarang. Pakar yang lain berupaya mengkaji al-Qur’an secara tematis dengan mengumpulkan seluruh surat dan ayat yang berkaitan dengan objek kajian sebelum dilakukan proses analisis.

 

BAB IV

WAHYU DALAM KONTEKS TURUNNYA AL-QUR’AN

Definisi Wahyu

Secara etimologis wahyu terambil dari kata waha -yahi- wahya ( )وحى- يحى- وحيا yang berarti suara, api, kecepatan, bisikan, rahasia, isyarat, tulisan, dan kitab. Secara terminologis ulama berbeda pendapat dalam memberikan definisi. Menurut Manna al-Qaththan, wahyu ialah petunjuk Allah yang diberikan kepada seseorang yang dimuliakan secara cepat dan tersembunyi.1 Artinya, petunjuk yang diberikan secara cepat yang datang secara langsung ke dalam jiwa tanpa didahului pikiran dan tidak diketahui oleh seseorang. Shubhi al-Shalih menyatakan bahwa wahyu ialah pemberitahuan yang bersifat ghaib, rahasia dan sangat cepat. Nabi Muhammad sebagai manusia biasa menerima bisikan dari Allah yang disebut dengan wahyu. Bisikan itu berisi misi atau risa>lah ila>h}i>yah yang disampaikan kepadanya melalui Jibril. Dalam hal ini, Malaikat Jibril terkadang menampakkan wajah atau bentuknya yang asli. Hanya sedikit gambaran yang diilustrasikan al-Qur’an tentang bentuk asli malaikat.

Ayat al-Qur’an yang pertama turun adalah surat al-‘Alaq ayat 1-5. Wahyu kemudian berhenti selama tiga tahun. Pertama, periode Makkiyah, yaitu masa ayat-ayat yang turun ketika Rasulullah bermukim di Mekah selama 12 tahun 5 bulan 13 hari, yakni 17 Ramadan tahun 41 dari kelahiran Rasulullah sampai permulaan Rabi‘ al-Awwal tahun 54 dari kelahiran Rasulullah. Kedua, periode Madaniyah, yaitu masa ayat-ayat yang turun setelah Rasulullah hijrah ke Madinah, yaitu selama 9 tahun 9 bulan 9 hari, yakni dari permulaan Rabi‘ al-Awwal tahun 54 dari kelahiran Rasulullah sampai 9 Dzulhijjah tahun 63 dari kelahiran Rasulullah atau tahun 10 H.Rasulullah menerima wahyu al-Qur’an tidak sekaligus tapi berangsur-angsur.Turunnya wahyu al-Qur’an secara berangsurangsur dapat memperbaiki sikap dan perilaku umat dan memunculkan kesadaran. Turunnya al-Qur’an secara berangsur-angsur merupakan jawaban terhadap orang-orang kafir yang mengiginkan al-Qur’an diturunkan sekaligus. Ayat al-Qur’a>n turun kepada Rasulullah melalui proses dan tidak datang dengan sekali tetapi berangsur-angsur mengikuti satu peristiwa ke peristiwa yang lain. Ayat dhihar turun tentang Salamah bint Shakhr, ayat li‘an turun tentang Hilal bin ‘Umayyah, qadzaf turun tentang orang yang menuduh ‘Am Ibrahim sebagai mushalla.Tentang kapan prosesnya al-Qur’an diturunkan ke lauh al-mahfudh dan bagaimana caranya, hanya Allah yang mengetahui. Penetapan tanggal 17 Ramadan sebagai malam ayat al-Qur’an turun didasarkan pada berbagai isyarat yang dilansir al-Qur’an yang menggambarkan bahwa hari turun al-Qur’an sama dengan peristiwa peperangan Badar yang diabadikan al-Qur’an dengan sebutan yaum al-furqan dan yaum al-taqa al-jam‘an . Tentang wahyu yang dibawa oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad, al-Zarkasyi menukil tiga pendapat al-Samarqandi. Kedua, Jibril hanya menurunkan maknanya, sementara verbalisasi wahyu dilakukan oleh Nabi Muhammad.


BAB V

HISTORITAS PENULISAN MUSHAF AL-QUR’AN

 Penilisan Mushaf Pra ‘Utsman

Beberapa sahabat yang dikenal sebagai penulis wahyu, antara lain Abu Bakr al-Shiddiq, ‘Umar bin Khaththab, ‘Utsman bin ‘Affan, ‘Ali bin Abi Thalib, Mu‘awiyah bin Abi Sufyan, Abban bin Sa‘id, Khalid bin Walid, Ubay bin Ka‘b, Zaid bin Tsa>bit, Tsabit bin Qais, ‘A Musa al-Asy‘ari, Abu Darda’,2 Arqam bin Ubay, H{andhalah bin Rabi‘, Zubair bin ‘Awwam, ‘Abd Allah bin Arqam, dan ‘Abd Allah bin Rawahah. 

Alat tulis yang digunakan para sahabat pada saat itu bermacam-macam, di antaranya ‘usub , likhaf , riqa‘ , karanif , aqtab , akta>f . Ketika ‘Umar ditikam oleh seorang pemberontak, lembaran-lambaran al-Qur’an diserahkan kepada Hafshah, putrinya yang sekaligus istri Rasulullah.‘Ali memperhatikan orang-orang asing yang suka menodai kemurnian bahasa Arab dan dia khawatir bahasa Arab menjadi berantakan. Di samping itu, pada masa pemerintahan ‘Ali, bangsa-bangsa non-Arab banyak yang masuk Islam dan mereka salah membaca al-Qur’an. Akhirnya pembuatan tanda-tanda tertentu yang dapat membantu bacaan dengan baik dan benar dilakukan. Pada saat itu, dua tokoh yang populer adalah ‘Ubaid Allah bin Ziyad dan al-Hiajjaj bin Yusuf al-Tsaqafi . Dalam satu riwayat, ‘Ubaid Allah bin Ziyad memberi perintah kepada seorang berasal dari Persia untuk menambahkan huruf alif pada dua ribu kata yang semestinya dibaca dengan suara panjang. Menurut versi yang lain, perbedaan bacaan karena tidak adanya tanda titik mengindikasikan adanya perbedaan bacaan yang menimbulkan perbedaan makna. Dari Realitas ini, Khalifah ‘Abd al-Malik bin Marwa>n memerintahkan ulama besar al-Hiajjaj bin Yusuf al-Tsaqafi untuk memberikan tanda-tanda baca kepada al-Qur’a>n yang kemudian distandarkan penggunaannya, dengan dibantu Nashr bin ‘A bin Ya‘mur dua murid ulama besar Abu> al-Aswad al-Duwali>.

Kedua orang ini yang memberi titik pada sejumlah huruf tertentu yang mampunyai kemiripan antara satu dengan yang lainnya, misalnya penambahan titik di atas huruf د sehingga menjadi huruf ذ . Penambahan titik yang bervariasi pada sejumlah dasar ب menjadi huruf ب ,ت , dan ث . Huruf ر dibedakan ط ,ض dengan dibedakan ص ,ش dengan dibedakan س ,ز dengan dibedakan dengan ظ ,ع dibedakan dengan غ ,dan ف dibedakan dengan . Menurut riwayat yang lain, yang mula-mula memberi titik dan baris ialah al-Hasan al-Bashri dengan perintah ‘Abd al-Malik bin Marwan

 

Bab 6

Definisi Asbab al-Nuzul

Cara Mengetahui Asbab al-Nuzul

Adanya sebab turunnya ayat adalah peristiwa sejarah yang terjadi pada masa Rasulullah. Oleh karena itu, tidak ada cara lain untuk mengetahuinya kecuali dengan cara riwayat yang shahih} dari orang-orang yang telah menyaksikan atau orang-orang yang hadir pada saat kejadian. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban«Selain dalil al-Qur’an juga terdapat hadis riwayat al-Turmudzi yang menegaskan tidak diperkenankannya menafsirkan al-Qur’an tanpa dasar ilmu. » Yah}ya bin Sa‘id dari Sa‘id bin Musayyab meriwayatkan bahwa jika ia ditanya tentang penafsiran ayat-ayat al-Qur’an, ia menjawab bahwa dirinya tidak akan berkomentar tentang sesuatu apa pun dalam al-Qur’an.

Untuk menjaga kesalahan dalam menafsirkan ayat al-Qur’a>n, ulama membatasi cara mengetahui asbab al-nuzul dengan riwayat yang shahih. Syarat-syarat yang harus dipenuhi tentang asbab al-nuzul dari tabi‘in ada empat. Petama, redaksinya jelas dengan menggunakan kata-kata sebab, misalnya sebab turunnya ayat ini adalah begini atau memuat fa’ ta‘qibiyah, misalnya terjadi begini dan begitu atau Rasulullah ditanya tentang hal ini, kemudian Allah menurunkan ayat ini atau turunlah ayat ini. Ketiga, tabi‘in yang dimaksud adalah imam tafsir yang mengambil dari sahabat.
Keempat, mendapat dukungan dari riwayat tabi‘in yang lain.

Jika terdapat beberapa riwayat yang menjelaskan sebab nuzul ayat yang salah satu riwayat di antaranya shahih, maka yang menjadi pegangan adalah riwayat yang shahih. Kedua riwayat shahih dan salah satunya mempunya murajjih, sedang yang lain tidak. Jika terdapat riwayat yang samasama shahih, tetapi terdapat murajjih terhadap salah satunya, seperti kehadiran perawi dalam kisah peristiwa turunnya ayat atau salah satu dari riwayat lebih shahih, maka riwayat itu diutamakan. Apabila riwayat itu sama-sama kuat, perlu dipadukan bila memungkinkan, seperti ayat yang turun setelah terjadi dua peristiwa atau lebih, karena jarak antara peristiwa yang satu dengan yang lain berdekatan.Karena itu, riwayat tersebut dapat dipadukan bahwa peristiwa Hilal terjadi lebih awal dan secara kebetulan ‘Uwaimir mengalami kejadian yang sama. Jika riwayat itu sama-sama shahih dan tidak dapat dikompromikan antara satu dengan yang lain karena jarak waktu yang jauh, maka hal itu dipandang sebagai ayat yang berulang-ulang. Misalnya, satu peristiwa yang menyebabkan turunnya tiga ayat, yang inti kandungannya lebih dari satu dan berbeda pesan yang dikandung adalah hadis yang diriwayatkan oleh al-Turmudzi, Ibn Jarir, Ibn Mundzir Ibn Abi Hatim, al-Thabrani, dan al-Hakim.

Para ulama telah menulis beberapa kitab yang berkaitan dengan sebab-sebab turunnya ayat. Di antara kitab yang populer adalah Asbab al-Nuzul karya al-Wahidi , Asbab al-Nuzul karya Ibn Taimiyah , dan Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul karya al-Suyuthi . Menurut Ibn Daqiq al-‘Il adalah cara yang paling tepat untuk memahami makna al-Qur’an

Misalnya, ayat yang berkaitan dengan pelaksanaan sa‘i antara bukit Shafa dan Marwah. Sebagian orang ada yang berpendapat bahwa melaksanakan ibadah sa‘i tidak wajib dalam ibadah haji. Secara tekstual ayat di atas tidak menunjukkan wajibnya sa‘i bagi orang yang beribadah haji atau ‘umrah. Dalam riwayat lain diungkapkan bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan orang-orang Anshar yang sebelum Islam datang mereka biasa mendatangi manat yang diletakkan antara bukit Shafa dan Marwah untuk menyembahnya.Orang-orang yang dahulunya menyembah Manat, keberatan untuk melakukan sa‘i di antara kedua tempat tersebut. Oleh karena itu, tidak seorangpun yang diperbolehkan meninggalkan sa‘i di dalam melaksanakan ibadah haji. Pengetahuan yang demikian memberi manfaat, baik bagi umat muslim maupun non-muslim seperti penghapusan minuman keras, misalnya ayat-ayat al-Qur’an turun dalam empat kali tahapan. «Mengetahui asbab al-nuzul dapat menspesifikasi hukum terbatas pada sebab, terutama ulama yang menganut kaidah »sebab khusus« , bukan »redaksi umum.

Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak melampau batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Menurutnya, ayat ini diturunkan berkaitan dengan orang-orang kafir yang tidak mau memakan sesuatu kecuali yang telah mereka halalkan sendiri. Mengharamkan makanan yang dihalalkan Allah dan menghalalkan makanan yang telah diharamkan Allah merupakan kebiasaan orangorang kafir, terutama orang-orang Yahudi. Mengetahui asbab al-nuzul dapat mengidentifikasi pelaku yang menyebabkan ayat al-Qur’an turun.Saya sanggup menyebutkan orang yang menyebabkan ayat itu turun». Mengetahui asbab al-nuzul dapat membantu memahami ayat yang berlaku secara umum dan berlaku secara khusus. Maksud yang terkandung di dalamnya adalah pemahaman terhadap ayat melalui pengenalan asbab al-nuzul.

  

BAB 7

MUNASABAH DALAM AL-QUR’AN

Pengertian Munasabah. Secara etimologi, kata munasabah sering dipakai dalam tiga pengertian. Kata ini dipakai dengan makna musyakalah atau muqarabah . Kata munasabah juga diartikan dengan an-nasib . Menurut Az-Zarkasyi adalah merupakan usaha pemikiran manusia untuk menggali rahasia hubungan antar ayat atau surat yang dapat diterima akal. Bentuk-Bentuk dan Contoh Munasabah. Munasabah ini terjadi karena antara bagian-bagian al-Qur`an tidak ada kesesuaian, sehingga tidak tampak adanya hubungan di antara keduanya, bahkan tampak masingmasing ayat berdiri sendiri, baik karena ayat yang dihubungkan dengan ayat lain maupun karena yang satu bertentangan dengan yang lain. Hal tersebut baru tampak ada hubungan yang ditandai dengan huruf ‘atf, sebagai contoh, terdapat dalam QS.

Dalam satu surat terdapat korelasi antara awal surat dan akhirannya. Misalnya, dalam surat al-Qasas dimulai dengan kisah Nabi Musa As. dan Fir’aun serta pasukannya, sedangkan penutup surat tersebut menggambarkan pernyataan Allah Swt agar umat Islam jangan menjadi penolong bagi orang-orang kafir, sebab Allah Swt lebih mengetahui tentang hidayah. Hubungan antara ayat pertama dengan ayat terakhir dalam satu surat. Contoh dalam masalah ini misalnya dalam surat al-Mu’minun, ayat 1 yang berbunyi «qad aflaḥa al-mu’minun» lalu di bagian akhir surat tersebut berbunyi «innahu la yufliḥu alkafirun». Hubungan Mukadimah Satu Surat dengan Surat Berikutnya. Misalnya antara surat al-Fatiḥah dan surat al-Baqarah. Dimana dalam surat al Fatiḥah berisi tema global tentang aqidah, muamalah, kisah, janji, dan ancaman.

Sedangkan dalam surat al-Baqarah menjadikan penjelas yang lebih rinci dari isi surat al-Fatiḥah. Hubungan Penutup Satu Surat dengan Mukaddimah Surat Berikutnya. «Hubungan Kandungan Surat dengan Surat Berikutnya. » Pembahasan tentang munasabah antar surat dimulai dengan memposisikan surat al-Fatiḥah sebagai Ummul Kitab , sehingga penempatan surat tersebut sebagai surat pembuka adalah sesuai dengan posisinya yang merangkum keseluruhan isi al-Qur`an Surat al-Fatiḥah menjadi ummul kitab, sebab di dalamnya terkandung masalah tauhid, peringatan dan hukum-hukum, yang dari masalah pokok itu berkembang sistem ajaran Islam yang sempurna melalui penjelasan ayat-ayat dalam surat-surat setelah surat al-Fatiḥah.

Ayat 1-3 surat al-Fatiḥah mengandung isi tentang tauhid, pujian hanya untuk Allah Swt karena Dia-lah penguasa alam semesta dan Hari Akhir, yang penjelasan rincinya dapat dijumpai secara tersebar di berbagai surat al-Qur`an. Salah satunya adalah surat al Ikhlas yang dikatakan sepadan dengan sepertiga al-Qur`an Ayat 5 surat al-Fatiḥah إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ dijelaskan secara rinci tentang apa itu jalan yang lurus, di permulaan surat al-Baqarah الٓمٓ . Atas dasar itu dapat disimpulkan bahwa teks dalam surat al-Fatiḥah dan teks dalam surat al-Baqarah berkesesuaian . Mengetahui hubungan antara bagian al-Qur’an, baik antara kalimat-kalimat atau ayat-ayat maupun surat-suratnya yang satu dengan yang lain, sehingga lebih memperdalam pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab al-Qur’an dan memperkuat keyakinan terhadap kewahyuan dan kemukjizatannya.

 

BAB 8

 MAKIYYAH DAN MADANIYYAH

Ciri Ciri Surat Makkiyah

Surat Makkiyah merupakan surat yang ayat-ayatnya diturunkan kepada Rasulullah SAW sebelum hijrah ke Madinah atau di kota Mekkah. Surat yang termasuk dalam kategori Makkiyah diturunkan selama 12 tahun 5 bulan 13 hari, dimulai pada 17 Ramadhan saat Nabi Muhammad berusia 40 tahun. Biasanya surat Makkiyah ayatnya termasuk pendek sehingga umumnya surat pendek Al-Qur'an juz 30 tergolong surat Makkiyah.

Ayat-ayat pada surah Makkiyah tergolong pendek

§      Gaya bahasa dan kalimat dalam ayat surat Makkiyah cenderung kuat dan keras.

§      Susunan ayat pada surat Makkiyah jelas

§      Umumnya akhir ayat surat Makkiyah menggunakan sajak

§      Surat Makkiyah mengandung kata 'Ya ayyuhan nas'

§      Banyak mengajarkan ajaran tauhid dan akidah serta perintah dan beribadah pada Allah SWT

§  Banyak membahas mengenai hari kiamat, hari kebangkitan dan hari pembalasan beserta gambar surga dan neraka.

§      Banyak bercerita tentang Nabi dan umat-umat terdahulu

§ Mengandung dasar umum bagi perundang-undangan dan akhlak mulia dalam suatu masyarakat.


Surat Madaniyah

Surat madaniyah merupakan surat yang ayat-ayatnya diturunkan kepada Rasulullah SAW sesudah hijrah ke Madinah atau diturunkan di kota Madinah. Sebuah surat bisa saja sebagian ayatnya termasuk dalam kategori Madaniyah dan sebagian lain masuk dalam kategori Makkiyah. Umumnya ayat pada surat Madaniyah termasuk agak panjang.

Ciri Ciri Surat Madaniyah

§     Ayat-ayat pada surah Madaniyah tergolong panjang

§     Gaya bahasa dan kalimat dalam ayat surat Makkiyah cenderung agak lembut.

§     Surat Madaniyah mengandung kata 'Ya ayuhhal ladzina amanu'

§     Tiap surat Madaniyah berisi tentang kewajiban.

§     Banyak mengandung tentang penjelasan ibadah, muamalah, warisan, jihad dan hukum perundang-undangan.

§     Banyak mengandung seruan pada ahli kitab dari Yahudi dan Nasrani untuk masuk Islam dan penjelasan mengenai penyimpangan terhadap kitab-kitab Allah.

Perbedaan waktu diturunkannya ayat

Surah Makkiyah diturunkan sebelum Nabi Muhammad hijrah ke Madinah, sedangkan surah Madaniyah diturunkan setelah Nabi Muhammad hijrah ke Madinah.

Perbedaan tempat diturunkannya ayat

Surat Makkiyah umumnya diturunkan di kota Mekkah yang meliputi Mina, Arafah dan Hudaybiyah, sedangkan surat Madaniyah umumnya diturunkan di kota Madinah meliputi Badar dan Uhud.

Perbedaan jumlah ayat

Surat Makkiyah umumnya memiliki jumlah ayat yang cenderung pendek, sedangkan surat Madaniyah umumnya memiliki jumlah ayat yang cenderung agak panjang.

Perbedaan tema surat

Surat Makkiyah umumnya berisi tentang tauhid dan akidah, sedangkan surat Madaniyah umumnya berisi tentang penjelasan ibadah dan muamalah.

Perbedaan gaya Bahasa

Ayat-ayat pada surat Makkiyah umumnya menggunakan kalimat yang kuat dan keras, sedangkan ayat-ayat pada surat Madaniyah umumnya menggunakan kalimat yang agak lembut dan mudah dicerna.

Perbedaan seruan yang disampaikan

Surat Makkiyah umumnya ditujukan pada penduduk kota Mekkah, sedangkan surat Madaniyah umumnya diturunkan pada penduduk kota Madinah.

Itulah info Islami mengenai pengertian, ciri-ciri serta perbedaan Makkiyah dan Madaniyah

 

BAB 9

MUHKAM DAN MUTASYABIH 

MUHKAM DAN MUTASYÂBIH

Dipandang dari satu sisi, al-Qur’ân itu semuanya muhkam; Dari sisi yang lain, semuanya mutasyâbih; Dan dari sisi yang lain, sebagian dari al-Qur’ân itu muhkam, sementara sebagiannya lagi mutasyâbih. Pembahasan tentang muhkam dan mutasyâbih ini sangat penting. Karena betapa banyak orang yang tersesat akibat salah memahami kalâmullâh, tidak bisa membedakan antara yang muhkam dan mutasyâbih atau salah dalam menyikapi keduanya. Muhkam dan mutasyâbih termasuk diantara sifat yang Allâh Azza wa Jalla tetapkan untuk al-Qur’ân. Keduanya memiliki makna yang berbeda-beda. Berikut penjelasannya. a. Sebaliknya, semua larangan yang disebutkan dalam al-Qur’ân tidak ada yang terlepas dari keburukan, bahaya dan prilaku yang hina. Inilah yang dinamakan ihkâm ‘âm. b. Al-Qur’ân, semuanya mutasyâbih Allâh Azza wa Jalla berfirman : اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ Allâh telah menurunkan perkataan yang paling baik al-Qur’ân yang serupa lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Rabbnya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allâh. Mutasyâbih, sifat yang disematkan pada al-Qur’ân pada ayat di atas dinamakan tasyâbuh ‘am. Maksudnya, semua ayat yang terkandung dalam al-Qur’ân serupa atau sama dalam masalah keindahan, kebenaran, kandungannya terhadap nilai-nilai luhur yang mampu membersihkan akal manusia, menyucikan hati dan memperbaiki kondisi.
Jadi untaian kalimatnya adalah untaian kalimat terbaik serta kandungannya adalah kandungan terbaik. Inilah maksud tasyâbuh ‘am.

 Baca Juga Arti Perumpamaan Dalam Al-Qur'an c. Al-Qur’ân, sebagiannya muhkam dan sebagiannya lagi mutasyâbih Allâh Azza wa Jalla berfirman : هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ Dia-lah yang menurunkan al-Qur’ân kepada kamu. di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamât. Dan mereka juga mengatakan, «Semua ayat-ayat itu datang dari Rabb kami.» Makusdnya semua yang datang dari Rabb tidak yang bertentangan. Makna yang belum jelas pada satu tempat, telah dijelaskan pada tempat lain sehingga terpahami dan problem dalam memahaminya telah sirna. Diantara contohnya yaitu pemberitahuan Allâh Azza wa Jalla bahwa Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, segala yang Allâh Azza wa Jalla kehendaki pasti terjadi dan yang tidak dikehendaki pasti tidak terjadi. Allâh Azza wa Jalla , Dia memberikan petunjuk kepada orang yang dikehendaki dan menyesatkan orang yang dikehendaki-Nya.

Jika makna-makna ini tidak terpahami dengan baik oleh orang yang mengira bahwa ini bertentangan dengan nilai keadilan atau mengira bahwa penganugerahan hidayah dan penyesatan itu begitu saja tanpa sebab, maka ketidakjelassan ini telah dijelaskan dalam ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa semua itu ada sebabnya. Dan sebab itu dilakukan oleh manusia. Seperti firman Allâh Azza wa Jalla : Baca Juga Lima Metodologi Yang Menunjang Tadabbur Al-Qur'an يَهْدِي بِهِ اللَّهُ مَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَهُ سُبُلَ السَّلَامِ Dengan Kitab itulah, Allâh menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, Juga firman-Nya : فَرِيقًا هَدَىٰ وَفَرِيقًا حَقَّ عَلَيْهِمُ الضَّلَالَةُ ۗ إِنَّهُمُ اتَّخَذُوا الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ اللَّهِ Sebagian diberi petunjuk dan sebahagian lagi telah pasti kesesatan bagi mereka. 

Resensi Buku Ulum Al-Qur’an Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag

Resensi Buku Ulum Al-Qur’an Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag

Oleh Kelompok 8 kelas PAI IB

Abdurrojaq Muttaqin  (210414017)

Faizal Nursahid           (210414045)

Hilwa Ulwiyyah          (210414052)

 


IDENTITAS BUKU

Judul : ULUM AL-QUR’AN

Penulis : Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag.

Penerbit : CV PUSTAKA SETIA

Tahun Terbit : Maret 2012

Jumlah Halaman : 234 Halaman

 


ISI BUKU

Ulum Al-Qur’an

            Ungkapan “UlumAl-Qur’an” berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata, yaitu  “Ulum” dan “Al-Qur’an”. Kata “Ulum” merupakan bentuk jamak dari kata “Ilmu”. Ilmu yang dimaksud disini, sebagaimana didefinisikan Abu Syahbah adalah sejumlah materi pembahasan yang dibatasi kesatuan tema atau tujuan, sedangkan Al-Qur’an, sebagaimana didefinisikan ulama ushul, ulama fiqh, dan ulama bahasa, adalah “Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad yang lafazh-lafazhnya mengandung mukjizat, membacanya mempunyai nilai ibadah, yang diturunkan secara mutawatir, dan yang ditulis pada mushaf , mulai dari awal surat Al-Fatihah sampai akhir surat An-Nas. Dengan demikian, secara bahasa, Ulum Al-Qur’an adalah ilmu (pembahasan-pembahasan) yang berkaitan dengan Al-Qur’an. Mengingat banyaknya ilmu yang ada kaitan dengan pembahasan Al-Qur’an,ruang lingkup pembahasan Ulum Al-Qur’an itu jumlahnya sangat banyak. Bahkan, menurut Abu Bakar Al-‘Arabi, ilmu-ilmu Al-Qur’an itu mencapai 77.450. Hitungan ini diperoleh dari hasil perkalian jumlah kalimat Al-Qur’an dengan empat, karena masing-masing kalimat mempunyai makna zahir, batin, had, dan mathla’.

            Jumlah itu akan semakin bertambah jika melihat urutan kalimat di dalam Al-Qur’an serta hubungan antar urutan itu. Jika sisi itu yang dilihat, ruang lingkup pembahasan Ulum Al-Qur’an tidak akan dapat dihitung (tak terhingga) lagi. Di antara cabang-cabang (pokok bahasan) ‘Ulum Al-Qur’an adalah sebagai berikut : Ilmu Adab Tilawat Al-Qur’an, Ilmu Tajwid, Ilmu Mawathin An-Nuzul, Ilmu Tawarikh An-Nuzul, Ilmu Asbab An-Nuzul, Ilmu Qira’at, Ilmu Gharib Al-Qur’an, Ilmu I’rab Al-Qur’an, Ilmu Wujuh wa An-Nazha’ir, Ilmu Ma’rifat Al-Muhkam wa Al-Mutasyabih, Ilmu Nasikh wa Al-Mansukh, Ilmu Badai’u Al-Qur’an, Ilmu I’jaz Al-Qur’an, Ilmu Tanasub Ayat Al-Qur’an, Ilmu Aqsam Al-Qur’an, Ilmu Amtsal Al-Qur’an, dan Ilmu Jadal Al-Qur’an. Pada fase sebelum kodifikasi, ‘Ulum Al-Qur’an kurang lebih sudah merupakan benih yang kemunculannya sangat dirasakan semenjak Nabi masih ada. Hal itu ditandai dengan kegairahan para sahabat untuk mempelajari Al-Qur’an dengan sungguh-sungguh. Terlebih lagi, di antara mereka sebagaimana diceritakan oleh Abu Abdurrahman As-Sulami, ada kebiasaan untuk tidak berpindah kepada ayat lain, sebelum benar-benar dapat memahami dan mengamalkan ayat yang sedang dipelajarinya. Mereka mempelajari sekaligus mengamalkan ayat yang sedang dipelajarinya.

Tampaknya, itulah sebabnya mengapa Ibn ‘Umar memerlukan waktu delapan tahun hanya untuk menghapal surat Al-Baqarah.

            Para ulama telah berbeda pendapat di dalam menjelaskan kata Al-Qur’an dari sisi : derivasi (istytiqaq), cara melafalkan (apakah memakai hamzah atau tidak), dan apakah ia merupakan kata sifat atau kata jadian. Para ulama yang mengatakan bahwa cara melafalkannya menggunakan hamzah pun telah terpacah menjadi dua pendapat. Al-Qur’an diturunkan dalam tempo 22 tahun 2 bulan 22 hari, yaitu mulai malam 17 Ramadhan tahun 41 dari kelahiran Nabi, sampai 9 Dzulhijjah Haji Wada’ tahun 63 dari kelahiran Nabi atau tahun 10 H.

Proses turunnya Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW. Adalah melalui  tiga tahapan, yaitu: Pertama, Al-Qur’an turun secara sekaligus dari Allah ke lauh al-mahfuzh, yaitu suatu  tempat yang merupakan catatan tentang segala ketentuan dan kepastian Allah.

Kedua, Al-Qur’an diturunkan dari lauh al-mahfuzh itu ke bait al-izzah (tempat yang berada di langit dunia.

Ketiga, Al-Qur’an diturunkan dari bait al-izzah ke dalam hati Nabi dengan jalan berangsur-angsur sesuai dengan kebutuhan.

            Di kalangan ulama, terminologi pengumpulan Al-Qur’an (Jam’ Al-Qur’an) memiliki dua konotasi: Konotasi penghapalan Al-Qur’an dan konotasi penulisannya secara keseluruhan.

            Rasm Al-Qur’an adalah tata cara menuliskan Al-Qur’an yang ditetapkan pada masa khalifah ‘Utsman bin ‘Affan. Istilah yang terakhir lahir bersamaan dengan lahirnya mushaf Utsman, yaitu mushaf yang ditulis panitia empat yang terdiri dari Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Al-‘Ash, dan ‘Abdurrahman bin Al-Harits. Mushaf Utsman ditulis dengan kaidah-kaidah tertentu. Para ulama meringkas kaidah-kaidah itu menjadi enam istilah, yaitu: Al-Hadzf, Al-Jiyadah, Al-Hamzah, Badal, Washal dan Fashl, dan Kata yang Dapat Dibaca Dua Bunyi.

            Al-Qur’an bukanlah merupakan sebuah “buku” dalam pengertian umum, karena ia tidak pernah diformulasikan, tetapi diwahyukan secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad SAW. Sejauh situasi-situasi menuntutnya. Al-Qur’an pun sangat menyadari kenyataan ini sebagai suatu yang akan menimbulkan keusilan di kalangan pembantahannya (Q.S. Al-Furqan [25]: 32). Seperti yang diyakini sampai sekarang, pewahyuan Al-Qur’an secara total dalam sekali waktu secara sekaligus adalah sesuatu yang tidak mungkin, karena pada kenyataannya Al-Qur’an diturunkan sebagai petunjuk bagi kaum muslimin secara berangsur-angsur sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan yang timbul. Sebagian tugas untuk memahami pesan Al-Qur’an sebagai suatu kesatuan adalah mempelajarinya dalam konteks latar belakangnya. Latar belakang yang paling dekat adalah kegiatan perjuangan Nabi yang berlangsung selama 23 tahun dibawah bimbingan Al-Qur’an. Terhadap perjuangan Nabi yang secara keseluruhan sudah terpapar dalam sunnahnya, kita perlu memahaminya dalam konteks perspektif melieu Arab pada masa awal penyebaran Islam, karena aktivitas Nabi berada di dalamnya.

            Ungkapan asbab An-Nuzul merupakan bentuk idhafah dari kata “asbab” dan “nuzul”. Secara etimologi, asbab An-Nuzul adalah sebab-sebab yang melatar belakangi terjadinya sesuatu. Meskipun segala fenomena melatar belakangi terjadinya sesuatu bisa disebut asbab An-Nuzul, namun pemakaian ungkapan asbab An-Nuzul khusus dipergunakan menyatakan   sebab-sebab yang melatar belakangi turunnya Al-Qur’an, seperti halnya asbab wurud yang secara khusus digunakan bagi sebab-sebab hadits.

            Az-Zarqani dan As-Suyuthi mensinyalir adanya kalangan yang berpendapat bahwa mengetahui asbab An-Nuzul merupakan hal yang sia-sia dalam memahami Al-Qur’an. Mereka beranggapan bahwa mencoba memahami Al-Qur’an dengan meletakkan ke dalam konteks historis adalah sama dengan membatasi pesan-pesannya pada ruang dan waktu tertentu. Namun, keberatan seperti ini tidak berdasar, karena tidak mungkin menguniversal pesan Al-Qur’an makna dan tempat pewahyuan, kecuali melalui pemahaman yang semestinya terhadap makna Al-Qur’an dalam konteks kesejarahannya.

            Sementara itu, mayoritas ulama sepakat bahwa konteks kesejahteraannya terakumulasi dalam riwayat-riwayat asbab An-Nuzul merupakan satu hal yang signifikan untuk memahami pesan-pesan Al-Qur’an.

            Judul-judul dari semua surat Al-Qur’an mengisyaratkan adanya notasi apakah surat itu diwahyukan pada masa Mekkah atau Madinah. Meskipun pemisahan historis ini sering dikaitkan dengan perbedaan sifat Nabi dan karakter muslim dikedua tempat itu, ia juga mengandung perinsip vital untuk memahami kronologi revelasi (pewahyuan) Al-Qur’an. Sayang sekali, komunitas muslim telah mencabut kembali tugas untuk merumuskan kronologi Al-Qur’an secara utuh. Sebab, barangkali usaha kearah itu dianggap berbahaya karna bisa-bisa wahyu yang abadi ini, jika diurai menurut terma-terma temporal akan mengubah apa yang telah diurutkan Nabi dan komunitas muslim awal.

            Bagi sarjana muslim modern, seperti Fazlur Rahman, Al-Qur’an hanya bisa dipahami dengan tepat dengan benar jika dilakukan dalam kerangka (frameword) kronologis. Ia mengatakan bahwa pemahaman mengenai quranic sitzim leben atau framework kronologi Al-Qur’an tidak bisa dielakkan. Meskipun tentu saja terdapat usaha-usaha kaum muslimin awal untuk mendalami suatu kronologis surat-surat Al-Qur’an secara menyeluruh, sub-disiplin dari studi-studi kronologi Al-Qur’an, pada dasarnya adalah produk kesarjanaan modern, (terutama) Barat.

            Para sarjana muslim mengemukakan empat perspektif dalam mendefinisikan terminology Makiyyah dan Madaniyyah. Keempat perspektif itu adalah: Masa turun (zaman an-nuzul), tempat turun (makan an-nuzul), objek pembicaraan (mukhathab) dan tema pembicaraan (maudu). Dalam menetapkan mana ayat-ayat Al-Qur’an yang termasuk kategori Makiyyah dan Madaniyyah, para sarjana muslim berpegang teguh pada dua perangkat pendekatan, yaitu; 1. Pendekatan Transmisi (Periwayatan) dan 2. Pendekatan Analogi (Qiyas). Salah satu persoalan ‘Ulum Al-Qur’an yang masih diperdebatkan sampai sekarang adalah kategorisasi muhkam-mutasyabih. Telaah dan perdebatan seputar masalah ini telah banyak mengisi lembaran khazanah keilmuan Islam, terutama menyangkut penafsiran Al-Qur’an. Perdebatan itu tidak saja melibatkan sarjana-sarjana muslim karena sarjana-sarjana Barat pun ikut mewarnainya.

            Diantara sarjana muslim yang cukup intens membicarakan persoalan muhkam-mutasyabih adalah ‘Ali bin Hamzah Al-Kisa’i (wafat antara tahun 179 H. dan 192 H). sarjana muslim yang terkenal sebagai pakar qira’ah ini memiliki Qur’an. Karya ini dianggap penting karena berupaya menghimpun teks-teks Al-Qur’an yang masuk ke dalam kategori mutasyabih.

Resensi Buku ‘Ulum Al-Quran (Memahami Otentifikasi Al-Qur'an)

  Resensi Buku ‘Ulum Al-Quran (Memahami Otentifikasi Al-Quran) Oleh Kelompok 10 kelas PAI IB: Annisa Septiani            (210414035) ...